Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Monday, September 14, 2009

ZAKAT PROFESI

ZAKAT PROFESI

“Hai orang-orang yang beriman,

nafkahkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik

dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.

(QS.Al-Baqarah 267)

Kita mengetahui bersama bahwa zakat sebagai ibadah mahdah memiliki implementasi sosial yang sangat tinggi nilainya. Betapa tidak ? Lantaran zakat merupakan ibadah praktis yang dapat langsung dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah. Dengan demikian diharapkan melalui media zakat ini mampu meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa di dalam masyarakat.

Oleh karena itu ada proses timbal balik antara Muzakki (orang yang wajib zakat) dengan Mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Dalam pengertian ini bahwa zakat yang dinyatakan sebagai hak fakir miskin juga merupakan hak masyarakat, lantaran kaum yang berhasil mengumpulkan harta kekayaan pada hakekatnya terealisir berkat andil dan partisipasi dari pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung terutama dari golongan kaum dhuafa.

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya keberhasilan dan kecukupan yang diperoleh orang kaya itu adalah berkat orang-orang lemah di antara kamu”.

Sebab itulah, Ibnu Hazm dengan tegas menyatakan bahwa hak-hak fakir miskin yang terdapat di dalam harta orang kaya harus dapat mereka terima dengan segala cara, jika pada suatu ketika terjadi bentrokan fisik di antara orang miskin dan orang kaya karena orang kaya tidak mengeluarkan hak orang miskin (zakat), maka pihak fakir miskin tidak dapat dipersalahkan karena mereka menuntut haknya. Bahkan seandainya dalam suatu masyarakat Islam tidak terdapat lagi fakir miskin, zakat tetap wajib dikeluarkan oleh orang-orang kaya guna memenuhi keperluan sosial termasuk untuk meningkatkan sektor fi sabilillah dalam arti luas yang selalu eksis sehingga memerlukan tersedianya dana setiap saat.

Jadi optimalisasi fungsi zakat harus terus diupayakan karena perkembangan kehidupan modern sekarang ini tumbuh dan berkembang usaha-usaha produktif yang kualitas hasilnya bahkan melebihi komoditi jenis harta benda yang keluar dari perut bumi.

Dalam ilmu ekonomi, setiap produktifitas usaha akan menghasilkan barang atau jasa, yang keduanya memiliki nilai dan harga. Kenyataan inilah yang pada saat sekarang ini populer disebut dengan Zakat Profesi. Pekerja profesi yang memperoleh penghasilan baik itu gaji pegawai kantor, tenaga pengajar (guru, dosen), disainer, dokter, pengacara, konsultan, arsitek, seniman, hasil usaha jasa perhotelan, traveler, maupun hasil usaha pembudidayaan.


Kesemua sumber mata pencaharian harta benda dan jasa tersebut di atas memiliki pengertian “Amwal”, yang menurut QS.Al-Baqarah 267, kita diwajibkan oleh Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. Abu Hanifah mengartikan bunyi ayat “min thayyibati maa kasabtum” di atas bahwa semua benda yang bernilai ekonomis harus dizakati.

Bahkan DR.Abdurrachman Qadir, MA dalam bukunya “Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial” mengutarakan bahwa beberapa ulama kontemporer seperti Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf dan Abdul Rahman Hasan, telah membahas prosfek perkembangan macam-macam harta yang wajib dizakati pada abad modern sekarang ini sudah sejak 1952, yaitu pada sebuah seminar internasional bertempat di Damaskus yang telah menfatwakan bahwa kekayaan dan penghasilan yang diperoleh dari berbagai usaha profesi wajib dikeluarkan zakatnya sebagaimana ketentuan zakat maal lainnya.

Selanjutnya berkaitan dengan haul Zakat Profesi ini, KH.Ali Yafie dalam bukunya,”Menjawab Seputar ZIS” menguraikan dengan tuntas bahwa menyangkut waktu (haul) pembayaran zakat, Rasulullah SAW menetapkan ada yang harus dibayar secara periodik dan ada pula dibayar ketika harta yang terkena zakat itu tiba di tangan.

Yang pertama, misalnya zakat perdagangan dan zakat logam mulia yang disimpan. Sedang yang kedua, insidental, misalnya pada zakat pertanian, hasil perkebunan dan harta temuan (rikaz).

Adapun zakat profesi-masih menurut Ali Yafie-, para ulama termasuk di dalamnya para sahabat berbeda pendapat. Ada yang mensyaratkan haul dan ada pula yang tidak. Bagi Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Muawiyah dan Daud, kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu haul “batas waktu satu tahun”.Sedangkan Ibnu Hazm, Syafei dan Abu Hanifah sebaliknya.

Sedangkan menurut Yusuf Qardawi dalam bukunya “Fiqh Zakat” dijelaskan bahwa kewajiban penyerahan zakat profesi adalah pada waktu diterima. Alasannya, persyaratan satu tahun pada seluruh harta termasuk harta profesi tidak berdasar nash yang mencapai tingkat sahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara yang berlaku umum bagi ummat.

Sedangkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits datang secara umum dan tegas, tidak terdapat di dalamnya persyaratan satu tahun. Karena dengan memberlakukan ketentuan satu tahun bagi zakat profesi sama halnya dengan membebaskan sekian banyak pegawai dan pekerja profesi seperti konsultan, dokter, arsitek, pengacara dan sebagainya dari kewajiban membayar zakat profesi, padahal profesi mereka sangat besar.

Dengan demikian Yusuf Qardawi menganalogikan zakat profesi dengan zakat tanaman dan buah-buahan, dimana keduanya dikeluarkan pada waktu panen (diterima di tangan). Hal ini sesuai firman-Nya,”wa atu haqqahu yauma hasbadihi-dan berikan zakatnya ketika panen tiba”.


Dalam konteks ini KH.Ali Yafie menyatakan bahwa standarisasi bagi zakat profesi dan zakat lainnya sangat penting kehadirannya mengingat penghasilan profesi ini berkembang terus. Bagi mereka yang mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat tijarah (perdagangan), maka disyarakatkan padanya haul. Sedang bagi yang mengqiyaskan dengan pertanian dan buah-buahan, sebagaimana pendapat Yusuf Qardawi tidak disyarakatkan padanya haul, namun dikeluarkan zakatnya pada saat diterima. Hanya saja, pesan KH. Ali Yafie, “Kita tidak bisa mengkalaim begitu saja tanpa memandangnya dari berbagai sisi”.

Dalam buku saku “Panduan Zakat Praktis” yang diterbitkan IMZ dipaparkan pola perhitungan zakat profesi bisa dihitung setiap bulan dari penghasilan kotor (pendapat paling kuat diantaranya Yusuf Qardawi, Ghazali dll) yang telah mencapai nishab dikali 2,5 % atau diakumulasikan di akhir tahun, lalu ditambah dengan pendapatan lainnya. Contoh : Pendapatan bulanan Rp. 2.000.000,- Pendapatan lainnya Rp. 600.000,- Total seluruhnya Rp. 2.600.000,- Bagaimana perhitungan zakatnya ? Jawabannya : Zakat yang harus dikeluarkan = Nilai total x 2,5 % = Rp. 65.000,- Cuma Rp. 65.000,- / bulan, dan anda akan mendapatkan lebih dari apa yang telah anda keluarkan, karena itu adalah janji Allah SWT, zat yang telah menciptkan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya.

Read more...

Wednesday, September 2, 2009

Islamic BATAS AT katiwalian

A. Panimula

Al-Quran inihayag ng Diyos sa sangkatauhan upang nakatira sa mga alituntunin saebagai gawain / utos ng caliph ng Diyos sa lupa. Al-Quran bilang isang perpektong banal na kasulatan kasulatan mas maaga, ay ang panahon kulli salih wa li ate (angkop para sa bawat edad at lugar), at rahmatan lil 'alamin (awa para sa lahat ng nilalang). At ang mga propeta Muhammad, ang Sunnah ay uswatun hasanah sa bawat salita, gawa at prilakunya. Pareho sa punong-guro ang mga pinagmulan ng mga Muslim na mga aral na ginagamit ng lahat ng mga Muslim, tulad ng hudan li al-nas.

Usul Fiqh Ulama hatiin ang legal na Verses ng Qur'aan sa dalawang form, namely (a) ang mga batas na ang mga detalyadong (juz'iy), kaya ang Verses ay ang mga ito sa pamamagitan ng tinatawag na ta'abbudi batas (na kung saan hindi maaaring pumasok sa o sa pamamagitan ng dahilan), at ang mga batas na ito ay global (kulli) na kung saan ay ang pinaka nilalaman ng mga legal na Verses ng Qur'aan, ang Sunnah sa kasong ito ay nagsisilbi bilang isang paliwanag, at ang mga hadlang pengkhusus ng mga Verses. [1]

Islamic batas sa anumang lipunan, kahit saan, ay inilaan upang kontrol, ayusin, at bilang isang paraan ng pampublikong control, siya ay isang ditegakan system, higit sa lahat upang protektahan ang mga indibidwal at mga karapatan.

Bilang isang legal na sistema batay sa paghahayag (nass), Islamic batas ay may isang layunin upang makamit ang kemaslatan ng tao sa buong mundo at ang hinaharap. Islamic batas ay mahalagang binubuo ng dalawang aspeto ng pagtuturo sa mga tuntunin ng mga uri ng pinagkukunan, namely:

1. Aspeto ng Shariah, siya ay sa anyo ng teksto o revelations na ang katotohanan ay lubos na, at

2. Aspeto ng batas, na kung saan ay ang form ng Shariah intervened ng tao sa pamamagitan ng dahilan at naisip katotohanan na kamag-anak. [2]

Sa pagbabalangkas ng mga Muslim na batas ay ang pangunahing layunin ay upang makamit at mapanatili ang limang pangunahing layunin (al-al-shar'iyya maqashid), namely: relihiyon, kaluluwa, isip, dangal o lipi, at ari-arian. Ang mga susi ng limang puntos ay dapat na maisasakatuparan nang mas maaga at pinananatili para sa pagsasakatuparan ng mga benepisyo ng tao, na kung saan ay nakakamit sa tinatawag na, mabuti sa mundo at mabuti sa hinaharap.

Kaya, ang anumang kilos o aksyon na maaaring takutin ang kaligtasan ng alinman sa mga limang pangunahing bagay teersebut, ito ay dapat na itinuturing na isang krimen (kasalanan) ay ipinagbabawal, at upang protektahan at panatilihin ang mga ito ng limang susi points at benepisyo sangkatauhan sa karaniwan, ang Islam ay nagtatatag at Kinukumpirma ng ng isang bilang ng mga regulasyon, alinman sa anyo ng mga utos at mga pagbabawal, at sa ilang mga kaso ang mga alituntunin ay sinamahan ng mga pagbabanta ng mga makalupang kaparusahan o pagpapatibay at / o ukhrawi, kung ang mga tuntunin ay nilabag.

Afterlife parusa ay isang gantimpala o bumalik para sa isang deviant gawa ng tao para sa mga naninirahan sa mundo. Pagpapatupad ay kasama sa magpahirap na mabuti ng impiyerno. Inside ay isang pagkakaiba-iba ng kaparusahan iayon sa uri at kalidad ng mga kasalanan at pagkakasala. Makalupang kaparusahan ay isang parusa na iyon ay nagpasya sa pamamagitan ng hukom at ang mga pangungusap na isinasagawa sa buong mundo. [3]

Makalupang kaparusahan mayroong dalawang uri, namely unang na ay batay sa mga teksto ng Qisas, Diyat at nagkaroon. At ang pangalawa ay hindi batay sa teksto, ngunit ang hukom sa kamay pa karunungan upang mapagtanto ang mga benepisyo ng sangkatauhan ta'zir ang form at binigay sa pagsasaalang-alang ng mga hukom nito.

Hinahanap sa limang pangunahing mga punto sa itaas, at pagkatapos ng krimen ay maaaring maikategorya sa limang malaking grupo, namely mga krimen laban sa relihiyon, mga krimen laban sa buhay ng tao, ang isang krimen laban sa kadahilanan, ang isang krimen laban sa karangalan at mga inapo, pati na rin ang mga krimen laban sa ari-arian benda.4 [4] discussion ng mga problema sa krimen na ito, na sa karamihan ng panitikan ay kilala bilang fiqh al-jinayah o karaniwang kilala bilang mga Muslim Criminal Law.

Kriminal na batas ay ang batas na publiko, na ibig sabihin nito ay ang batas na namamahala sa mga paglabag at mga krimen laban sa pampublikong interes, alinman sa mga pampublikong (estado) pati na rin ang sariling interes ng tao, tulad ng mga kaisipan, o pisikal na katawan, atbp. Sa pagsasagawa ng Islamic penal Code ay nagbibigay ng kriminal na pagpapatibay para sa anumang mga paglabag o krimen na ang pampublikong likas na katangian, na hinati sa tatlong pangunahing mga kategorya ng mga tadhanang parusa alinsunod sa anyo ng mga krimen, ibig sabihin, mga kriminal na pagpapatibay hudud, qishashdiyat kriminal pagpapatibay, at mga kriminal na pagpapatibay ta'zir.

Pembahsan sa mga libro ng mga classical na batas, uqubah ang problema 'ay laging na naisama sa iba pang mga anyo ng jarimah (crime), kaya impressed ang mga uri ng kriminal na pagtibayin sa Islam ay isang sikolohikal na epekto ng bawat isa sa mga lider ng ilang mga krimen. Sa pangkalahatan, ang batayan para sa mga diskusyon na ito ay isang anyo ng krimen. Sa katunayan, ang form sa kanilang sariling mga kriminal na walang pasubali na hindi umaasa sa iba pang mga uri ng kriminal na kilos (ang kasalanan), at pagmuni-muni sa mga epekto o ang sikolohikal na epekto mismo maaaring baguhin ayon sa panahon, kaya na maaaring ay isa sa mga kriminal ay hindi na epektibo bilang isang paraan ng mga kriminal.

Sa tatlong kategorya ng mga kriminal ang mga pagpapatibay, na kung saan ay naging isang madalas na problema at ang pampublikong pansin ng madla, ay isang kriminal na pagtibayin ng uri ng hudud, at qishashdiyat. Ang kategorya ng mga kriminal ang mga pagpapatibay na nushushiyah, dahil ito ay isang kriminal na pagtibayin malinaw na tinukoy sa teksto ng al-Quran at al-Sunnah. Criminal mga pagpapatibay, ay itinuturing bilang isang bagay na hindi dapat ay nagbago, kung ang pangangailangan ay matugunan o katibayan. Ang ta'zir kriminal pagpapatibay, ito ay isang uri ng parusa ay hindi tinukoy sa pamamagitan ng eksakto ang mga teksto, kapwa sa pamamagitan ng al-Quran pati na rin sa pamamagitan ng al-Sunna.

Samakatuwid, ang mga awtoridad upang matukoy ang mga kriminal na ta'zir pagpapatibay, ay nasa kamay ng mga lokal na awtoridad (ulil amr), kaya na ang anumang uri ng kaparusahan iba-iba ayon sa mga lokal na pangyayari. Ta'zir isang legal na kautusan na nagpapahintulot sa mga Islamic penal code sa sumunod sa mga iniaatas ayon perkembanghan espasyo at oras.

B, itulot / parusa sa katiwalian

Islam bilang isang sistema ng halaga ng plays ng isang mahalagang papel na ginagampanan upang magbigay ng mga halaga ng paliwanag, moral kamalayan, pinabuting ng kaisipan o moral pagbuti, na may magandang mga potensyal na gamitin ng bawat indivisu, namely budhi. Bukod dito Islam ay hindi lamang isang pangako sa pamamagitan ng mga indibidwal na pagsisikap pensalehan, kundi pati na rin sa lipunan pensalehan. Sa ganitong lipunan pensalehan, Islam nakabuo ng isang simbuyo ng damdamin para sa pagbabago kemungkaran, espiritu paalalahanan ang bawat isa, at sabihan bawat isa. Paunlarin ang isang tunay na Islamic espiritu ng panlipunang kontrol.

Sa ibang form, Islam din binuo ang isang form ng mga mahigpit na batas, administrative pangangasiwa ng sistema danb ng pangangasiwa ketat.Oleh kaya na magbigay at magtatag ng mga kaparusahan para sa mga perpetrators ng mga katiwalian, dapat hindi walang pili-pili, kung siya ay isang opisyal o ay siya ang pinaka. Ang layunin ng parusa ay upang magbigay ng isang kahulugan ng pagpapaudlot upang matigil ang masasamang siya ay tapos na, kaya na maaaring nalikha rasadamai, at pagkakabagay-bagay sa lipunan [5]

Katiwalian ay isang mahalay na gawa ay ipinagbabawal ng syara ', bagaman ang mga teksto ng hindi ipaliwanag o kifaratnya ay. Subalit ang mga perpetrators ng kaparusahan katiwalian ta'zir para sa mga kemaksiatn. Gawang mahalay ay may ilang pagkakatulad, bukod sa iba, betraying pangako, panlilinlang, pagsisinungaling, napakataas na interes, atbp kainan sa loob ng treasures. Kaya kumilos ang mapailalim sa isang mahalagang ta'zir jarimah.

Ito ay sa linya sa mga Propeta ang mga sumusunod na Hadith:

عن جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: ليس على خائن ولا منتهب ولا مختلس قطع) رواه احمد والترمذى (

Ito ay nangangahulugan na: "Narrated sa pamamagitan ng RA Jabir ng propeta Muhammad, ang Propeta said: Walang (parusa) lagtas mga kamay para sa mga traitors, usurpers at aggressors / pickpockets. (HR.Ahmad at Tirmizy) [6].

Bilang isang pangunahing patakaran, Islam ay nagbibigay-daan para sa ta'zir nahatulan gawang mahalay, pabila dikendaki ng pampublikong interes, ibig sabihin mga aksyon at mga pangyayari na maaaring sentenced sa hindi tinukoy ta'zir naunang pangungusap, dahil ito ay depende sa kalikasan partikular, at pabila mga traits ay hindi umiiral, tulad ng mga gawang ay hindi na ipinagbabawal at hindi napapailalim sa parusa. Kaugalian na ito ay pumipinsala sa interes at kaayusang pambayan. At kung kumilos ay pinatunayan sa hukuman bago ang hukom ay hindi dapat itakda sa kanya libre, ngunit kailangan bitawan ang mga nararapat na parusa para sa kanya ta'zir.

Ta'zir sentencing para sa mga interes at pampublikong kaayusan, ang kasulatan ay tumutukoy sa Propeta Muhammad, kung saan siya ay pinigil ng isang tao ang inakusahan ng pagnanakaw ng isang kamelyo, matapos na kilala / napatunayan na hindi siya ay magnakaw ito, pagkatapos ay ang Messenger ng Allah-set sa kanya libre. [7]

Islamic batas ay hindi tukuyin ang iba't-ibang mga kaparusahan para sa jarimah ta'zir, ngunit lamang mentions isang set ng mga parusa, simula mula sa parusa ng liwanag-liwanag, tulad ng mga payo, pagbabanta, hanggang sa ang parusa seberatberatnya. [8]

Full application na isinumite sa hukom (Panginoon), na may kapangyarihan siya, maaari niyang magtakda ng isang angkop na parusa sa mga antas ng krimen at estado aktor, [9] sa pamamagitan ng observing ng pangkalahatang probisyon ng Islam sa pangungusap, namely:

1. Sentencing layunin, namely upang mapanatili at mapanatili ang pampublikong interes

2. Pagka-epektibo ng kaparusahan sa harap ng katiwalian na walang nanghihiya ng mga lider ng mga taong mapagkawanggawa

3. Katapat ng krimen, kung kaya't ang terasa makatarungang

4. Walang-play ng mga paborito, ang lahat ng pantay-pantay sa harap ng keudukannya batas. [10]

Hukom ay maaaring isaalang-alang at pag-aralan ang malakas na liwanag at mga gawang ginawa ng mga perpetrators ng katiwalian. Mga krimen na natukoy sa pamamagitan ng legal na tekstuwal pagpapatibay, ang isang hukom ay walang pagpipilian kundi upang ipatupad ito. Kahit na legal para sa pagpapatibay ng mga perpetrators ng mga katiwalian ay hindi malinaw na binanggit sa teksto, ngunit ang pang-aagaw at pengkhiatan maaari diqiyaskan bilang paglustay at katiwalian.

1. Ang pag-unawa at Ta'zir Uri ng

Ta'zir ay ang parusa ng mga convicts na hindi malinaw na tinukoy sa form ng kapahintulutan sa mga teksto. Ang parusa ay ipapataw na magbigay sa mga aralin sa terepidana na hindi siya ay ulitin ang krimen siya ay nakatuon .. Kaya ang uri ng pangungusap na tinatawag na 'uqubah mukhayyarah (kaparusahan option).

Jarimah ang ta'zir kaparusahan mayroong dalawang uri, namely:

1. Jarimah ay ipinapataw kaparusahan at Qisas, kung hindi pa nakikilala ng isa rukunnya, tulad ng pagnanakaw jarimah sentenced ta'zir para sa tao na estola mga bagay na hindi naka-imbak na ng maayos, o para sa mga tao na hindi mencurti kalakal maabot nishab pagnanakaw. Sa jarimah parusahan ta'zir pangangalunya pahatiran para sa isang butas sa karagdagan sa aari (oral sex). Jarimah qadzaf sa ta'zir parusahan para na sa paghalik qadzaf hindi sisingilin sa pangangalunya.
2. Jarimah na kung saan ay walang kaparusahan at Qisas, tulad ng jarimah betrayal ng isang utos na ibinigay, jarimah panununog, pagsuhol, atbp.

2. Aplikasyon ng Executors Ta'zir Para sa mga katiwalian

Ta'zir parusa ay ipapataw sa mga perpetrators ng katiwalian. Ang tanong ay, kung bakit ang katiwalian kabilang ang jarimah ta'zir? Alam namin na katiwalian ay kasama sa jarimah isa na ito ay hindi nabanggit sa pamamagitan ng mga teksto ng malinaw na, kaya hindi siya ay pag-aari sa ang uri ng parusa ay jarimah ay at Qisas. Katiwalian bilang ghasab ng batas, bagama't ang mga ari-arian ay ginugol sa mga lider ng katiwalian sa nishab ninakaw na ari-arian na hiwa ng kanyang pangungusap. Hindi maaaring equated sa parusa ng lagtas kamay ng mga magnanakaw, ito ay dahil ang mga ito kasama ang syubhat. Gayunman, maihahambing o diqiyaskan ang mga parusa sa isang magnanakaw pagnanakaw ng pera ninakaw mengembalian.

Jarimah katiwalian sa tatlong mga sangkap na maaaring kinuha-alang para sa hukom sa pagtukoy ng parusa ng:

Una: pagkakait ng ari-arian ng iba.

Ikalawa: betrayal o pang-aabuso ng kapangyarihan, at

Third: kooperasyon, o ayusin ang krimen.

Ang mga ito ang tatlong mga sangkap na ito ay malinaw na ipinagbabawal sa mga Muslim na batas. Bukod dito depende sa karunungan ng mga karaniwang pang-unawa, tiwala at kahulugan ng katarungan na ito ay batay sa katinuan ang mga hukom ng katarungan upang matukoy ang mga kaparusahan para sa mga perpetrators ng katiwalian. Kahit na ang isang hukom ay ibinigay ang kalayaan sa magsuot ta'zir, ngunit sa pagtukoy sa parusa, isang hukom ay dapat isaalang-alang ang mga pangkalahatang probisyon kahanga-hanga pagpapatibay sa Islamic Criminal Law:

1. Ang parusa ay ibinibigay lamang sa mga tao na gawin jarimah, dapat ay hindi sa mga tao na hindi gumawa ng sama parusahan

2. Ang pagkakaroon ng layunin, ng isang tao na nahatulan ng isang krimen kapag may sangkap na sinadya na gawin masama, walang isip-isip ay nangangahulugan na dahil sa mga pagkukulang, pagkakamali, kalimutan, o mali. Subalit dahil sa pagpapabaya, maling, maling mananatiling nakalimutan o parusa na ibinigay ng isang, kahit na hindi isang kaparusahan para sa krimen, ngunit para sa kapakanan ng kalikasan mendididik.

3. Ang parusa ay ipapataw lamang kung krimen ay kumbinsido siya ay tapos na

4. Maingat sa menenetukan parusa, hayaan hindi parusahan at kamay nito sa loob sa Diyos kung ito ay hindi sapat na katibayan. [11]

Sa pangkalahatan, katiwalian sa Islamic tingnan ay isang kriminal na kumilos laban sa moral at relihiyoso etika. Sira pag-uugali ay maaaring magbawas ng mga gantimpala ng Jihad / dusa. Sa isang kuwento narrated na ang mga Propeta emphasized na dahil sa mga katiwalian ng isang tao na dapat ay mga eksperto sa langit (bilang Shahid), sa halip na pumunta sa impiyerno dahil culasnya pag-uugali. Kapag ang isang kaibigan na namatay sa peretempuran Khaibar, ang isang pulutong ng mga kaibigan at nakakabigay-puri papuri bilang isang bayani na namatay ang isang martir, kaya kailangan niya ang maging isang dalubhasa sa langit. Subalit ang mga Propeta brushed off ito sa pamamagitan ng pagsasabi ng "hindi, isang turbante na siya estola mula sa digmaan nadambong ng Khaibar ay sumunog sa kanyang katawan sa impiyerno" [12]

Ibn Taymiyyah nabanggit ang ilang modelo ng jarimah ta'zir parusa ay kailanman exemplified sa pamamagitan ng Propeta at ang kanyang mga companions: "Hangganan ng ta'zir pinakamaliit na kaparusahan ay hindi maaaring tinutukoy, ngunit ang punto ay ang lahat ng kaparusahan masakit para sa mga tao, na maaaring mga salita, kilos o gawa, at desterado. Kung minsan ang isang tao parusahan ta'zir sa pamamagitan ng pagbibigay ng payo o mahigpit na pangangaral, menjelekakannya at manghiya ito.

Kung minsan ang isang tao sa pamamagitan ng parusahan ta'zir malayo sa pag-alis sa bansa upang siya ay magsisi. Bilang ng mga propeta ay pinatalsik ng tatlong tao na tumalikod, sila Ka'b bin Malik, Maroroh bin Rabi ', at Hilal bin Umaiyyah. Sila ay pinatay ang layo mula sa Propeta sa Tabuk digmaan. Kaya ang Propeta iniutos na ihiwalay ang mga ito, pagkatapos ay ang Propeta forgave sa kanila matapos getting off ang Verses ng Qur'aan tungkol sa pagtanggap ng kanilang pagsisisi. At kung minsan ta'zir berbenuk kaparusahan pagpapaalis mula sa militar ng serbisyo para sa mga sundalo na fled mula sa larangan ng digmaan, dahil tumatakbo ang layo mula sa digmaan medasn isang malaking kasalanan. Gayundin, kung ang mga opisyal ay upang siya ay desterado irregularities ". [13]

Paglalarawan ay malinaw sa atin na ang parusa ay jarimah ta'zir ranged mula sa pagbibigay ng isang mahigpit na pangangaral sa pagkabilanggo at pagpapatapon.

Referring sa karanasan ng mga Propeta at ang kanyang mga companions sa ta'zir kaparusahan sa mga perpetrators ng katiwalian ay na maaari itong maging isang pagpili o ng isang kumbinasyon ng iba't-ibang uri ng 'uqubah ang mga sumusunod:

1) Crime ng kaluluwa (al-uqubah al-nafsiyah), ang parusa na may kaugnayan sa sikolohikal na isa, tulad ng mga babala at mga pagbabanta.

2) Krimen sa katawan (al-'uqubah al-badaniyyah), parusa ang ipapataw sa katawan ng tao, tulad ng parusang kamatayan, parusa paghampas (volume) at ang kanyang mga pangungusap na hiwa.

3) Crime ng ari-arian (al-'uqubah al-maliyah), parusa ang ipapataw sa isa sa ari-arian, tulad ng Diyat, mga multa at alinsunod.

4) Criminal sa pagsasarili, parusa ang ipapataw sa kalayaan ng tao, tulad ng mga parusa sa pagpapatapon (al-hasb) o bilangguan (al-sijn).

Tungkol sa isyu na ito na nabanggit ko ta'zir mas malinaw at mas matingkad sa aking mga grupo ng mga papeles partikular na pakikipag-usap tungkol sa jarimah ta'zir.

C. Isinasara

Isa sa pinakamalaking problema ng bansa na ito ay ang kultura ng katiwalian na legalisado ng publiko, kapag ang pagharap sa mga kaso katiwalian ng alinman sa ugat na antas sa bureaucratic istruktura ng pamahalaan o ang gawain ay nilinang, ang komunidad ay may kaugaliang katahimikan kahit na lumahok sa mga ito.

Ito ay oras para sa lahat ng tao sa kamay ng mga sangkap sa kamay disseminating laban sa katiwalian at mga anti-aabuso ng kapangyarihan na humantong sa bansa na ito at makakuha ng bumaba mula sa sumpa ng Allah SWT.

Bilang isa sa elemento ng lipunan, ang mga may-akda maaari lamang magdasal at gumawa ng mga pagsisikap ng bawat posible kaya na malaki ang ideals i-convert ang mga batas sa bansang ito ay maisasakatuparan sa ilang mga punto. Amin Oo rabbal 'Alamin.

Mga sanggunian

Aaudah, Abdul Qadir, al-Tasyri 'al-Jinai al-Islamy, Beirut: al-Risala Muassasah, Dami ko, 1,992.

A. Fathi Bahansi, al-Mas'uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, Beirut: Dar al-Shuruq, 1984.

A. Hanafi, ang mga prinsipyo ng Islamic Criminal Law, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Arifin, Jaenal at M. Salim Arskal duktor, Criminal Islam sa Indonesia: Opportunities, prospect, at mga hamon, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Ismail Muhammad Shah, Pilosopiya ng Islamic Law, Jakarta: Bumi Aksara, 1,992.

Muhammad Shah, Ismail, et al, Pilosopiya ng Islamic Law, Jakarta: Bumi Aksara, 1,992.

Munawar Fuad Noeh, Islam at ang Moral Anti-katiwalian Movement, Jakarta: 1,997 Judge Zikrul.

Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, jili 4, Bandung: Dahlan, t.th.

Nasir S. Cape, "Jarimah at 'Side Dalawang Uqubah ay Ta'zir". Pulpito Relihiyon at Kultura, III, 1985.

Umam, Khairul, Usul hurisprudensya ko, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Wahab Afif, Criminal Batas ng Islam, Jakarta: Yayasan Ulumul Quran, 1988.


[1] Khairul Umam, Usul batas, ako, (Jakarta, Pustaka Setia, 1998), p. 55

[2] Jaenal Arifin at M. Salim Arskal duktor, Criminal Islam sa Indonesia: Opportunities, prospect, at mga hamon, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), h.57

[3] Ismail Muhammad Shah et al, Pilosopiya ng Islamic Law, (Jakarta, Earth script, 1992), h.227

[4] Ibid., P. 107

[5] Munawar Fuad Noeh, Islam at ang Moral Movement Laban sa katiwalian, (Jakarta, Zikrul Judge, 1997),

h.154-155

[6] Muhammad Ismail bin al-Kahlani, Subul al-Salam, jili 4, (Bandung, dahlan, t.th.), h.22

[7] A. Hanafi, ang mga prinsipyo ng Islamic Criminal Law, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), h.69

[8] Nasir S. Cape, "Jarimah at 'Side Dalawang Uqubah ay Ta'zir". Pulpito Relihiyon at Kultura, III, 1985, h.13

[9] Aaudah Abdul Qadir, al-Tasyri 'al-Jinai al-Islamy, (Beirut, Muassasah al-Risala, 1992), Vol 1, p. 66

[10] Wahab Afif, Islamic Criminal Law, Banten, Ulumul Quran Foundation, 1988), p. 214

[11] Ismail Muhammad Shah, Pilosopiya ng Islamic Law, (Jakarta, Earth script, 1992), h.87

[12] Munawar Fuad Noeh, op.cit., H.90-91

[13] A. Fathi Bahansi, al-Mas'uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, (Beirut, Dar al-Shuruq, 1984), h.23

Read more...

ISLAMIQUE droit et la corruption


A. Introduction

Al-Quran révélé par Dieu à l'humanité afin de vivre dans la tâche saebagai lignes directrices et du mandat du calife de Dieu sur terre. Al-Quran comme Écritures Écriture parfaite plus tôt, fut l'ère kulli salih wa li mangé (approprié pour tous les âges et le lieu), et Lil rahmatan 'alamin (miséricorde pour toutes les créatures). Et le prophète Mahomet, la Sunna est le bienfait uswatun dans chaque mot, acte et prilakunya. Les deux sont des sources principal des enseignements islamiques utilisé par tous les musulmans, comme Li Hudan al-nas.

Usul Fiqh Ulama diviser les versets du Coran juridiques aux deux formes, à savoir (a) les lois qui sont détaillées (juz'iy), donc les versets sont appelés par eux "le droit ta'abbudi (qui ne peuvent être inscrits ou l'intervention de la raison), et les lois qui sont globaux (kulli) qui est la plupart du contenu des versets juridiques du Coran, la Sunna dans cette affaire a valeur d'explication, et le pengkhusus barrière de ces versets [1].

La loi islamique dans toute la société, n'importe où, est destiné à contrôler, réglementer, et comme un moyen de contrôle public, il s'agit d'un système ditegakan, principalement pour protéger les droits individuels et collectifs.

Comme un système juridique fondé sur la révélation (NASS), le droit islamique a un but à atteindre kemaslatan de l'homme dans le monde et l'au-delà. La loi islamique est essentiellement composée de deux aspects de l'enseignement en termes de types de sources, à savoir:

1. Les aspects de la charia, il était dans la forme de textes ou de révélations que la vérité est absolue, et

2. Aspects de la jurisprudence, qui a la forme de la charia est intervenu par la raison humaine et la pensée que la vérité est relative. [2]

Dans la formulation de la loi islamique est le principal objectif à atteindre et à maintenir les cinq objectifs principaux (Al-al-shar'iyya maqashid), à savoir: la religion, âme, esprit, l'honneur ou du lignage, et les biens. Ces cinq points importants doivent être réalisés plus tôt et maintenu pour la réalisation du bénéfice de l'homme, qui a été réalisé avec les soi-disant bien dans le monde et de bon dans l'au-delà.

Ainsi, tous les actes ou actions qui pourraient menacer la sécurité de l'un des cinq teersebut chose principale, il doit être considéré comme une infraction (délit) est interdite, et pour protéger et préserver ces cinq points clés et les hommes bénéficient en général, l'Islam établit et confirme un certain nombre de règlements, soit sous la forme de commandements et interdictions, et, dans certains cas, ces règles est accompagnée de la menace du châtiment terrestre ou à des sanctions et / ou ukhrawi, si les règles sont violées.

Afterlife punition est une récompense ou contrepartie d'un acte humain déviant pour vivre dans le monde. L'exécution doit être inclus dans les tourments de l'enfer. L'intérieur est une variante de la peine adaptée à la nature et la qualité du péché et de culpabilité. Punition terrestre est une peine qui a été décidé par le juge et la peine effectuée dans le monde [3].

Earthly punition, il existe deux sortes, à savoir la première qui est basé sur les textes de Qisas, Diyat et tenues. Et le second n'est pas basé sur les textes, mais le juge a rendu la sagesse pa pour réaliser l'avantage de l'humanité ta'zir la forme et soumis à la considération de ses juges.

L'analyse des cinq principaux points ci-dessus, le crime peuvent être classées en cinq grands groupes, à savoir les crimes contre la religion, les crimes contre la vie humaine, un crime contre la raison, un crime contre l'honneur et de descendants, ainsi que les crimes contre la propriété benda.4 [4] discussion des problèmes de ce crime, qui dans la plupart littérature est appelée al-fiqh jinayah ou communément connu comme le droit pénal islamique.

Le droit pénal est le droit qui sont publiques, ce qui signifie que c'est la loi régissant les violations et les crimes contre l'intérêt public, soit publics (l'Etat) ainsi que les intérêts propres de l'homme, tels que mental, physique ou corps, etc. Dans la pratique, le code pénal islamique prévoit des sanctions pénales pour toute violation ou de crimes que la nature publique, divisée en trois grandes catégories de sanctions conformément à la forme de criminalité, à savoir des sanctions pénales hudud, qishashdiyat sanctions pénales et sanctions pénales ta'zir.

Pembahsan dans les livres de la jurisprudence classique, uqubah le problème »a toujours été intégré à d'autres formes de jarimah (crime), tellement impressionné les formes de sanction pénale dans l'Islam a un impact psychologique de chacun sur l'auteur de certains crimes. En général, la base de discussion, il est une forme de criminalité. En fait, ils forment leur propre pénale n'est pas absolument dépendante d'autres formes d'actes criminels (l'infraction), et la réflexion sur les effets ou l'impact psychologique elle-même peut être changé selon les époques, de sorte que pourraient avoir été l'un des criminels ne sont plus efficaces comme une forme de délinquance.

Parmi les trois catégories de sanctions pénales, qui est devenu un problème fréquent et l'attention du public, est une sanction pénale du type houdoud, et qishashdiyat. Cette catégorie de sanctions pénales qui soient nushushiyah, parce qu'elle est une sanction pénale expressément définie dans les textes d'al-Quran et al-Sunna. Les sanctions pénales est considéré comme quelque chose qui ne devrait pas être modifié, si les exigences ont été respectées ou la preuve. Les sanctions ta'zir pénale, il est une sorte de punition n'est pas déterminé de façon précise par les textes, à la fois par al-Quran ainsi que par al-Sunna.

Ainsi, le pouvoir de déterminer ce ta'zir sanctions pénales, sont entre les mains des autorités locales (ulil amr), de sorte que tout type de sanction varie selon les circonstances locales. Ta'zir un ordre juridique qui permet au code pénal islamique de se conformer aux exigences selon perkembanghan l'espace et du temps.

B, Sanction / Peine de corruption

Islam en tant que système de valeurs joue un rôle important pour fournir les valeurs des Lumières, la conscience morale, l'amélioration mental ou moral amélioration, avec une utilisation potentielle bien de chacun indivisu, à savoir la conscience. De plus l'islam n'est pas seulement un engagement pensalehan par des efforts individuels, mais pensalehan aussi sociale. Dans ce pensalehan sociale, l'Islam a développé une passion pour kemungkaran changement, l'esprit se rappeler l'un l'autre, et se conseiller mutuellement. Développer un esprit islamique véritable contrôle social.

Dans une autre forme, l'Islam a également développé une forme de législation stricte, le contrôle administratif des ketat.Oleh système de gestion DanB donc de fournir et d'établir des sanctions pour les auteurs d'actes de corruption ne devraient pas sans discernement, qu'il était un officier ou était-il le plus. Le but de la peine est de donner un sens de la dissuasion pour arrêter le mal qu'il a fait, donc qui peuvent être créés rasadamai, et l'harmonie dans la société [5]

La corruption est un acte immoral qui est interdit par syara ', bien que les textes ne peuvent expliquer ou kifaratnya eu. Mais les auteurs de corruption ta'zir sanctions pour ceux kemaksiatn. Des actes immoraux ont certaines similitudes, entre autres, de trahir les promesses, de tromperie, de faux témoignage, l'usure, des trésors à manger, etc. Ainsi, l'acte tombe dans un ta'zir jarimah important.

Ceci est en ligne avec le Prophète le hadith suivant:

عن جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: ليس على خائن ولا منتهب ولا مختلس قطع) احمد رواه والترمذى (

Cela veut dire: "rapporté par Jabir RA du prophète Mahomet, le prophète a dit: Il n'y a pas de pénalité () couper les mains des traîtres, des usurpateurs et des agresseurs / pickpockets. (HR.Ahmad et Tirmizy) [6].

En règle de base, l'Islam permet au ta'zir condamné les actes immoraux, pabila dikendaki par l'intérêt public, c'est à dire les actions et les circonstances qui peuvent être condamnés à être déterminée ta'zir phrase précédente, car elle dépend de la nature particulier, et pabila ces traits ne n'existe pas, ces actes ne sont plus interdites et non soumis à une punition. Ce trait est préjudiciable aux intérêts et à l'ordre public. Et si l'acte a été prouvé devant le tribunal avant que le juge ne devrait pas lui donner la liberté, mais doit renoncer à la peine appropriée pour lui ta'zir.

Ta'zir détermination de la peine pour les intérêts et l'ordre public, l'acte se réfère au prophète Mahomet, où il avait arrêté un homme accusé d'avoir volé un chameau, après avoir connu / prouvé qu'il ne vole pas, alors le Messager d'Allah le mettre en liberté [7].

La loi islamique ne précise pas les sanctions en cas de ta'zir jarimah, mais mentionne seulement un ensemble de pénalités, à partir de la punition que la lumière contre-jour, telles que les conseils, les menaces, jusqu'à ce que le seberatberatnya peine [8].

Pleine application est soumise au juge (Lord), avec l'autorité qu'il a, il peut fixer une peine appropriée, avec les niveaux de criminalité et les acteurs publics [9], en observant les dispositions générales de l'Islam dans la phrase, à savoir:

1. Détermination de la peine objectifs, à savoir garder et entretenir l'intérêt public

2. Efficacité de la punition dans le visage de la corruption sans dégrader l'auteur de l'aide humanitaire

3. Proportionnelle au crime, si la terrasse juste

4. Sans coups de coeur à jouer, tous égaux devant la keudukannya loi [10].

Un juge mai examiner et analyser les actes lourds et légers, commis par les auteurs de la corruption. Les crimes qui ont été définis par les sanctions textual juridique, un juge n'a pas d'autre choix que de mettre en œuvre. Bien que les sanctions légales pour les auteurs de corruption ne sont pas mentionnés explicitement dans les textes, mais la saisie et la pengkhiatan peuvent diqiyaskan que le détournement et la corruption.

1. Comprendre et types ta'zir

Ta'zir est la peine des condamnés qui ne sont pas spécifiées explicitement dans la forme de sanction dans les textes. La peine a été imposée pour donner des leçons à terepidana qu'il ne répète pas le crime qu'il avait commis .. Donc, le genre de phrase, appelée «uqubah mukhayyarah (option punition).

Jarimah ta'zir les sanctions, il existe deux types, à savoir:

1. Jarimah avait imposé des sanctions et Qisas, s'il ne remplissait pas une rukunnya, tels que le vol jarimah condamné ta'zir pour l'homme qui ont volé des objets ne sont pas stockés correctement, ou pour les personnes qui ne sont pas des marchandises mencurti atteindre nishab vol. En jarimah ta'zir puni l'adultère de rapport sexuel pendant un trou en plus des organes génitaux (sexe oral). Qadzaf Jarimah sur ta'zir puni pour cela à embrasser qadzaf pas accusée d'adultère.
2. Jarimah qui n'avait pas de pénalités et Qisas, tels que la trahison jarimah d'un mandat qui a été donné, jarimah incendie criminel, la corruption, etc.

2. Application des exécuteurs ta'zir pour la corruption

Ta'zir la peine peut être appliquée aux auteurs d'actes de corruption. La question est, pourquoi la corruption, y compris la ta'zir jarimah? Nous savons que la corruption est incluse dans l'un jarimah qui n'est pas mentionné par les textes clairement, par conséquent, il n'appartient pas au type de sanction est jarimah eu et qisas. La corruption comme étant le droit Ghasab, bien que la propriété avait passé l'auteur de corruption au cours des nishab biens volés qui a coupé sa peine. Ne peut pas être assimilée à la punition de couper les mains des voleurs, c'est parce qu'elle comprend syubhat. Toutefois, comparables ou diqiyaskan le châtiment d'un voleur de voler de l'argent volé mengembalian.

Jarimah la corruption dans les trois éléments qui peuvent être prises en considération pour le juge dans la détermination de la peine de:

Premièrement: la privation de biens d'autrui.

Deuxièmement: la trahison ou l'abus d'autorité, et

Troisièmement: la coopération, ou de résoudre le crime.

Ces trois éléments ont été clairement interdite par la loi islamique. En outre, selon la sagesse du sens commun, la confiance et le sentiment de justice qui soit fondée sur le sens du juge de la justice pour déterminer la peine applicable aux auteurs d'actes de corruption. Même si un juge a donné la liberté de porter ta'zir, mais dans la détermination de la peine, un juge doit examiner la disposition générale qui impose des sanctions sur le droit pénal islamique:

1. La peine n'est accordée aux personnes qui ne jarimah, ne devrait pas les gens qui n'aiment pas faire le mal puni

2. L'existence d'une intention, une personne reconnue coupable d'un crime quand il ya un élément délibéré de faire le mal, il n'est pas délibérée moyens dû à la négligence, erreur, oubli, ou mal. Cependant, en raison de la négligence, mal, mal restent oubliés ou donné à une sanction, mais pas une punition pour le crime, mais pour le bénéfice de mendididik nature.

3. La pénalité sera imposée que si le crime est convaincu qu'il a fait

4. Prudente en punition menenetukan, ne laissez pas punis et l'a remis à Dieu, si ce n'est pas assez de preuves [11].

En général, la corruption dans le point de vue islamique est un acte criminel contraire à l'éthique morale et religieuse. Corrupt comportement peut diminuer la récompense du djihad / martyre. Dans un récit rapporté que le Prophète a souligné qu'en raison de la corruption quelqu'un qui devraient être des experts du ciel (comme Shahid), au lieu d'aller en enfer parce que le comportement culasnya. Quand un ami est mort en peretempuran Khaïbar, beaucoup d'amis et d'éloge flatteur comme un héros qui est mort en martyr, il va donc un ciel d'experts. Mais le prophète l'a brossé en disant "non, un turban qu'il avait volé du butin de guerre de Khaïbar serait brûler son corps dans la géhenne» [12]

Ibn Taymiyya mentionné plusieurs modèles châtiments ta'zir jarimah n'a jamais illustré par le Prophète et ses compagnons: «peines minimales ta'zir limite ne peut pas être déterminée, mais le point est d'autant châtiment douloureux pour l'homme, peuvent être des mots, des actes ou des actes, et exilé. Parfois, une personne punie ta'zir en donnant des conseils ou un blâme, menjelekakannya et humilier sa création.

Parfois, une personne passible d'ta'zir disparaître laissant le pays afin qu'il se repentir. Comme le prophète avait expulsé trois personnes qui se détournent, ils sont Ka'b bin Malik, Maroroh bin Rabi ', et Hilal bin Umaiyyah. Ils se détournèrent du Prophète dans la guerre Tabouk. Alors le Prophète ordonna de les isoler, puis le Prophète les a pardonné après être descendu les versets du Coran à propos acceptation de leur repentir. Et parfois ta'zir berbenuk peine de licenciement du service militaire pour les soldats qui avaient fui le champ de bataille, parce que fuyant la guerre medasn un grand péché. De même, si les fonctionnaires l'ont fait il a été exilé irrégularités »[13].

Description est clair pour nous que la peine était ta'zir jarimah variait de donner une réprimande à l'emprisonnement et l'exil.

Se référant à l'expérience du Prophète et ses compagnons sur la peine ta'zir aux auteurs d'actes de corruption est qu'il peut être un choix ou une combinaison de divers types de «uqubah suit:

Crime 1) de l'âme (al-uqubah-nafsiyah), la pénalité associée à l'ordre psychologique, comme les avertissements et les menaces.

Crime 2) sur le corps (al-'uqubah-badaniyyah), la peine imposée à l'organisme humain, tels que la peine capitale, la peine de flagellation (volumes) et fait couper la peine.

3) la criminalité de la propriété (al-'uqubah-Maliyah), la pénalité imposée à une propriété, tels que Diyat, les amendes et la confiscation.

4) criminel sur l'indépendance, la peine infligée à la liberté de l'homme, tels que la peine de l'exil (al-hasb) ou de la prison (Al-sijn).

À propos de cette question je l'ai mentionné ta'zir plus claire et plus précise que dans mon groupe de papiers parlons précisément de ta'zir jarimah.

C. Fermeture

L'un des plus gros problèmes cette nation est la culture de corruption qui ont été légalisés par le public, lorsqu'il s'agit des affaires de corruption, soit au niveau de la racine de la structure bureaucratique du gouvernement ou le travail en élevage, la communauté a tendance à même le silence y participer.

Il est temps pour toutes les personnes contre les éléments en main la diffusion de l'anti-corruption et anti-abus de l'autorité qui a conduit ce pays et d'obtenir tombée de la malédiction d'Allah SWT.

Comme un élément de la société, l'auteur ne peut que prier et faire tout leur possible afin que les grands idéaux de convertir les lois dans ce pays ne peut se réaliser à un moment donné. Amin Oui rabbal 'Alamin.

REFERENCES

Aaudah, Abdul Qadir, Al-Tasyri '-Jinai al-Islamy, Beyrouth: Al-Risala Muassasah, Volume I, 1992.

A. Fathi Bahansi, al-Mas'uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, Beyrouth: Dar al-Shuruq, 1984.

A. Hanafi, les principes du droit pénal islamique, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Arifin, Jaenal et M. Salim Arskal GP, Criminal l'islam en Indonésie: opportunités, perspectives et défis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Ismail Mohammed Shah, de la philosophie du droit islamique, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Muhammad Shah, Ismail, et al, philosophie du droit islamique, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Munawar Fuad Noeh, l'Islam et la lutte contre la morale-corruption Mouvement, Jakarta: 1997 Juge Zikrul.

Muhammad ibn Ismaïl al-Kahlani, Subul al-Salam, jili 4, Bandung: Dahlan, t.th.

Nasir S. Cape, "Jarimah et« Side Two Uqubah est ta'zir ". Chaire Religion and Culture, III, 1985.

Umam, Khairul, Usul Jurisprudence I, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Wahab Afif, le droit pénal de l'islam, Jakarta: Yayasan Ulumul Coran, 1988.


[1] Khairul Umam, Usul jurisprudence, I, (Jakarta, Pustaka Setia, 1998), p. 55

[2] Jaenal Arifin et M. Salim Arskal GP, Criminal l'islam en Indonésie: opportunités, perspectives et défis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), h.57

[3] Ismail Mohammed Shah et al, philosophie du droit islamique, (Jakarta, la Terre script, 1992), h.227

[4] Ibid., P. 107

[5] Munawar Fuad Noeh, l'islam et le mouvement moral contre la corruption, (Jakarta, Zikrul Judge, 1997),

h.154-155

[6] Muhammad bin Ismaïl al-Kahlani, Subul al-Salam, jili 4, (Bandung, Dahlan, t.th.), H.22

[7] A. Hanafi, les principes du droit pénal islamique, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), H.69

[8] S. Nasir cap », Jarimah et« Side Two Uqubah est ta'zir ". Chaire Religion and Culture, III, 1985, H.13

[9] Aaudah Abdul Qadir, Al-Tasyri '-Jinai al-Islamy, (Beyrouth, Muassasah Al-Risala, 1992), t. 1, p. 66

[10] Wahab Afif, droit pénal islamique, Banten, Ulumul Coran Foundation, 1988), p. 214

[11] Ismail Mohammed Shah, de la philosophie du droit islamique, (Jakarta, la Terre script, 1992), h.87

[12] Munawar Fuad Noeh, op.cit., H.90-91

[13] A. Fathi Bahansi, al-Mas'uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, (Beyrouth, Dar al-Shuruq, 1984), h.23

Read more...

ISLAMIC LAW AND CORRUPTION

A. Introduction

Al-Quran revealed by God to humankind in order to be living in saebagai guidelines task / mandate of the caliph of God on earth. Al-Quran as a perfect scripture scriptures earlier, was the era kulli salih wa li ate (appropriate for every age and place), and rahmatan lil 'alamin (mercy for all creatures). And the prophet Muhammad, the Sunnah is uswatun hasanah in every word, deed and prilakunya. Both are principal sources of Islamic teachings used by all Muslims, as hudan li al-nas.

Usul Fiqh Ulama divide the legal verses of the Qur'aan to the two forms, namely (a) the laws that are detailed (juz'iy), so the verses are by them called the ta'abbudi law (which can not be entered or the intervention of reason), and the laws that are global (kulli) which is the most content of the legal verses of the Qur'aan, the Sunnah in this case serves as an explanation, and the barrier pengkhusus of these verses. [1]

Islamic law in any society, anywhere, is intended to control, regulate, and as a means of public control, he is a ditegakan system, mainly to protect individual and community rights.

As a legal system based on the revelation (nass), Islamic law has a goal to achieve human kemaslatan in the world and the hereafter. Islamic law is essentially composed of two aspects of teaching in terms of source types, namely:

1. Aspects of Shariah, he was in the form of texts or revelations that truth is absolute, and

2. Aspects of jurisprudence, which has the form of Shariah intervened by human reason and thought that truth is relative. [2]

In the formulation of Islamic law has the primary goal to achieve and maintain the five main objectives (al-al-shar'iyya maqashid), namely: religion, soul, mind, honor or lineage, and property. These five key points must be realized earlier and maintained for the realization of human benefit, which was achieved with the so-called, good in the world and good in the Hereafter.

Thus, any acts or actions that could threaten the safety of any of the five main thing teersebut, it should be considered a crime (offense) is prohibited, and to protect and preserve these five key points and benefit mankind in general, Islam establishes and confirms a number of regulations, either in the form of commands and prohibitions, and in some cases these rules is accompanied by the threat of earthly punishment or sanctions and / or ukhrawi, if rules are violated.

Afterlife punishment is a reward or return for a deviant act human for living in the world. Execution is to be included into the torment of hell. Inside is a variation of punishment tailored to the type and quality of sin and guilt. Earthly punishment is a punishment that was decided by the judge and the sentence carried out in the world. [3]

Earthly punishment there are two kinds, namely first that is based on the texts of Qisas, Diyat and had. And the second is not based on the texts, but the judge handed pa wisdom to realize the benefit of mankind ta'zir the form and submitted to the consideration of its judges.

Looking at the five main points above, then the crime can be categorized into five major groups, namely crimes against religion, crimes against human life, a crime against reason, a crime against honor and descendants, as well as crimes against property benda.4 [4] discussion of the problems this crime, which in most literature is known as fiqh al-jinayah or commonly known as the Islamic Criminal Law.

Criminal law is the law that are public, meaning it is the law governing the violations and crimes against the public interest, either public (state) as well as man's own interests, such as mental, or physical body, etc.. In practice the Islamic Penal Code provides criminal sanctions for any violations or crimes that the public nature, divided into three main categories of sanctions in accordance with the form of crime, ie criminal sanctions hudud, qishashdiyat criminal sanctions, and criminal sanctions ta'zir.

Pembahsan in the books of classical jurisprudence, the problem 'uqubah was always integrated with other forms of jarimah (crime), so impressed the forms of criminal sanction in Islam has a psychological impact of each upon the perpetrator of certain crimes. In general, the basis for discussion it is a form of crime. In fact, form their own criminal not absolutely dependent on other forms of criminal acts (the offense), and reflection on the effects or the psychological impact itself can be changed according to the times, so that could have been one of the criminal is no longer effective as a form of criminal.

Of the three categories of criminal sanctions, which became a frequent problem and the public spotlight, is a criminal sanction of the type hudud, and qishashdiyat. This category of criminal sanctions that are nushushiyah, because it is a criminal sanction expressly defined in the texts of al-Quran and al-Sunnah. Criminal sanctions is, regarded as something that should not be changed, if the requirements have been met or proof. The ta'zir criminal sanctions, it is a kind of punishment is not determined exactly by the texts, both by al-Quran as well as by al-Sunna.

Thus, the authority to determine this ta'zir criminal sanctions, are in the hands of local authorities (ulil amr), so that any type of punishment varied according to local circumstances. Ta'zir a legal order that allows the Islamic penal code to conform to the requirements according perkembanghan space and time.

B, Sanction / Penalty Corruption

Islam as a value system plays an important role to provide enlightenment values, moral awareness, improved mental or moral improvement, with good potential use of each indivisu, namely conscience. Furthermore Islam is not only a commitment by individual pensalehan efforts, but also social pensalehan. In this social pensalehan, Islam developed a passion for change kemungkaran, spirit remind each other, and advise each other. Develop a true Islamic spirit of social control.

In another form, Islam also developed a form of strict legislation, administrative supervision system danb managerial ketat.Oleh therefore to provide and establish penalties for the perpetrators of corruption, should not indiscriminately, whether he was an officer or was he the most. The purpose of punishment is to give a sense of deterrence to stop the evil he has done, so that can be created rasadamai, and harmony in society [5]

Corruption is an immoral act which is prohibited by syara ', although the texts do not explain or kifaratnya had. But the perpetrators of corruption ta'zir penalties for those kemaksiatn. Immoral acts have some similarities, among others, betraying promises, deception, perjury, usury, etc. dining treasures. So the act falls into an important jarimah ta'zir.

This is in line with the Prophet the following Hadith:

عن جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: ليس على خائن ولا منتهب ولا مختلس قطع) رواه احمد والترمذى (

It means: "Narrated by Jabir RA of the prophet Muhammad, the Prophet said: There is no (penalty) cutting off hands for traitors, usurpers and aggressors / pickpockets. (HR.Ahmad and Tirmizy) [6].

As a basic rule, Islam allows for ta'zir condemned immoral acts, pabila dikendaki by the public interest, meaning actions and circumstances that can be sentenced to not be determined ta'zir previous sentence, because it depends on the nature particular, and pabila these traits does not exist, such acts are no longer prohibited and not subject to punishment. This trait is detrimental to the interests and public order. And if the act has been proved in court before the judge should not set him free, but must drop the appropriate punishment for him ta'zir.

Ta'zir sentencing for the interests and public order, the deed refers to the Prophet Muhammad, where he had detained a man accused of stealing a camel, after known / proven he did not steal it, then the Messenger of Allah set him free. [7]

Islamic law does not specify the various penalties for jarimah ta'zir, but only mentions a set of penalties, starting from the punishment as light-light, such as advice, threats, until the punishment seberatberatnya. [8]

Full application submitted to the judge (Lord), with the authority he has, he can set an appropriate punishment with the crime levels and state actors, [9] by observing the general provisions of Islam in the sentence, namely:

1. Sentencing objectives, namely to keep and maintain the public interest

2. Effectiveness of punishment in the face of corruption without degrading the perpetrator of humanitarian

3. Commensurate with the crime, so the terrace fair

4. Without playing favorites, all equal before the law keudukannya. [10]

A judge may consider and analyze the heavy and light acts committed by the perpetrators of corruption. Crimes that have been defined by the textual legal sanctions, a judge has no choice but to implement it. Although legal sanctions for the perpetrators of corruption are not mentioned explicitly in the texts, but the seizure and pengkhiatan can diqiyaskan as embezzlement and corruption.

1. Understanding and Ta'zir Types

Ta'zir is the punishment of convicts who are not specified explicitly in the form of sanction in the texts. The penalty was imposed to give lessons to terepidana that he did not repeat the crime he had committed .. So the kind of sentence called 'uqubah mukhayyarah (punishment option).

Jarimah the ta'zir penalties there are two types, namely:

1. Jarimah had imposed penalties and Qisas, if not met one rukunnya, such as the theft jarimah sentenced ta'zir for man who stole items not stored properly, or for people who are not mencurti goods reach nishab theft. In jarimah punished adultery intercourse ta'zir for a hole in addition to genital (oral sex). Jarimah qadzaf on ta'zir punished for that to kissing qadzaf not charged with adultery.
2. Jarimah which had no penalties and Qisas, such as jarimah betrayal of a mandate that has been given, jarimah arson, bribery, etc..

2. Application of Executors Ta'zir For Corruption

Ta'zir penalty can be applied to the perpetrators of corruption. The question is, why corruption including the jarimah ta'zir? We know that corruption is included in jarimah one that is not mentioned by the texts clearly, therefore he does not belong to the type of punishment is jarimah had and Qisas. Corruption as ghasab law, although the property had spent the perpetrator of corruption over the stolen property nishab who cut his sentence. Can not be equated with the punishment of cutting off hands of thieves, this is because it includes syubhat. However, comparable or diqiyaskan the punishment of a thief stealing money stolen mengembalian.

Jarimah corruption in the three elements that can be taken into consideration for the judge in determining the punishment of:

First: deprivation of property of others.

Second: betrayal or abuse of authority, and

Third: cooperation, or fix the crime.

These three elements have been clearly prohibited in Islamic law. Furthermore depending on the wisdom of common sense, confidence and sense of justice that is based on the judge's sense of justice to determine the punishment for the perpetrators of corruption. Although a judge was given the freedom to wear ta'zir, but in determining the penalty, a judge should consider the general provision imposing sanctions on the Islamic Criminal Law:

1. The punishment is only given to people who do jarimah, should not people who do not do evil punished

2. The existence of intent, a person convicted of a crime when there is a deliberate element to do evil, there is no deliberate means due to negligence, mistake, forget, or wrong. However due to negligence, wrong, wrong remain forgotten or given a penalty, though not a punishment for crime, but for the benefit of nature mendididik.

3. The penalty will be imposed only if the crime is convinced he has done

4. Cautious in menenetukan punishment, let not punished and handed it over to God if it is not enough evidence. [11]

In general, corruption in the Islamic view is a criminal act contrary to the moral and religious ethics. Corrupt behavior can diminish the reward of jihad / martyrdom. In a story narrated that the Prophet emphasized that due to corruption someone who should be experts heaven (as Shahid), instead go to hell because culasnya behavior. When a friend died in peretempuran Khaibar, a lot of friends and flattering praise as a hero who died a martyr, so he'll be an expert heaven. But the Prophet brushed it off by saying "no, a turban which he stole from the war booty of Khaibar would burn his body in hell" [12]

Ibn Taymiyyah mentioned several models jarimah ta'zir punishment has ever exemplified by the Prophet and his companions: "Limit ta'zir minimum penalties can not be determined, but the point is all the punishment painful for humans, can be words, actions or deeds, and exiled. Sometimes a person punished ta'zir by giving advice or reprimand, menjelekakannya and humiliate it.

Sometimes a person punished by ta'zir away with leaving the country so that he repent. As the prophet had expelled three people who turn away, they are Ka'b bin Malik, Maroroh bin Rabi ', and Hilal bin Umaiyyah. They turned away from the Prophet in Tabuk war. So the Prophet ordered to isolate them, then the Prophet forgave them after getting off the verses of the Qur'aan about acceptance of their repentance. And sometimes ta'zir berbenuk punishment dismissal from military service for soldiers who had fled from the battlefield, because running away from war medasn a great sin. Similarly, if the officials did so he was exiled irregularities ". [13]

Description is clear to us that the punishment was jarimah ta'zir ranged from giving a reprimand to the imprisonment and exile.

Referring to the experience of the Prophet and his companions on the ta'zir punishment to perpetrators of corruption is that it can be a choice or a combination of various types of 'uqubah follows:

1) Crime of the soul (al-uqubah al-nafsiyah), the penalty associated with the psychological one, such as warnings and threats.

2) Crime on the body (al-'uqubah al-badaniyyah), the punishment imposed on the human body, such as capital punishment, punishment flagellation (volumes) and his sentence cut.

3) Crime of the property (al-'uqubah al-maliyah), the penalty imposed on one property, such as Diyat, fines and confiscation.

4) Criminal on independence, the penalty imposed on the freedom of man, such as the punishment of exile (al-hasb) or prison (al-sijn).

About this issue I mentioned ta'zir clearer and more vivid in my group of papers specifically talking about jarimah ta'zir.

C. Closing

One of the biggest problems this nation is the culture of corruption that have been legalized by the public, when dealing with corruption cases either at the root level in the bureaucratic structure of government or the work being cultivated, the community tends to silence even participate in it.

It is time for all the elements people hand in hand disseminating anti-corruption and anti-abuse of authority that has led this country and get dropped from the curse of Allah SWT.

As one element of society, the author can only pray and make every effort possible so that large ideals to convert the laws in this country can be realized at some point. Amin Yes rabbal 'Alamin.

REFERENCES

Aaudah, Abdul Qadir, al-Tasyri 'al-Jinai al-Islamy, Beirut: al-Risala Muassasah, Volume I, 1992.

A. Fathi Bahansi, al-Mas'uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, Beirut: Dar al-Shuruq, 1984.

A. Hanafi, the principles of Islamic Criminal Law, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Arifin, Jaenal and M. Salim Arskal GP, Criminal Islam in Indonesia: Opportunities, Prospects, and Challenges, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Ismail Muhammad Shah, Philosophy of Islamic Law, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Muhammad Shah, Ismail, et al, Philosophy of Islamic Law, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Munawar Fuad Noeh, Islam and the Moral Anti-Corruption Movement, Jakarta: 1997 Judge Zikrul.

Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, jili 4, Bandung: Dahlan, t.th.

Nasir S. Cape, "Jarimah and 'Side Two Uqubah is Ta'zir". Pulpit Religion and Culture, III, 1985.

Umam, Khairul, Usul Jurisprudence I, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Wahab Afif, Criminal Law of Islam, Jakarta: Yayasan Ulumul Quran, 1988.


[1] Khairul Umam, Usul Jurisprudence, I, (Jakarta, Pustaka Setia, 1998), p. 55

[2] Jaenal Arifin and M. Salim Arskal GP, Criminal Islam in Indonesia: Opportunities, Prospects, and Challenges, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), h.57

[3] Ismail Muhammad Shah et al, Philosophy of Islamic Law, (Jakarta, Earth script, 1992), h.227

[4] Ibid., P. 107

[5] Munawar Fuad Noeh, Islam and the Moral Movement Against Corruption, (Jakarta, Zikrul Judge, 1997),

h.154-155

[6] Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, jili 4, (Bandung, dahlan, t.th.), h.22

[7] A. Hanafi, the principles of Islamic Criminal Law, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), h.69

[8] Nasir S. Cape, "Jarimah and 'Side Two Uqubah is Ta'zir". Pulpit Religion and Culture, III, 1985, h.13

[9] Aaudah Abdul Qadir, al-Tasyri 'al-Jinai al-Islamy, (Beirut, Muassasah al-Risala, 1992), vol 1, p. 66

[10] Wahab Afif, Islamic Criminal Law, Banten, Ulumul Quran Foundation, 1988), p. 214

[11] Ismail Muhammad Shah, Philosophy of Islamic Law, (Jakarta, Earth script, 1992), h.87

[12] Munawar Fuad Noeh, op.cit., H.90-91

[13] A. Fathi Bahansi, al-Mas'uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, (Beirut, Dar al-Shuruq, 1984), h.23

Read more...

Sharia Banking


CHAPITRE I

INTRODUCTION

A. Problème de fond

Dans la vie quotidienne - aujourd'hui, les gens ont des besoins - les besoins qui doivent être remplies à la fois les besoins de l'enseignement primaire, secondaire et tertiaire. Il ya des moments où les gens n'ont pas les fonds suffisants pour répondre à leurs besoins. Par conséquent, dans le développement économique de la société vient de financement de plus en plus les services offerts par les banques et institutions financières non-établissements bancaires financiers.

Institution bancaire est l'un des aspects définis dans la loi islamique, à savoir dans le cadre de muamalah régissant les relations humaines. Paramètres des institutions bancaires dans la loi islamique est basée sur la primauté du fiqh Usul qui stipule que (من لا يتم الواجب الا به فهو واجب), qui est quelque chose qui doit exister pour terminer l'obligatoire, alors il doit être tenu. Pour une vie (à savoir l'activité économique) est obligatoire lieu.

Parce que dans cette activité économique moderne ne sera pas parfait, sans aucun établissement bancaire, cette institution bancaire est devenu obligatoire, qui se tiendra [i]. Les institutions financières est l'une des fonctions des banques, en plus de la fonction de recueillir des fonds de la communauté. Cette fonction est connue sous le nom de l'intermédiation financière (fonction d'intermédiaire financier). Cette question est régie à l'article 1er paragraphe (1) Loi n ° 7 de 1992 sur les banques. Financement décaissé par le biais de deux types de banques, à savoir la Banque de classiques et les banques islamiques.

Le système appliqué dans l'intérêt des banques traditionnelles ont perturbé la conscience des musulmans dans le monde, sans exception, les musulmans en Indonésie. Intérêt de l'argent dans la jurisprudence de l'usure catégorisés en tant que telle est une chose qui est interdite par la charia (haram). Raison fondamentale derrière ceci est la naissance d'un sans intérêt des institutions financières, dont l'une est la charia Banque.

Une différence significative entre le financement classique de la Banque avec la Banque syariah selon M. Syafii Antonio est la suivante: [ii]

Banque syariah


Les banques classiques

1. Rendement des placements du cours légal


1. Investissement et haram halal

2. Basé sur le principe de l'intéressement, la vente ou la location


2. Le port de l'appareil d'intérêt

3. But lucratif et Falah


3. But lucratif

4. Relations avec les clients sous la forme de relations de partenariat


4. Relations avec les clients sous la forme de relation de créancier à débiteur

5. Perception et de répartition des fonds doit être conforme à la charia Fatma DewanPengawas


Il n'ya pas de conseils similaires

En fonctionnement, la charia, la Banque de fournir des services sous une forme qui se divise en:

1. Musyarakkah

Le financement fait partie du capital de l'entreprise, dont la banque peut être impliqués dans le processus de gestion.

2. Mourabaha

Akad sont l'achat et la vente de certaines marchandises à faire des profits.

3. Moudaraba

La banque offrait un financement de l'investissement en capital ou fonds de roulement, en pleine conformité avec les principes de résultats et,

4. Ijara (location - location)

Comprendre Ijara (leasing) contenues dans les différentes banques islamiques Conditions de location dans la pratique générale de la journée - jour. - Location dans la pratique quotidienne repose sur trois éléments essentiels sont:

a. Loyers

b. Période / bail

c. Objet louer

Dans une opération de location - location n'est pas la propriété de transition, ce qui signifie que si l'expiration du bail de location des biens objets retournés au propriétaire que les loyers ne nécessitant généralement pas de services d'une institution financière. Toutefois, un autre cas dans les pratiques bancaires islamiques parce que le financement reposant sur l'Akad connue Location - Location d'une Ijara appelé. Par conséquent, la question se pose pourquoi la transaction bail - loyer qui n'est généralement pas accompagnée par le transfert de propriété qui n'est pas le financement nécessaire dans les pratiques bancaires islamiques est accompagnée par le financement?

B. Définition du problème:

De l'arrière-plan ci-dessus concernant le développement des banques charia en Indonésie, en particulier en Indonésie, notamment dans l'application des principes de Ijara, alors le problème peut être formulé comme suit:

1. Pourquoi ne se poserait dans le Pacte de financement Location - Location in Islamic Banking Practice?

2. Où est le fondement juridique Akad financement basé sur la location - Location in Islamic Banking Practice?

C. But

Sur la base de la formulation du problème soulevé dans le présent document, les objectifs à atteindre de la réalisation de ce document sont les suivants:

1. Pour savoir pourquoi tant que le financement vient de l'acte de bail dans la pratique des banques islamiques.

2. Pour savoir où l'penghaturan juridique base de financement Akad basée sur le loyer - Location dans la pratique des banques islamiques.

CHAPITRE II

DISCUSSION

A. Banque de la charia.

Les banques sont les institutions ont la permission de remettre des fonds publics sous forme de dépôts et de les canaliser des fonds au public sous la forme de prêts qui servent d'intermédiaires pour les clients implique que l'excédent de l'emprunteur est un déficit de fonds dans le financement de l'entreprise a été fait [iii]. Pendant ce temps, la Banque fondé sur la charia islamique (Islamic Bank) est un système d'institutions bancaires opérant en vertu de la loi islamique. On peut supposer de suivre les opérations bancaires et des procédures commerciales pour les accords commerciaux tels que celui appliqué par le prophète Mahomet.

B. Islamic Banking Principles

Selon Hari Basuki, la Banque islamique fondé sur les principes comme suit:

1. Interdiction d'intérêt

2. Prioriser et de promouvoir les échanges et acheter Jaul

3. Justice et la fraternité

Justice dans l'Islam a les implications suivantes:

a. La justice sociale

b. La justice économique

c. Justice de la répartition des revenus

4. Solidarité et d'aide s'il vous plaît

5. Encourager les uns des autres pour améliorer les performances

C. Islamic Banking Objectifs

En général, la finance islamique a pour objectif de développer et d'améliorer et de maintenir les principes prinsi application de la loi islamique sur les transactions financières, bancaires et les problèmes associés à l'entreprise. Parmi ses objectifs sont les suivants: [iv]

a. Interdire la pratique de l'usure »

b. Fournit à ses clients disposant d'installations et faslilitas services bancaires islamiques avec la meilleure qualité possible

c. Atteindre des taux de rendement approprié pour le développement de la banque elle-même

d. Développement et gestion des memilahara une démarche novatrice et compé associés à l'intégration et les normes professionnelles de la banque islamique

e. Développer la capacité de bermotifasi de l'épargne à l'éthique des partenaires commerciaux honnêtes

f. Collecter, gérer et distribuer la Zakat et l'administration infaq et Sadaqah

Sur la base de la fonction des banques en Indonésie peut être classé le:

1. À savoir la Banque centrale de la Banque en Indonésie, comme l'année n ° 13 Loi de 1968 sur la Banque centrale, puis abrogée par la loi n o 23 de 1999 sur la Banque d'Indonésie.

2. Banques commerciales, les banques qui exercent des activités entreprises dans le conventionnel et / ou fondé sur les principes de la charia dans leurs activités en fournissant des services de paiement de la circulation.

3. Les banques de crédit populaire sont des banques qui réalisent des activités dans les classiques ou fondés sur les principes de la charia dans leurs activités ne fournissent pas de services dans le trafic de paiement.

4. Les banques qui se spécialisent pour effectuer des activités spécifiques ou d'accorder davantage d'attention à certaines activités. Qu'entend-on par spécialisées pour mener des activités y compris la conduite des activités de financement à long terme, le financement de la coopération au développement, le développement d'entreprises économiquement faibles ou les petites entreprises, la non-élaboration du pétrole à l'exportation et de développement de construction de logements [v]. La réglementation du secteur bancaire a été réglementée dans l'No.7 loi de 1992, la législation n'est pas encore fermement implanté ririskiky que les principes de la charia dans le secteur bancaire ne sera autorisé, mais il a déjà été mentionné implicitement. Ceci peut être vu de l'article 6 lettre b et m Loi n ° 7 de 1992 sont:

- La reconnaissance de l', et

- Le financement fournir à ses clients basé sur le principe du partage des bénéfices, conformément aux dispositions adoptées dans les réglementations gouvernementales [vi], en outre, une série d'activités d'affaires que le crédit populaire banques "

offre du financement aux clients en fonction des principes de financement pour les résultats, conformément aux dispositions énoncées dans les règlements gouvernementaux », mais dans la loi n ° 7 de 1992 continuent d'adhérer à un système bancaire unique qui est renforcée en PP n ° 72 Année 1992 sur la Banque Partage. Dans le PP, la banque n'est autorisée à mener des opérations dans le cadre conventionnel de l'entreprise ou pour les résultats, donc ne devrait pas être dans une banque à utiliser les services de deux principes simultanément. En 1998 diundangkanlah loi No 10 de 1998 qui a modifié la loi n ° 7 / 1992 sur les banques, dans cette seule loi dit expressément que le secteur bancaire en Indonésie se compose de deux types de banques classiques et les banques fondées sur les principes de la charia dans les deux banques et les caisses de crédit populaire

D. Financement Aperçu

Le financement est une des tâches principales de la banque, à savoir fournir des installations pour la fourniture de fonds pour répondre aux besoins des parties qui sont des unités déficitaires. Selon la nature de l'utilisation du financement peuvent être divisées en 2 de ce qui suit:

1. Financement productive, ce qui est le financement des besoins de la production dans un sens large, à savoir accroître l'activité, si la production, le commerce et l'investissement. Selon les besoins, le financement de production peuvent être divisées en 2 de ce qui suit:

A. Au crédit de roulement, le financement pour répondre aux besoins de:

(a). Augmentation de la production, tant quantitativement, le montant de la production, ainsi que qualitatif, à savoir accroître la qualité ou la qualité de la production, et

(b). Aux fins d'échanges ou d'accroître l'utilité de la place d'un élément.

B. Financement des investissements, ce qui est de répondre aux besoins des biens d'équipement (biens d'équipement) ainsi que des installations étroitement lié à cela.

2. Consommation financement, le financement utilisés pour répondre aux besoins de consommation, qui sera utilisé pour répondre aux besoins. Financement nécessaire à la consommation par l'utilisateur des fonds pour répondre aux besoins de consommation et sera utilisé pour répondre à ces besoins. Besoins de consommation peuvent être distingués sur les besoins primaires (de base ou primaire) et secondaire besoins. Principaux besoins sont les besoins fondamentaux, tant dans la forme de biens, tels que nourriture, boissons, vêtements et abris, ainsi que la forme de services, tels que l'éducation de base et de traitement. Les besoins secondaires est une exigence supplémentaire, qui est quantitativement et qualitativement plus élevés ou plus luxueuse que les besoins primaires, qu'il s'agisse de biens, comme la nourriture et les boissons, les vêtements / bijoux, la construction d'habitations, véhicules, etc, ainsi que d'un service, comme l'éducation, les soins de santé , le tourisme, divertissement, etc [vii].

En général, les classiques limite de crédit bancaire pour l'accomplissement de certaines marchandises qui peuvent être accompagnés d'une preuve valide de propriété, tels que des maisons et des véhicules, qui deviendra plus tard les produits d'assurance principale (garantie principale). Quant aux besoins de service, la banque a demandé des sûretés sous la forme d'autres produits qui peuvent être attachés comme des sûretés. Source de remboursement du financement provient d'autres sources de revenus et non pas de l'exploitation des biens financés par cette installation.

Les banques islamiques peuvent fournir un financement pour la réalisation de biens de consommation comme suit: [viii]

1. Al-Bai'bitsaman AJIL (une forme de Mourabaha) ou de la vente et l'achat en versements échelonnés.

2. Al-al Ijara-tamlik muntahia bits ou la location-achat.

3. Al-mutanaqhishah Musyawarakah ou déclin de leur participation, dont la banque diminuer progressivement le nombre de participation.

4. Ar-Rahn pour répondre aux besoins du service.

E. Financement de la charia Banking Practice

Dans la distribution réussie des fonds collectés auprès des clients ou le public, les banques islamiques offrent des produits bancaires comme suit:

1. Moudaraba Financement

Adalah Bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh ( trusty financing ), sedangkan nasabah menyediakan proyek atau usaha lengkap dengan manajemennya. Résultats profits et pertes subis ou engagés distribué avec les clients entre les banques et les emprunteurs, conformément aux dispositions de la convention collective. Moudaraba principe utilisé dans le secteur bancaire pour recevoir des dépôts de la clientèle, soit sous la forme d'épargne ou de dépôts et aussi pour le financement.

Les piliers et les conditions sont les suivantes:

Moudaraba piliers:

a. Il Shahibul Maal (capital / client)

b. Existence moudarib (entreprises / banques)

c. L'existence de la charité (business / emploi)

d. Les résultats d'existence (pour les résultats / bénéfices) et

e. Existence AQAD (IJAB-qabul)

2. Moucharaka financement

Moucharaka financement est financent une partie du capital de l'entreprise, que les banques mai être impliqués dans la versé manajemennya.modal peut être de l'argent, des biens commerciaux (asset trading), les biens, équipements ou d'actifs incorporels (comme les brevets et goodwiil) et des biens d'autres qui peuvent être évalués par l'argent.

Les types d'al-Moucharaka, entre autres: [ix]

a. Inan Shirkah al ', est un contrat de deux personnes ou plus. Chaque partie donne une partie du fonds global et participera aux travaux. Les deux parties partagent les profits et les pertes que ce qui a été convenu.

b. Shirkah mufawadhah, est le contrat de coopération entre deux personnes ou plus. Chaque partie donne une partie du fonds global et participera aux travaux. Toutefois, l'exigence principale est la similitude des fonds prévus, le travail, la responsabilité et le fardeau de la dette, divisée par chaque partie.

c. Shirkah A'maal, est le contrat de coopération avec deux professionnels à accepter le même poste de travail et de partager les avantages de l'emploi.

d. Shirkah Wujuh, est un contrat entre deux personnes ou plus qui ont la réputation et le prestige ainsi que des experts dans l'entreprise.

e. Shirkah Muhharabah.

3. Mourabaha financement

Financement Mourabaha en matière de fiqh est l'alliance de tertentu.dalam commerciales sont bonnes ces achat ou la vente, le vendeur mentionne clairement que les marchandises échangées signifiait le prix d'achat et les profits prises.

Mourabaha est l'alliance entre les techniques bancaires commerciaux de la Banque en tant que fournisseurs de banque avec des clients qui commandent à acheter des marchandises. Les piliers et les conditions comme suit:

Mourabaha piliers:

a. Vendeur

b. Les acheteurs

c. Marchandises pour la vente

d. Prix et

e. IJAB-qabul

4. Financement Al-Bithaman Bai 'Ajil

Financement Al-Bai 'Bithaman Ajil est le financement pour l'achat de marchandises par versements. Les exigences de base de ces produits est similaire au financement Mourabaha. La différence entre eux réside dans le mode de paiement, lorsque les paiements sur le financement Mourabaha remplies après la durée du prêt, tandis que le financement d'acomptes Al Ajil Bai'Bithaman nouveaux clients après le destinataire sont en mesure de montrer les résultats de ses efforts.

5. Salam Financement

Financement Salam appliqué sous la forme de financement à court terme pour la production de l'agro-industrie ou d'autres types d'industries. Salam peut se traduire par l'achat de marchandises livrées en jours plus tard que le paiement à l'avance.

Piliers de Salam Bai »: (1) Muslam / Acheteur, (2) Muslam Ilaih / Vendeur, (3) le capital ou l'argent; (4) Muslam FIH, (5) Sighat ou proférer [x].

6. Financement Isthina '

Financement Isthina »a été appliqué sous la forme de coûts de fabrication, les industries de petite ou moyenne, et konstruksi.dalam isthina financement de l'exécution peut se faire de deux manières, à savoir la banque désignée par le fabricant ou le constructeur est déterminé par le client. Mise en œuvre de l'un de ces moyens devraient être déterminées à l'avance dans le Pacte par les deux parties.

Isthina »est un contrat de vente entre l'acheteur et le fabricant des marchandises. Dans ce contrat, les fabricants de recevoir les commandes des acheteurs. Fabricants, et ensuite essayer les autres à faire ou acheter des produits selon les spécifications qui ont été disepekati et de les vendre à la fin des acheteurs. Sedankan paiement est fait par accord entre les deux parties. [Xi]

Isthina Conditions Shah Bai ': (1) Toute personne qui devient l'objet du contrat doit être précisée afin d'éliminer le manque de clarté sur les marchandises, entre les types de biens, le type, la qualité et la quantité; (2) Prix: doit être connue par les deux parties et peut être versée au moment de l'alliance , sous forme de versements ou ditangguhakn à un moment donné dans les jours à dater [xii].

7. Le crédit-bail (Ijara wa iqtina ou bi muntahiyyah ijara tamlik)

Le crédit-bail est un bail bonne alliance entre la banque du client, où les clients se voient donner la possibilité d'acheter l'objet à la fin du bail ou d'un engagement dans le monde des affaires est connu sous le nom de leasing financier tarifs de location et des accords de prix d'achat établi par le commencement. Dans ce contrat de location financement qui ont fait l'objet signalé aux biens qui sont utiles et justifiés par la loi et la valeur de la prestation mai calculés ou diukur.pembiayaan bail peut être fait par:

Le premier établissement financier ou une société de leasing est basé sur la charia islamique acheter des actifs qui seront achetés par le client, après avoir acheté, l'agence de location période d'actifs et de prix spécifiés dans l'accord des deux parties.

8. Hiwalah

Hiwalah est AH produits bancaires charia »prévu pour aider les fournisseurs et d'obtenir le capital en espèces à continuer la production. dans ce cas la Banque recevra des honoraires (rémunération) pour le transfert des comptes des services à recevoir. Le montant de l'indemnité à être reçus par la Banque est déterminée sur la base des résultats d'inter-contrat bancaire avec le client.

9. Rahn

Rahn est l'un des trésors gardés millik l'emprunteur comme garantie pour le prêt qu'il a reçu. Marchandises retenues ont une valeur économique. [Xiii]

Les produits bancaires sont fournis pour aider les clients à des activités pembiyaan multifonction. Rahn que les produits de prêt de la Banque signifiait seulement un retour pour le stockage, l'entretien, les assurances et l'administration des biens mis en gage. concernant la tersbut cas, les produits Rahn utilisé uniquement à des fins sociales comme l'éducation et la santé [xiv].

10. Ijarah

Al-Ijarah Al dérivé du mot - ce qui signifie Ajru moyens Al'Iwadhu ou à remplacer. En arabe, Al-Ijarah est défini comme une sorte d'alliance de profiter en remplaçant une partie de l'argent. Définition du principe de Ijarah [xv] a également diatuir dans le droit positif en Indonésie, qui est l'article 1, paragraphe 10 de la Banque d'Indonésie règlement n ° 7/46/PBI/2005 qui définit le principe de Ijarah comme un «loyer de transaction - le loyer d'un des biens et / ou des salaires - payés une entreprise de services dans un certain délai par le biais des paiements de location ou frais de service. "Jusqu'à présent, les produits de financement majeure islamique CTI encore focalisée sur les produits mourabaha (le principe de vente et d'achat). financement Mourabaha a en fait en commun avec le financement Ijarah, tous deux inscrits dans la catégorie des contrats de sécurité physiques, et est essentiellement l'achat et la vente de contrats. ce qui les distingue est l'objet de l'opération de vente, le financement Mourabaha, qui est l'objet de transactions sont des biens, tels que des maisons, des voitures et ainsi de suite. alors que dans le financement ijara, la transaction est l'objet de service, si les avantages des biens et des prestations sur le travail. Si le financement de la Banque islamique de Mourabaha peut que servir les besoins du client d'avoir les marchandises, tandis que les clients qui ont besoin de services ne peut pas être servi. Avec un régime d'Ijara, les banques islamiques peuvent également servir les clients qui n'ont besoin que de services [xvi].

Ijara essentiellement définie comme le droit d'utiliser les biens ou les services à payer un certain retour. Selon l'Office national de la charia Fatwa No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijara est le transfert des droits à l'alliance (prestations) d'un article ou service dans un délai déterminé par des paiements de location-salaire, sans être suivi par le transfert de propriété des biens eux-mêmes ainsi l'ijara akad pas de changement de propriété, mais seulement le transfert de droits à la totalité du loyer pour le locataire.

Dans les activités bancaires islamiques à travers le financement d'Ijara divisée en deux à savoir:

1. Sur la base de la durée du bail ou de location d'équipement utilisé. L'équipement a été loué pendant la saison de croissance jusqu'à la récolte. Dans le secteur bancaire islamique connu sous le nom commercial Ijarah.

2. Bit-Muntahiyyah Ijara Tamlik dans plusieurs pays mentionnés comme Ijara Wa Iqtina »qui signifie la même chose, ainsi que le loyer et ensuite acquis par le locataire (location-financement) [xvii]

Parce Ijara est l'alliance qui réglementent l'usage de son droit à utiliser, sans transfert de propriété, tant de gens généraliser Ijara avec crédit-bail. C'est parce que les deux termes se réfèrent tous deux à des choses - les indications relatives au bail. En raison des activités bancaires généraux ne sont pas autorisés à faire de location, puis prenez la banque Muntahiyyah Bit charia-Ijara, ce qui signifie Tamlik accord pour l'utilisation (location) de marchandises entre la Banque avec le client et la fin du bail, le client doit acheter les biens qu'il avait loués.

2. Type de marchandises Les marchandises Bittamlik Ijara Muntahiyyah loués à des clients qui tapent généralement des immobilisations ou des actifs fixes tels que les bâtiments (bâtiments), machines de bureau, immeubles (immeubles), ou les biens qui ont spécifiques fixe [xviii].

3. Piliers et Conditions Muntahiyyah Bittamlik Ijarah

1. Piliers

a. JiR locataires (musta ')

b. Propriétaire de biens (mu'ajjir)

c. Les marchandises ou de l'objet loué (ma'jur)

d. Loyer / prestations de location (ajran / ujran)

e. Ijab qabul

2. Termes

a. Pihak yang saling telibat harus saling ridha

b. Jur Ma '(biens ou objets de loyer)

- La religion prestations sont justifiées ou légitimes.

- Les avantages peuvent être évalués et mesurés ou calculés.

- Les avantages ne peut être donnée à l'affréteur

JiR - JUR Ma 'doivent être achetés musta »[xix]

F. Révisions judiciaires Akad financement basé sur la location-louer la charia Banking Practice.

Dans le domaine du principe de droit civil de Ijarah principe dit que le loyer

- Location. Définition d'un bail accordé par l'article 1548 du Code civil KUH est "un accord de paiement par laquelle une partie de se lier à l'autre partie la jouissance de quelque chose de bien pendant un certain temps et le paiement d'un prix par le dernier parti était abordable. "

Selon la fatwa Conseil national de la charia, ijara est une alliance pour le transfert des droits (avantages) pour un salaire bien ou service dans un délai déterminé par le biais des paiements de location /, sans être suivi par le transfert de propriété des biens eux-mêmes. [Xx]

En No.7/46/PBI/2005 la Banque d'Indonésie règlement a posé des conditions pour les différents produits bancaires islamiques dans la forme de fonds de l'Union et / ou la distribution des fonds. En ce qui concerne la collecte de fonds doit être d'épargne réglementés, dépôts, qui contrôle wadiah, et les dépôts d'épargne sont aussi des investissements wadiah, à savoir: Giro moudaraba, l'épargne et des dépôts moudaraba temps moudaraba. Dans le domaine de la distribution des fonds, la Banque d'Indonésie règlement a été visé à l'article L6 institué par l'article 18 du règlement de la Banque No.7/46/PBI/2005 Indonésie que le produit - la distribution des produits de fonds dans le secteur bancaire Shar IAH Moudaraba, Moucharaka, Mourabaha, Salam, Istishna ', Ijarah et Ijarah et Muntahiyya Qard Bit Tamlik.

En tant que suivi de la Banque d'Indonésie règlement, un bail qui est aussi appelée ijara en outre stipulé dans le décret de la Banque d'Indonésie conseil d'administration de banques No.32/34/KEP/DIR Basé sur les principes de la charia, en particulier dans l'article 28 qui stipule que les banques sont tenues d'appliquer les principes de la charia dans la conduite de ses activités commerciales comprennent:

a. Recueille des fonds du public sous forme d'épargne, à savoir:

1. Giro wadiah basé sur le principe;

2. Économies basées sur le principe ou la moudaraba wadiah;

3. Dépôts à terme basés sur le principe de moudaraba, ou

4. Autres formes basées sur le principe ou la moudaraba wadiah

b. Faire la distribution des fonds par la vente et la transaction d'achat basé sur le principe:

1. Mourabaha, 2. Istihna; 3. Ijarah; 4. Salam; 5. Autres échanges

G. Bancaires de la charia en Indonésie

La présence des banques islamiques dans le système de 1992, conformément à la loi no. 7 / 1992 sur la banque. Toutefois, cette loi prévoit la base juridique reste assez puissante pour le développement de la charia parce que les banques ne sont pas explicitement mis sur l'existence de banques fondées sur les principes de la charia, mais pour les résultats. La compréhension des résultats prévu dans la Loi n'est pas bien intégré la notion que les banques islamiques ont une portée plus large que la seule issue. De même, les conditions d'exploitation, jusqu'à l'année 1998 n'ont pas encore opérationnel dispositifs juridiques spécifiquement ensemble complet d'activités bancaires de la charia (Jour de Dhani Basyuki Gunawan Idhat: 2003).

Activation de la loi n ° 10 de 1998 concernant le changement de loi n ° 7 de 1992 sur la banque de suivi d'un certain nombre de dispositions dans un décret d'application de la BI Conseil d'administration a fourni la base juridique pour une forte et plus large des possibilités pour le développement des banques de la charia en Indonésie, la législation prévoit la possibilité perundan visant à développer le réseau bancaire islamique, entre autres grâce à l'ouverture d'un bureau de permis et licences de la charia (KCS) par les banques classiques. En outre la loi n °. 23 de 1999 concernant la Banque d'Indonésie BI également chargé d'élaborer des ensembles de règles et de soutenir les institutions qui soutiennent les opérations bancaires islamiques. Tant la loi sur la double base juridique mise en œuvre du système bancaire en Indonésie. Double système bancaire est renvoyée à la mise en œuvre des deux systèmes bancaires (classiques et la charia). Parallèlement à la mise en œuvre de ce qui se trouve dans une variété de lois et règlements [1].


CHAPITRE III

CLÔTURE

Conclusion

Pratique louer - location à l'opération en général n'est pas accompagnée par le transfert des droits de propriété. Si elle s'accompagne du transfert des transactions de propriété est appelé le contrat de location - achat. Le contrat de location - achat (leasing), financement de la prestation de services généralement fournis par les non-institutions financières - banques / finance. Dans les pratiques bancaires islamiques, louer akad - Le loyer est appelé Ijara. Akad louer - location (Ijarah) dans le développement des services bancaires de la sharia peut être accompagné par le transfert de propriété est appelée Ijara Bit Muntahiyyah - Tamlik (IMBT).

Bien qu'une telle ressemble à la pratique de la location financement conventionnel, mais dans les services bancaires islamiques, il est une distinction, à savoir, si les prestations de location d'objet s'applique seulement aux marchandises seulement, alors que le bit d'Muntahiyyah Ijara - objet Tamlik peuvent être soit des biens ou des services de main-d'oeuvre.

REFERENCES

A. Karim, Adiwarman, Banque islamique du Fiqh et analyse financière, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Antonio Shafi'i, Muhammad, les banques islamiques de la théorie à la pratique, Gema Insani Presse et Tazakia Cendikia, Jakarta, 2001.

Basuki, MS, Day, la finance islamique "concept et les opérations, Paper presented at" Masa'ilul Fiqiyah "Ayarif UIN Hidayatullah, Jakarta, 2003.

Chairi, Zulfi, l'application de la charia Selon le Crédit loi bancaire n ° 10 de 1998, e-USU Repository, 2005.

Ghofur Anshori, Abdul, Development Banking Law in Indonesia, Islamic Banking matériel de cours, Master Kenotariatan, Faculté de Droit, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2006

Hasan Ahmad Hamoud, Sami, Tathwiir al-A'mal - Mash - rafiyyah Bima Yattafiqu ouassi-Sharia al-Islamiyya (Amman: Al-Sharq Matbaatu wa Maktabatuha, 1982).

SABIQ, Sayyid, sunnite Jurisprudence Volume 13, sur la langue Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma'arif, Bandung, 1995

Hendry, Arisson, et al., La charia bancaire Praticien Perspective, Muamalat Institute, Jakarta, 1999

[1] Hari Basuki, MS op.cit Hal: 18

[i] Adiwarman A. Karim, Banque islamique du Fiqh et analyse financière, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, pp. 14 à 15

[ii] Mohammed Shafi Antonio, Banque syariah From Theory to Practice, Gema Insani Presse et Tazakia Cendikia, Jakarta, 2001, pp. 34

[iii] Hari Basuki, MS, la finance islamique "concept et le fonctionnement, 2003, pp: 2

[iv] pp Ibid: 7

[v] Zulfi Chairi, l'application de la charia en fonction de Loi sur le crédit bancaire n ° 10 de 1998, e-USU Repository, 2005, pp. 3

[vi] Abdul Ghofur Anshori, Development Banking Law en Indonésie, Islamic Banking matériel de cours, Master Kenotariatan, Faculté de Droit, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2006, pp. 5-6

[vii] Mohammed Shafi Antonio, op.cit, pp. 168

[viii] Sami Hasan Ahmad Hamoud, Tathwiir al-A'mal - Mash - rafiyyah Bima Yattafiqu ouassi-Sharia al-Islamiyya (Amman: Al-Sharq Matbaatu wa Maktabatuha, 1982).

[ix] Hari Basuki, MS op.cit Hal: 13

[x] Jour Basuki, MS ibid: 11

[xi] Hari Basuki, MS pp op.cit. 11

[xii] pp Ibid. 11-12

[xiii] Ibid pp. 14

[xiv] Zulfi Chairi, op.cit, pp. 12

[xv] Sayyid SABIQ, sunnite Jurisprudence Volume 13, sur la langue Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma'arif, Bandung, 1995, pp. 15

[xvi] Adiwarman A. Karim, op.cit, pp. 137

[xvii] Arisson Hendry, et al., la charia bancaire Praticien Perspective, Muamalat Institute, Jakarta, 1999, pp. 95 Ibid, pp. 96

[xviii] Ibid, pp. 94

[xix] Ibid, pp. 94

[xx] Adiwarman A. Karim, op.cit, pp. 138

Read more...

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP