Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Friday, July 31, 2009

Hukum Pidana

HUKUM PIDANA

A. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang tidak dapat terelakkan, kebutuhan yang hanya sebagai pemuas nafsu dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status sosial. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain.

Pemenuhan kebutuhan diri untuk mempertahankan eksestensi terkadang menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai positif bagi individu tersebut dan lingkungannya. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidak seimbangan. Dan pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang di alami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum.

Berat – ringannya hukum yang wajib dijalankan oleh seseorang untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya tergantung dari penilaian masyarakat atas perbuatan orang itu. Dan penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu perbuatan baik atau tidak sesuai dengan ukuran rasa keadilan dan kepentingan umum. Karena itu ketentuan-ketentuan dalam pidana yang menjadi tolak ukurnya adalah kepentingan masyarakat secara umum. Dan kepentingan masyarakat secara umum ini pengertiannya sangat luas. Memang demikianlah halnya dalam hukum pidana bahwa ketentuan-ketentuannya meliputi larangan-larangan yang merupakan juga ketentuan-ketentuan dalam kesopanan, kesusilaan dan norma-norma suci agama yang dalam peristiwa hukumnya dapat merugikan masyarakat misalnya , sebagai manusia hormatilah antar sesamanya.

Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.

B. SEJARAH SINGKAT KUHP DI INDONESIA

Asal mula Hukum Pidana sama halnya dengan hukum perdata. Hukum Pidana berasal dari Romawi dengan sebutan Corpas Iuras Civillis / Code Justianus, dinamakan sesuai dengan nama kaisar yang sedang berkuasa saat itu Kaisar Justianus yang berkuasa pada abad ke-6 ( 524 – 565 ).

Ketika menjajah ke daratan eropa, khususnya ketika Romawi menjajah Perancis maka hukum ini juga diperkenalkan disana dengan nama Code Civildes Prancis / Code Napoleon, dinamakan sesuai dengan pemimpin saat itu Napoleon pada tahun 1807.

Kemudian Perancis menjajah Belanda dan hukum pidana diberi nama dengan Wet Boek Van Strafrecht Voor Nederlands Indie pada tahun 1867, dan secara resmi diberlakukan pada 1 Januari 1867 M.

Belanda adalah salah satu negara Kolonial, salah satu negara jajahannya adalah negeri Indonesia tercinta ini, ketika menjajah Indonesia maka di Indonesia juga diberlakukan hukum pidana yang sama yaitu Wet Boek Van Strafrecht Voor Nederlands Indie dan mulai diberlakukan di Indonesia pada 1 Januari 1918 M.

Pada saat Indonesia telah merdeka, Indonesia masih menggunakan hukum peninggalan kolonial Belanda yaitu Wet Boek Van Strafrecht Voor Nederlands Indie yang dirubah menjadi Wet Boek Van Strafrecht Voor Indonesie yang dibuat pada 8 April 1942 dan disahkan pada 26 Februari 1946. Kemudian dengan UU nomor 73 Tahun 1958 maka UU No. 1 Tahun 1946 berlaku di seluruh wilayah Indonesia, kitab ini terus mengalami perubahan dan penyempurnaan.

Semoga Indonesia pada suatu saat mampu merubah hukum-hukum yang ada di Indonesia dan tidak mengikuti hukum kolonial yang telah diwarisi ratusan tahun yang lalu. Anehnya, bangsa Belanda telah merubah kitab undang undang mereka, tetapi bangsa ini masih dan terus menggunakan warisan itu, apa yang salah dengan Indoensia.

C. DEFINISI HUKUM PIDANA MENURUT BEBERAPA PAKAR HUKUM

Beberapa pendapat Pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut :

1) POMPE (1959: 15), menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

2) APELDOORN (1952: 251 – 260), menyeatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dari diberikan arti :

Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu :

a. Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.

b. Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum.

Hukum pidana formil yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materil dapat ditegakan.

3) D. HAZEWINKEL-SURINGA, (1968: 1), dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti:

a. Objektif (ius poenale), yang meliputi:

i. Perintah dan larangan yang pelanggaranya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak.

ii. Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.

iii. Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

4) VOS (1950 : 1-4), menyatakan bahwa Hukum Pidana diberikan dalam arti bekerjanya sebagai

a. Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi :

1. Hukum Pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat bila mana, siapa dan bagaimana sesuatu dapat dipidana.

2. Hukum Pidana formil yaitu hukum acara pidana.

b. Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum ya-ng memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada Negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.

c. Hukum pidana umum (algemene stafrecht) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua orang.

d. Hukum pidana khusus (byzondere strafrecht), yaitu dalam bentuknya sebagai ius speciale sperti hokum pidana militer, dan sebagai ius singulare seperti hukum pidana fiskal.

5) ALGRA JANSSEN, (1977: 59) mengatakan bahwa hukum pidana adalah merupakan alat yang dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.

Beberapa pendapat Pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut :

1) MOELJANTO mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

a) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Bambang Poernomo, 1985 :22).

2) SATOCHID KARTANEGARA (I :1 – 2 ), bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu :

a) Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah perturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.

b) Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak Negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

3) SOEDARTO (1977: 30,41) mengatakan bahwa Hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negative, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi, yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan (maatregelen), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran (justification) pidana itu.

4) MARTIMAN PRODJOHAMIDJOJO, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.

b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.

5) ROESLAN SALEH (1978: 5), mengatakan bahwa setiap perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-citakan masyarakat.

Sehingga isi pokok dari definisi Hukum Pidana dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Hukum Pidana sebagai hukum positif.

b. Substansi hukum pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya.

Hukum acara pidana adalah hukum yang menentukan bagaimana menegakkan substansi hukum pidana. Hukum Pidana merupakan bagian dari Hukum public yang berisi ketentuan tentang :

1. Aturan Hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana bagi yang melanggar larangan itu. Aturan umum hukum pidana dapat di lihat dalam KUHP maupun yang lainnya.

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana. Berisi tentang :

a. Kesalahan (shuld).

b. Pertanggungjawaban pidana pada diri si pembuat (toerekeningsvadbaarheid).

Dalam Hukum pidana dikenal asas geen straf sonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan), artinya seseorang dapat dipidana apabila perbuatannya nyata melanggar larangan Hukum pidana. Hal ini diatur pada pasal 44 KUHP tentang tidak mampu bertanggung jawab bagi si pembuat atas perbuatannya, dan pasal 48 KUHP tentang tidak dipidananya si pembuat karena dalam keadaan daya paksa (overmacht), kedua keadaan ini termasuk dalam “alasan penghapus pidana”, merupakan sebagian dari bab II buku II KUHP.

3. Tindakan dan upaya yang harus dilakukan Negara melalui aparat hukum terhadap tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hokum pidana dalam rangka menentukan menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya serta upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka/terdakwa dalam usaha mempertahankan hak-haknya.
Dikatakan sebagai hukum pidana dalam arti bergerak (formil) memuat aturan tentang bagaimana Negara harus berbuat dalam rangka menegakan hukum pidana dalam arti diam (materiil) sebagimana dilihat pada angka 1 dan 2 diatas.

D. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

Beberapa pembagian hukum pidana atas dasar :

1. Hukum pidana dalam keadaan diam dan dalam keadaan bergerak.

Hukum pidana dibedakan atas Hukum pidana materiil (diam) dan formil (bergerak).

2. Hukum pidana dalam arti objektif dan subjektif. Hukum pidana objektif atau ius poenale adalah hukum pidana yang dilihat dari larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut (hukum pidana materiil).

Hukum pidana subjektif atau ius poenandi merupakan aturan yang berisi hak atau kewenangan Negara untuk :

o Menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.

o Memberlakukan (sifat memaksa) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan.

o Menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh Negara kepada pelanggar hukum.

3. Pada siapa berlakunya Hukum pidana.

Dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga Negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Sedangkan Hukum Pidana khusus adalah hokum pidana yang dibentuk oleh Negara yang hanya dikhususkan bagi subjek hukum tertentu saja. Perbedaan ini hanya berdasarkan KUHP.

4. Sumbernya

Pembedaan menurut sumbernya hukum pidana Umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana Umum adalah semua ketentuan pidana yang terdapat /bersumber pada kodifikasi (KUHP dan KUHAP), sering disebut dengan hukum pidana kodifikasi. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Hukum pidana khusus ini dibedakan atas 2 (dua) kelompok, yaitu:

- Kelompok peraturan perundang-undangan Hukum pidana (ketentuan/isi peraturan perundang-undangan ini hanya mengatur satu bidang Hukum pidana.

- Kelompok peraturan perundang-undangan bukan dibidang Hukum pidana, tetapi didalamnya terdapat ketentuan pidananya.

5. Wilayah berlakunya Hukum.

Dari wilayah berlakunya Hukum, hukum pidan dapat dibedakan antara :

§ Hukum pidana umum (Hukum pidana yang dibentuk oleh Negara dan berlaku bagi subjek Hukum yang melanggar Hukum pidana di wilayah Hukum Negara).

§ Hukum pidana lokal (hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hokum yang melakukan perbuatan yang dilanggar oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Selain itu juga dapat dibedakan atas hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional.

6. Bentuk / Wadahnya.

Berdasarkan bentuk/wadahnya hokum pidana dapat dibedakan menjadi :

- Hukum pidana tertulis (hukum pidana undang-undang)

- Hukum pidana tidak tertulis (hukum pidana adat).

E. HUKUM PIDANA ISLAM

Dalam hukum pidana Islam / fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil hukum dari Al-qur’an dan Hadist.

Dalam hukum pidana Islam hukum kepidanaan atau disebut juga dengan jarimah (perbuatan tindak pidana). Jarimah terbagi atas :

1. Jarimah Hudud

Adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumanya di dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW. Sanksinya berupa sanksi had (ketetapan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah). Hukumannya berupa rajam, jilid atau dera, potong tangan, penjara/kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh, pengasingan/deportasi, dan salib.

2. Jarimah Ta’zir.

Adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya. Dalam pengertian istilah hukum Islam merupakan hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengaharuskan pelakunya dikenai had. Hukumannya berupa hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Selain itu dalam hukum pidana Islam juga dikenal delik Qishas memotong (membalas). Selain itu juga ada delik diat (denda dalam bentuk benda atau harta) berdasarkan ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya. Perbedaanya, Qishas diberlakukan bagi perbuatan pidana yang disengaja, sedangkan Diat diberlakukan bagi perbuatan pidana yang tidak disengaja. Ibnu Rusyid mengelompokan qishas menjadi 2 (dua) yaitu, :

a) Qishas An-Nafs (pembunuhan) yaitu qishas yang membuat korbanya meninggal, sering disebut dengan kelompok al-qatlu (pembunuhan)

b) Qishas ghairu an-nafs, yaitu qishas yang membuat korbanya cidera atau melukai korbanya tidak sampai meninggal, sering disebut dengan kelompok al-jarhu (pencederaan).

F. TUJUAN HUKUM PIDANA

Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :

1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.

2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya.

Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.

Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.

G. PERISTIWA HUKUM PIDANA

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya.
Dan unsur-unsur itu terdiri dari :

1. Obyektif.

Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif di sini adalah tindakannya.

2. Subyektif.

Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa pidana ialah:

a. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya dan dalam keadaan darurat.

c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.

d. Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum.

e. Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Dan ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas maksimal hukumnya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di dalam suatu perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman.

H. HUKUM PIDANA INDONESIA

Hukum pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang-undang dan dalam perkembanganya banyak yang tertulis tidak dikodifikasikan berupa undang-undang, hukum pidana yang tertulis dikodifikasikan itu tertera ketentuan-ketentuannya di dalam kitab undang-undang hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari zaman pemerintah penjajahan Belanda.

Kitab undang-undang hukum Pidana (KUHP) terdiri atas 569 pasal, secara sistematik dibagi dalam :

Buku I : Memuat tentang ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leerstrukken) Pasal 1–103.

Buku II : Mengatur tentang tindak pidana Kejahatan ( Misdrijven) pasal 104 – 488

Bulu III : Mengatur tentang tindak pidana Pelanggaran (Overstr-dingen) 489 – 569.

I. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :

a) Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)

b) Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteits beginsel)

c) Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteits beginsel)

J. SISTEM HUKUMAN

Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :

1. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).

a. Hukuman mati

b. Hukuman penjara

c. Hukuman kurungan

d. Hukuman denda

2. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)

a. Pencabutan beberapa hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman putusan hakim.

K. HUKUM ACARA PIDANA

Hukum acara Pidana yang disebut juga hukum Pidana formal mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material. Penyelenggaraannya berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu ditulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum acara Pidana (KUHAP), KUHAP itu diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 Desember 1981 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, tambahan lembaran Negara No. 3209.

Tujuan pengkodifikasian hukum acara pidana itu terutama sebagai pengganti Regleemen Indonesia (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal, menurut pasal 2-nya menyatakan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya, ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak-tindak pidana berdasarkan KUHAP hanya peradilan Umum, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu diketahi beberapa hal penting antara lain ialah :

a. Asas praduga tidak Bersalah (presumption of innacence)

Dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang mengatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap” berdasarkan asas praduga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim Pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara.

b. Koneksitas

Perkara Koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan-peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kewenangan dalam mengadili perkara koneksitas ada pada peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari adanya tindak pidana itu.

c. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa dalam melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan Pidana perampasan kemerdekaan”.

Read more...

Tuesday, July 28, 2009

As-Sunnah Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an

As-Sunnah

Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an

Pengertian As-Sunnah

Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).


As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :

عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال " ألا إني أوتيت الكتاب ومثله معه لايوشك رجل شبعان على أريكته ( السرير ) يقول عليكم بهذا القرآن فما وجدتم فيه من حلال فأحلوه وما وجدتم فيه من حرام فحرموه ألا لا يحل لكم الحمار الأهلي ولا كل ذي ناب من السبع ولا لقطة معاهد إلا أن يستغني عنها صاحبها ومن نزل بقوم فعليهم أن يقروه فإن لم يقروه فله أن يعقبهم بمثل قراه " . صحيح

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)

Para ulama juga menafsirkan firman Allah :

وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al Baqarah ayat 129)

Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)

As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat

Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)

Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya As-Sunnah:

Pertama:
Firman Allah:


إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)


Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.

Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)

Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.

Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat.

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)

Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)

Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):

(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar menjalankan As-Sunnah.

(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan As-Sunnah.

(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.

(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat As-Sunnah.

(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.( Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)

(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya.

(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak.

(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap.

Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram menyelisihinya

Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan As-Sunnah

Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:

1. Firman Allah :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)

2. Firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)

3. Firman Allah :

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)

4. Firman Allah :

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)

5. Firman Allah :

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)

Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:

1. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

كلُّ أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى. قالوا: يا رسول الله، ومن يأبى؟ قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى

“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).

2. Abu Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :

لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه فيقول لا ندري ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه

“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).

3. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما مسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه

“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-Hakim Al Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).

Kesimpulan :
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.

2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.

3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.

4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.

6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah

7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.

Referensi:
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.

Wallahu A’lam .

Diambil dari Majalah Fatawa

Sumber: http://muslim.or.id/?p=5

Read more...

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP