Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an
a. Pengertian Ilumul Qur’an
b. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an
Pengantar Ulumul Qur’an
1. Ilmu Bahasa dengan segala cabangnya, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat tergantung pada penguraian mufradat (kosa kata),
2. Ilmu Ushuludin, yaitu ilmu kalam denganya mampu seorang mufassir mengambil kesimpulan apa-apa yang wajib dan yang mustahil bagi Allah SWT, apa-apa yang boleh (jaiz ).
3. Ilmu Ushul Fiqh, yaitu dengan ilmu ini mengetahui cara mengambil istinbath hukum dari ayat-ayat serta dalam mengambil keputusan.
4. . Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan ulumul-Qur’an, seperti ilmu Qira’at , karena dengan ini diketahui bagaimana cara pengucapan ( lafadz-lafadz ) Qur’an itu dapat memilih ma’na yang lebih kuat dalam berbagai macam bacaan yang diperkenankan, ilmu tauhid dengan ini juga diharapkan mufassir tidak menta’wilkan ayat-ayat berkenaan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara melampaui batas hakNya, dan ilmu Ushul, terutama ilmu ushul tafsir dengan mendalami masalah-masalah ( kaidah-kaidah ) yang dapat menjelaskan suatu makna dan meluruskan maksud-maksud al-Qur’an yang dengan asbab-nuzul, nasikh-mansukh .
5. Ilmu Mauhibah, yaitu suatu ilmu yang diberi oleh Allah sebagai tanda ketaqwaan dan keikhlasan seseorang.[1]
Pengertian Ulumul Qur’an
Kata ulum jamak dari ilmu, dan ia bentuk mashdar yang berarti ilmu. Dan ilmu itu berarti al-fahmu wal idrak ( pemahaman dan penguasaan ).
Jadi maksud dari Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an dari segi asbab nuzul Al-Qur’an, pengumpulan ( jam’ul ) Al-Qur’an, pengetahuan tentang makkiy dan madaniy, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, serta pembahasan lain yang berhubungan dengan Al-Qur’an. H. 10 / Mustanir.
Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushul tafsir ( dasar-dasar tafsir ), karena pembahasannya berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Sejarah dan Perkembangan Ilmu al-Qur'an
Al-Qur’an adalah mukjizat islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW, untuk mengeluarkan manusia dari gelap menuju terang, serta bimbingan mereka kejalan yang lurus. Rasulullah menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, sehingga mereka dapat memahami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan, dari Ibn Mas’ud, dengan mengatakan :
“Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman ( Al-An’am : 82 ), banyak orang yang resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasul, “ Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya ?. Nabi menjawab : kezaliman disini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh “ sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar ( Luqman : 13 ). Jadi yang dimaksud kezaliman disini adalah kemusyrikan.
Para sahabat sangat antusias untuk menerima al-Qur’an dari Rasulullah, menghafalnya dan memahaminya. Hal tersebut merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Dikatakan oleh Anas ra. “ seorang di antara kami bila membaca
Rasulullah SAW tidak mengizinkan mereka menulis sesuatu dari Al-Qur’an, karena khawatir qur’an akan bercampur dengan yang lain. Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah s.a.w berkata : janganlah kamu tulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya. Dan ceritakan apa yang datang dariku, dan itu tidak ada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempat duduknya di atas api neraka.
Teks Hadits
روى مسلم عن أبى سعيد الخدرى أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لاتكتبوا عنىّ , ومن كتب عنى غير القرأن فليمحه , وحدّثوا عنى ولا حرج , ومن كذّب علىّ متعمدا فليتبوّأ مقعده من النار .
Artinya : Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah s.a.w berkata : janganlah kamu tulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya. Dan ceritakan apa yang datang dariku, dan itu tidak ada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempat duduknya di atas api neraka.( HR. Muslim )
Larangan Penulisan Hadits
Teks Hadits
عن أبى سعيد الخدرى أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لاتكتبوا عنىّ ومن كتب عنى غير القرأن فليمحه ( رواه مسلم )
Perintah Menulis Hadits
اكتب فوالذى نفسى بيده ما يخرج إلا الحق
أنظروا إلى حديث رسول الله ص. م فاكتبوه فإنى خفت دروس العلم وذهاب أهله فى روايةٍ وذهاب العلماء .
Sekalipun sesudah Rasulullah mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadits, tetapi hal yang berhubungan al-Qur’an tetap didasarkan dengan riwayat yang melalui petunjuk pada zaman Rasul s.a.w, di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar r.a.
Kemudian datang masa Khalifah Usman r.a, dan keadaan menghendaki seperti itu, yaitu menyatukan kaum muslimin pada satu mushhaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushhaf itu dikenal dengan nama Mushhaf Imam. Dan salinan-salinan itu dikirim ke propinsi-propinsi. Dan penulisan itu dinamakan ar-rasmul al-usmani karena dinisbahkan kepada khalifah Usman.
Kemudian datang masa khalifah Ali r.a dan atas perintahnya Abu Aswad Ad-Du’ali meletakan kaedah-kaedah nahwu, pemberian harakat, dan ini yang dikenal awal permulaan Ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat selanjutnya berusaha menyampaikan makna-makna Al-Qur’an dan menafsirkan ayat-ayatnya yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan mereka. Dan perbedaan kemampuan mereka semasa hidup bersama Rasulullah, yang akhirnya diwarisi hingga kepada para tabi’in.
Di antara para mufassir yang terkenal dari kalangan sahabat adalah : Empat khalifah, kemudian Ibn mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit , Abu Musa al-As’ari, dan Abdullah bin Zubair.
Penulis Al-Qur’an
Dalam riwayat dikatakan, dari Abdullah bin Amr bin As berkata :
سمعتُ رسولَ اللهِ صلى اللهُ عَليْهِ وسلّم يقُولُ : خُذُوا القُرأنَ مِنْ أَرْبعَةٍ : منْ عبدِ اللهِ بنِ مسعُودٍ , وَسَالمٍ , ومُعاَذٍ , وأُبيّ بنِ كعبٍ .
Artinya :“ Aku telah mendengar Rasulullah berkata : ambilah Al-Qur’an dari emapat orang : Abdulah bin Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubay bin Ka’ab( HR. Bukhari ).
Dari Qatadah dikatakan :
سـألتُ أنسَ بن َ مالكٍ : مَنْ جمع القرآن َ على عهدِ رسول الله صلى الله عليه وسّلم ؟ فقال : أربعةٌ كّلهمْ من الأنصارِ : أُبَىٌّ بنُ كعبٍ , ومعاذٌ بن جبلٍ , وزيد ٌ بنُ ثابتٍ , وأبو زيدٍ , قُلتُ : منْ أبوُ زيدٍ ؟ قال : أحد عمومتى .
Artinya : Aku telah bertanya kepada anas bin Malik : Siapakah orang yang hafap Qur’an dimasa Rasulullah SAW ? Dia menjawab : Empat orang semuanya dari kaum Anshar, Ubai bin Ka’b, Muaz bin Jabal, Zaid bin Sabit dan Abu Zaid, “ Aku bertanya kepadanya : Siapakah Abu Zaid itu ? “, ia menjawab : Salah seorang pamanku . “ ( HR. Bukhari ).
Dan diriwayatkan pula melalui Sabit, dari Anas yang mengatakan :
ماتَ النبىّ ُ صلّى الله عليهِ وسلّم وَلمْ يجمعْ القُرآنَ غَيرَ أربعة ٍ : أبوُ الدرْداءِ , ومعاذٍ بنِ جبلٍ وزيدِ بنِ ثابتٍ وأبو زيدٍ .
Artinya : Rasulullah SAW wafat sedang Al-Qur’an belum dihafal kecuali oleh empat orang : Abu Darda’, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. ( HR. Bukhari )[2]
Tujuh (7) Sahabat Ahli Al-Qur’an
1) Abdullah bin Mas’ud
2) Salim Ma’qal
3) Muaz bin Jabal
4) Ubai Bin Ka’ab
5) 5. Zaid Bin Tsabit
6) 6. Abu Zaid bin Sakan
7) 7. Abu Darda’
Pada abad ke-3 H, di antaranya :
1) Ali bin Al Madini ( w. 234 H ), guru al-Bukhari, menyusun kitab yang berjudul Asbab Nuzul,
2) Abu Ubaid Al-Qashimi bin Salam ( W. 224 H ) menyusun kitab Nasikh dan Mansukh dan Qira’at.
3) Ibnu Qutaibah menyusun Musykilatul Qur’an.
Pada abad ke-4 H, diantara mereka yang terkenal
1. Abu Muhamad bin Al-Anbari ( w. 751 H ), menulis kitab Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
2. Abu Bakar Sijistani ( w. 330 H ), menyusun Gharaibul Qur’an.
Sedangkan beberapa kitab lainya dengan pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an, seperti Manahil Irfan dikarang oleh Syeikh Muhamad Al-Zarqani ( w. ).
Dan Ibnu Zauzi ( w. 579 H ), mengarang kitab Funun Afnan fi Ajaibil Qur’an.
Kemudian tampil Badruddin Az Zarkasyi ( w. 794 H ), dengan judul kitab Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, dan As-Suyutti ( w. 911 H ), dengan kitab Al Itqan Fi Ulumil Qur’an dan terakhir muncul kitab Mabahis fi Ulumil Qur’an karangan Dr. Subhi Shaleh.[3]
Pengertian Al-Qur’an
Fungsi dan Kedudukan Al-Qur’an
Perbedaan antara Al-Qur’an, al-Hadits dan Hadits Qudsi
Pengetian Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an menurut bahasa adalah berasal dari kata ( Qira’atun ) yaitu ism mashdar ( infinitif ) dari kata qara’a, yaqra’u, qira’atun, qur’anun, yang mempunyai arti bacaan. Allah SWT berfirman :
بَلْ هُوَ قُرْءَانٌ مَجِيدٌ * فِي لَوْحٍ مَحْفُوظ ٍ * البروج : 21-22-
“Bahkan yang didustakan mereka itu adalah Al-Qur’an yang mulia, yang tersimpan di Lauhul Mahfudz “ ( Al-Buruj : 21-22 ). Kata “ Qur’an “ adalah sinonim dengan qira’ah ( bacaan ).
Ibn Manzur mengatakan : kata Qur’an bentuk mashdar dengan wazan (fu’lan) yang mempunyai arti Jam’un ( kumpulan ), karena ia adalah kumpulan surat-surat yang tersusun dengan rapih, sebagaimana Firman Allah SWT :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ * فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ * – القيامة : 17-18 -
“sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dalam dada ) dan ( membuatmu pandai ) memmbacanya. Apabila kamu telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya .” ( Al-Qiyamah : 17-18 )
Sedangkan Al-Qur’an menurut istilah Ulama : Yaitu firman Allah SWT yang luar bisa ( mu’jiz ), yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW melalui perantara Malaikat Jibril, yang tertulis dalam sebuah mushaf, yang disampaikan dengan cara mutawattir, yang dimulai dari
Pertanyaan
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ {77} فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ {78} لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُون
Dari Ibn Abbas, di langit (لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ ) adalah Malikat.
Ibnu Jarir Berkata, dari Qatadah (لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُ), maksunya tidak ada yang menyentuhnya dari sisi Allah kecuali yang disucikan (( المطهرون , sedangkan di bumi : yahudi ( majusi ) atau Munafiq yang tidak suci.Abu Aliyah mengatakan : ( ashabul Dzunub )
Bahwa Ibn Zaid berkata : Orang kafir mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan bersama syetan. Allah SWT membantah dg menurunkannya, ayat ini.
لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ : dikatakan adalah ( الجنابة) dan ( الحدث ).
Di dasarkan riwayat dari Imam Malik bahwa, kitab yang ditulis Rasulullah kepada Umar bin Hazm bahwa ayat (لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ ), maksudnya
(لاَّ يَمَسَّ القران إِلاَّ طاهرٌ )
Diriwayatkan dari Abu Daud, Rasulullah bersabda bahwa maksud ayat
(لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ ) adalah ( لا يمس القران الأ طاهر ).
Maksudnya
Dikembalikan dengan maksud ayat :
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَاتَقُولُونَ وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسِحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (النساء : 43 )
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ( المائدة : 6 )
Kedua ayat di atas
مسّ , لامس
Atau kamu menyentuh perempuan ( an Nisa : 43 ) ( أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ ),
Menurut ibn Ktasir dalam kitab tafsirnya, yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, maksud menyentuh disini ialah jima ( bersetubuh ), sedangkan menurut ibn Mas’ud kalimat lamus, berarti, bisa bermakna selain jima.
Fungsi dan Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW dengan lafadz dan maknanya. Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawattir, sehingga kepastianya, sudah pasti mutlak.
Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi, ialah :
Bahwa Al-Qur’an lafadz dan ma’nanya dari Allah SWT sedangkan hadits Qudsi ma’na dari Allah dan lafadznya dari nabi sendiri.
Al-Qur’an menjadi amal ibadah bagi pembacanya, dan pembacanya akan mendapatkan balasan pahala 10 kali lipat ganda, sedangkan hadits Qudsi tidak demikian.
Al-Qur’an mu’jizat bagi manusia dan juga jin, sedangkan hadits qudsi tidak demikian.
Dan Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan secara makna sedangkan hadits qudsi boleh seperti hadits nabawi.
Al-Qur’an tidak dibolehkan untuk menyentuhnya bagi yang berhadats, dan juga yang junub membacanya, sedangkan hadits qudsi tidak apa-apa.
Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawwatir maka kepastian Pasti benar.
Nuzulul Qur’an
Tujuan Khusus Dari Nuzulul Qur’an
Memberikan Petunjuk kepada semua makhluk ke jalan yang lurus, sebagai adanya targhib dan tarhib, untuk dapat melaksanakan syari’at Allah SWT. Sebagai Jawaban terhadap pertanyaan dan juga penjelasan bagi mereka, seperti turunya Al-Anfal 1, dan an-Nisa’ : 127
Pengertian Nuzulul Qur’an
Proses Turunnya Al-Qur’an
Faedah diturunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur
Ayat yang pertama dan terakhir diturunkan
Cara Penyampaian Wahyu ( Al-Qur’an )
Nuzulul Qur’an
A. Proses Turunnya Al-Qur’an
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Rasul Muhammad SAW untuk memberi petujuk kepada manusia. Turunya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Maka turunya Al-Qur’an dengan dua tahapan, yaitu :
Pertama : Al-Qur’an turun pada malam lailatul qadar pada malam kemulyaan, merupakan pemberitahuan Allah SWT kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malakat akan kemulyaan umat Nabi Muhamad SAW.
Kedua : Turunya Al-Qur’an secara bertahap ( munajaman ), dengan tujuan menguatkan hati Rasul SAW dan menghibur serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah SWT menyempurnakan agama ini dan mencukupi nikmat-nikmat-Nya.
Perbedaan turunnya Al-Qur’an secara sekaligus dan berangsur-angsur disebabkan karena merujuk kepada dua kata anzala dan nazala dalam ayat
وَبِالْحَقِّ أَنزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَآأَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا * - الإسراء : 105 -
Dan Raghib al-Asfahani mengatakan : perbedaan dua kata tersebut, kata inzal dan tanzil, Yaitu bahwa kata tanzil ( التنزيل ) dimaksudkan berkenaan turunya Al-Qur’an secara berangsur-angsur ( مفرّقا ),atau ( منجما )Sedangkan kata inzal ditujukan berkenaan turunya al-qur’an secara sekaligus ( جملة ).
Dasar turunnya Al-Qur’an sekaligus
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * - الدخان : 3 –
“Sesumgguhmya Kami menurunkan ( Al-Qur’an ) pada malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan “.( QS. Al-Dhukhan : 3 )
Firman Allah SWT
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ * - البقرة : 185 -
“ Bulan Ramadhan bulan yang didalmnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil “ ( QS. Al-Basqarah : 185 ).
Firman Allah SWT
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ * – القدر : 1 -
“ Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemulyaan “ ( QS. Al-Qadr : 1 )
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, bahwa ia berkata :
أنزل القرأنُ جملةً واحدة ً إلى السمَاءِ الدنيا وكانَ بمواقعِ النجومِ وكان اللهُ يُنزله ُ على رسوله صلى الله عليه وسلمّ بعضه فى إثر بعضٍ .
“Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya secara berangsur-angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya SAW bagian demi bagian . “ ( HR. Al Hakim dan al-Baihaqi )
Dalam riwayat Ibnu Abbas ra yang lain, beliau berkata :
أنزلَ القرأنُ فى ليلةِ القدرِ فى شَهرى رمضان إلى السماء الدنيا جملةً واحدةً ثم أنزل نجوماً .
“Al-qur’an diturunkan pada malam lailatul Qadar pada bulan Ramadhan ke langit dunia sekaligus, lalu ia menurunkan secara berangsur-angsur “. ( HR. Al-Tabrani ).
Dasar Turun nya Al-Qur’an berangsur-angsur
Firman Allah SWT
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا * - الإسراء : 106_
“Dan Al-Qur’an telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur, agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian-demi bagian . “ ( QS. Al-Isra’ : 106 ).
Dan Firman Allah SWT
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا * – الفرقان : 32 –
“Berkatalah orang-orang kafir : “ mengapa Al-Qur’an tidak dirunkan kepadanya sekali turun saja ? Demikian supaya Kami perkuat hatimu dengannya, dan Kami membacakannya kelompk demi kelompok “. ( QS. Al-Furqon : 32 ).
Hikmah Turunnya Al-Qur’an dengan berangsur-angsur
Hikmah Turunnya Al-Qur’an dengan beransur-angsur.
Pertama : Menguatkan dan meneguhkan hati Raulullah SAW, dalam rangka menyampaikan dakwahnya dalam menghadapi celaan orang-orang musyrik. Sebagaimana Al-Qur’an Surat : Al-Furqan : 32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً * – الفرقان : 32 -
Artinya : “Berkatalah orang-orang kafir:"Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS.Al-Furqan / 25:32)
Kedua : Mempermudah hafalan dan pemahaman, karena Al-Qur’an diturunkan ditengah-tengah umat yang ummi dan yang tidak pandai membaca dan menulis. Sebagaiman Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ * - القمر : 22 -
Ketiga : Sebagai pendidikan terhadap umat islam, dengan turunnya Al-Qur’an dengan cara bertahap, pelajaran dengan sabar dan hati-hati dalam menghadapi segala cobaan, dan bertahap dalam memahami hukum islam.
Keempat : Denga cara ini, turunya ayat sesuai dengan peristiwa yang terjadi akan lebih berkesan dihati, karena segala persoalan dapat ditanyakan langsung kepada Nabi SAW, seperti yang terjadi, dan Al-Qur’an langsung menjawabnya, dalam persoalan istri su’ad bin Rabi’ yang datang kepada Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, berkata : “ telah datang seorang istri dari Su’ad bin Rabi’ kepada Rasul SAW dan bersamanya dua orang anak perempuan, dan berkata : “ Ya Rasul ! kedua anak perempuan ini adalah putri dari Su’ad yang terbunuh dalam perang Uhud, dan pamannya tidak memberikan hak keduanya. Maka bersabda Rasulullah SAW dalam persoalan tersebut dengan turunnya ayat, QS. Al-Nisa’ : 11.
يوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَاتَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدُُ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدُُ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمَّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآأَوْدَيْنٍ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَتَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا * - النساء : 11 -
Kelima : Bukti yang pasti ( mu’jizat ) bahwa Al-Qur’an adalah dari sisi Allah SWT Yang Maha bijaksana dan Maha Terpuji. Ketika terjadi pengingkaran terhadap Al-Qur’an itu, maka Allah untuk mendatangkan yang serupa dengannya, maka sekali lagi Allah menegasakan tidak akan bisa sebagaimana Allah SWT berfirman : QS. Al-Isra’ : 88, QS. Hud : 13, QS. Al-Baqarah : 23.
Bukti Kemukjizatan
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْكَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا ) الإسراء : 88 )
أَمْ يَقُوْلُوْنَ اْفتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ ) هود : 13 )
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ( البقرة : 23 )
Ayat yang pertama dan terakhir diturunkan.
Pertama : Berkata As-Suyutti, tentang yang pertama turunnya Al-Qur’an sesuai dengan pendapat yang shahih, yaitu firman Allah SWT
Kedua : Yang Terakhir Kali Ayat turun dari Al-Qur’an.
Perselisihan yang terjadi dikalangan para ulama tentang ayat yang terakhir turun adalah berdasarkan dalil yang marfu’, sehingga menyebabkan terjadinya banyak perselisihan pendapat. Dan pendapat yang rajih ( kuat ) tentang yang terakhir turun dalam Al-Qur’an adalah
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ * - البقرة : 281 -
Cara turunnya wahyu ( al-Qur’an )
Pertama : Datang kepada Rasul SAW Malaikat seperti dencingan suara lonceng yang amat kuat, dari musnad imam Ahmad, dari Abdullah bin Umar, aku bertanya kepada Rasul, Apakah anda ya Rasul menyadari tetang turunnya wahyu ?, Rasul Menjawab : aku mendengar suara dencingan lonceng, kemudian aku diam, tiba-tiba aku tidak sadarkan diri, ternyata turunnya wahyu. Dan cara ini adalah cara yang terberat, dan dikatakan demikian diantara turunnya ayat berkenaan tetang janji dan ancaman.
Kedua : Malaikat datang kepada Rasul bagaikan seorang laki-laki, dan menyampaikan wahyu, demikian sebagaimana hadits shahih. Dan cara yang demikian adalah cara yang lebih ringan dari cara yang pertama. Karena cara ini, Malaikat sebagaimana layaknya saudara saudara yang lain, dan berbicara baik secara sadar seperti pada saat isra dan mi’raj, dan dalam keadaan tidur seperti hadits Muaz bin Jabal.[6]
Asbabun Nuzul
Pengertian Asbab Nuzul
Macam-macam Asbab Nuzul
Teks ( shighah ) Asbab Nuzul
Faedah Mengetahui Asbab Nuzul
Pengertian Asbab Nuzul
Asbab Nuzul adalah peristiwa turunnya suatu ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an mengenai suatu kejadian atau penjelasan suatu hukum ketika saat diturunkannya.[7] Atau dengan kata lain bahwa asbab nuzul adalah suatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan suatu hukum, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa atau pertanyaan “.
Macam-macam Asbab Nuzul
Telah terjadi ketika turunnya Al-Qur’an yang merupakan suatu pertanyaan yang ditunjukan kepada Rasulullah SAW, dengan hal tersebut, maka turunlah ayat, sebagai penjelasan atas kejadian atau jawaban atas pertanyaan.
Pertama : Turunnya Al-Qur’an merupakan suatu kejadian tertentu, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas r.a, ketika turunnya ayat (dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat) [8] as-Syua’aro : 214 (وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ ).
Kedua : diturunkan Al-Qur’an merupakan sebab atas terjadinya suatu yang munkar. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Wahidi, diriwayatkan dari Atha’ dari Abu Abdurahman, berkata ia : suatu hari Abdurahman bin A’uf membuat makanan, minuman, dan memanggil beberapa kawan-kawan, untuk itu, kemudian datanglah waktu shalat maghrib, maka shalatlah mereka dengan imam, dengan membaca surat al-Kafirun ( tidak membaca La dalam la’abudu dalam ayat itu ), maka turunlah firman Allah ( wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kamu sekalian mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian katakan ).
An-Nisa’ : 43, [1] demikian diturunkan ayat itu, karena shalat adalah ibadah yang suci, maka tidak pantas bagi seorang yang akil-balig mendatangi Allah dalam beribadah, dalam keadaan mabuk dan hilang akal.
Teks ( shighah ) Asbab Nuzul
Ulama berpedoman tentang dasar mengetahui asbab nuzul adalah riwayat yang shahih yang berasal dari Rasulullah SAW, atau dari Shahabat dan tidak ada tempat untuk ijtihad. Dengan demikian para shahabat dan tabiin adalah satu-satunya sebagai sumber pengetahuan mengenai asbab nuzul.
Faedah Mengetahui Asbab Nuzul
Pertama : Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa karena sayangnya kepada umat.
Kedua : Membantu dan mempermudah pemaham ayat-ayat Al-Qur’an dengan pemahaman benar, dan menghilangkan segala bentuk keraguan, karena tidak mungkin seseorang bisa memahami hukum dengan benar kecuali setelah mengetahui asbab nuzulnya.
Ketiga : Faedah yang lain, adalah untuk mengkhususkan ( membatasi ) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dengan bentuk yang khusus.
Faedah Asbab Nuzul
Keempat : Faedah yang lain, adalah untuk mengkhususkan ( membatasi ) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dengan bentuk yang khusus.
Kelima : Faedah asbab nuzul yang lain, penjelasan hukum baru. Contoh tentang niat menjadi syarat landasan diberikannya pahala. Sebagaimana turunnya firman Allah SWT, An-Nisa : 100
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا ( النساء : 100 )
Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an ( Jam’ul-Qur’an )
Pengertian Jam’ul Qur’an
Pada Masa Rasulullah
Pada Masa Abu Bakar As-Siddiq
Kenapa Al-Qur’an Tidak dibukukan dalam satu Mushhaf
Pada Masa Ustman Bin Affan
Tertib Ayat dan Surat
Pengertian Jam’ul Qur’an
Yang dimaksudkan dengan pengertian jam’ul Qur’an ( pengumpulan Al-Qur’an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut ini:
Pertama : Pengumpulan dalam arti hifdzuhu ( menghafalnya dalam hati ). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi senantiasa mengerakan-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya.
لاَتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ * إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ * فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ * - القيامة : 16-19 -
“ Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadahmu) dan membuatmu pandai, membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaabnnya itu. Kemudian atas tanggungan kamilah penjelasannya (Q.S : Qiyamah : 16-19)
Kedua : Pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (Penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayatnya dan surat-suratnya, atau mentertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Pada Masa Rasulullah
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa nabi dapat dibagi pada dua katagori :
Pertama : Pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan/ ekpresi.
Al-Qur’an ditunkan kepada Rasulullah SAW, dimana beliau dikenal seorang yang ummi ( tidak dapat membaca dan menulis ), oleh karena beliau seorang yang menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu setiap yang turun lalu dihafal dan dipahaminya, persis seperti apa yang dijanjikan Allah SWT : sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya ( di dadahmu ), dan ( membuatmu pandai ), membacanya “. ( Al-qiyamah : 17 ).
Oleh karena itu beliau adalah orang yang hafal pertama dan merupakan contoh yang paling baik bagi para shahabat dan pengikutnya. Al-Qur’an diturunkan dalam proses selama dua puluh tahun kurang lebih, yang terkadang turunnya itu hanya satu ayat atau lebih bahkan sampai sepuluh ayat, atau tidak turun sama sekali. Dan setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memiliki kemampuan menghafal yang kuat. Hal itu karena pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah, mereka lakukan dengan menulis di dalam hati mereka.
Dalam kitab Shahihnya, Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas seorang budak, Abu Huzaifah, muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Kedua : Pengumpulan berupa catatan, penulisan dalam kitab maupun berupa ukiran.
Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari shahabat-shahabat terkemuka, seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Abi Thalib. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam
Pada Masa Abu Bakar As-siddiq
Rasulullah berpulang ke Rahmatullah setelah beliau menyampaikan risalah dan amanah, mengajak umatnya kejalan yang lurus. Setelah belai wafat kekuasaan dipegang oleh Abu Bakar As-Siddiq ra. Pada masa pemerintahannya ia banyak malapetaka, berbagaimacam kesulitan dan problem yang rumit, diantaranya memerangagi orang-orang yang murtad, yang ada dikalangan orang islam itu sendiri, memerangi pengikut Musailamah Al-Kadzdzab
Peperangan Yamamah adalah suatu peperangan yang amat dahsyat. Banyak kalangan shahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli baca Al-Qur’an yang syahid yang jumlahnya kurang dari 70 orang huffadz ternama. Oleh karena Kaum Muslimin menjadi bingung dan khawatir. Umar bin Khattab merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar mengajajukan usul supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena khawatir lenyap dengan banyaknya huffadz yang gugur. Abu Bakar pertama kali merasa ragu, setelah mendengar penjelasan Umar, dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut. Ia mengutus Zaid bin Tsabit dan mengajukan persoalan, serta menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu Mushhaf. Mula-mula pertama Zaid pun merasa ragu kemudian iapun dilapangkan Allah dadanya sebagaimana halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Kenapa Al-Qur’an tidak dibukukan dalam satu mushhaf
Disini kami bertanya : " Kenapa Al-Qur'an pada masa Nabi SAW tidak dibukukan dalam satu mushhaf ? jawabnya :
Pertama : Al-Qur'an tidak diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah, tidaklah mungkin untuk membukukan sebelum keseluruhan selesai.
Kedua : Sebagian ayat yang dimansukh, bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bis dibukukan dalam satu waktu.
Ketiga : Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya diempatkan diawal surat, yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
Keempat : Masa turunnya wahyu terakir dengan wafatnya Rasulullah SAW adalah sangat dekat/ pendek. Sebagaimana terdahulu tetang Nuzul Al-Qur'an, ayat terakhir Al-Baqarah : 281, disebutkan :
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ... َ
Kemudian Rasulullah berpulang ke Rahmatullah setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masa turun waktu yang sangat singkat yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukan sebelum sempurna turunnya wahyu.
Kelima : Tidak ada motivasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam pada saat itu dalam kondidi yang normal, ahli Al-qur'an begitu banyak, fitnah-fitnah banya diatasi. Berbeda
Jam'ul Qur'an Pada Masa Usman bin Affan
Jam'ul Qur'an mulai dikumpulkan, yaitu pada tahun 25 H. Pada periode ini, Islam mulai tersebar dan bertambah luas, dan para Qurrapun tersebar luas dipelbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari Qir'aat dari Qarri yang dikirim kepada mereka. Al-Qur'an yang dibacakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan dengan huruf ...192
Al-Makky dan Al-Madany
Pengertian Al-Makky dan Al-Madany
Karakteristik Al-Makky dan Al-Madany
Faedah Mengetahui Al-Makky dan Al-Madany dan Perbedaannya
Definisi
أولا : المكى : مانزل بمكة ولو بعد الهجرة , ( مكة , ومنى , عرفات وهديبية ).
ثانيا : ماوقع خطابا لأهل مكة ( يا أيها الذين أمنوا )
ثالثا : عند الجمهور : أن المكى مانزل قبل الهجرة وإن كان بالمدينة والمكى مانزل بعد الهجرة وإن كان بمكة .
Pengecualian
Ayat ini Madaniyah, meskipun turun di pusat Kota Makkah, seperti ayat : QS. An Nisa : 58
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا {58}
Ayat ini turun, pada fathu Makkah.
Pengecualian
Ayat ini Madaniyah, meskipun turun di Makkah. Al-Maidah : 3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Juga Madaniyah, turun ketika haji Wada’ di Mina, dan turun setelah Hijrah,seperti : al-Baqarah : 271
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّاكَسَبَتْ وَهُمْ لاَيُظْلَمُونَ {281}
Pengecualian
Al-Hajj : 77
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ * {77}
Ayat di atas, madaniyah, sajdad menurut Mazhab Syafi’ih.
MAKKY DAN MADANY
Dari sisi Waktu
Dari segi waktu turunnya. Makky adalah ayat yang turun sebelum Nabi hijrah sekalipun ayat tersebut turunnya di Madinah, sedangkan Madany adalah ayat yang turun setelah Nabi hijrah sekalipun ayat tersebut turunnya di Makkah. Dengan demikian surat An-Nisa: 58 termasuk kategori Madany sekalipun turun di Makkah, yaitu pada peristiwa Fathu Makkah. Begitu pula
Tempat
Dari segi tempat turun. Makky adalah segala ayat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya (contohnya: Arafah, Hudaibiyah), sedangkan Madany adalah segala ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya (Contohnya: Uhud, Quba).
Sasaran
Dari segi sasarannya ( khitab ), Makky adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Mekkah dan Madany adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah
Cara mengetahui Makky dan Madany
Dalam menetapkan ayat-ayat yang termasuk kategori Makky dan Madany, para ulama berpegang pada 2 pendekatan berikut:
1. Pendekatan transmisi (periwayatan)
Dalam pendekatan ini para ulama merujuk pada riwayat-riwayat yang shahih yang berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang besar kemungkinannya menyaksikan langsung turunnya wahyu atau para tabiin yang saling berjumpa dan mendengar langsung dari para sahabat tentang proses pewahyuan al-Qur’an, termasuk di dalamnya adalah informasi kronologis Al-Qur’an.
2. Pendekatan analogi (Qiyas)
Pendekatan analogi bertolak dari ciri-ciri spesifik kedua klasifikasi tersebut. Apabila dalam surat Makky terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madany, maka dikatakan bahwa ayat tersebut Madany. Dan bila dalam surat Madany terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makky, maka dikatakan bahwa ayat tersebut Makky. Bila dalam satu surat terdapat ciri-ciri Makky maka
Faedah Mengetahui Makky dan Madany
Menurut an-Naisaburi, subyek Makky – Madany adalah salah satu di antara ilmu-ilmu al-Qur’an yang paling mulia.
Di antara urgensi mengetahui Makky dan Madany sebagai berikut:
1. Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an,bahwa yang datang terakhir adalah nasikh sedang yang turun terlebih dahulu adalah mansukh.
2. Meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam langkah-langkah dakwah
3. Mengetahui sirah Nabawiyah
4. Mengetahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dan ayat yang turun belakangan
5. meyakini bahwa Al-Qur’an sampai kepada umat, dengan selamat dari keraguan dan kesalahan, terbukti bahwa ulama sangat antusias sehingga mengetahui mana yang turun sebelum hijrah dan yang turun setelah hijrah.
6. Mengetahui hikmatu tasyri', yang sangat bijaksana bagi kepentingan hamba. **
Dari segi tema dan gaya bahasa, ketentuan Makky dapat diringkas sebagai berikut:
Ajakan tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, penetapan hari kebangkitan dan hari pembalasan, uraian tentang kiamat dan kedahsyatannya, neraka dan sisaannya, surga dan kenikmatannya, argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan bukti rasional dan ayat-ayat kauniyyah.
Menetapkan dasar-dasar umum bagi pembentukan hukum syara’ dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat. Juga berisikan penyingkapan dosa kaum musyrik dalam hal kriminalitas, memakan harta anak yatim, penguburan bayi perempuan hidup-hidup dan tradisi buruk lainnya.
Karakteristik Makky
a. Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat “sajdah”
b. Setiap
c. Setiap
d. Setiap surat Mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu, kecuali
e. Setiap
f. Setiap surat yang dimulai dengan potongan-potongan huruf hijaiyah, seperti Alif lam mim, ha mim dan lain-lain kecuali
g. Menuturkan kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka dan sebagai hiburan bagi Rasulullah dalam menghadapi gangguan serta tantangan kaum musyrik
h. Suku katanya pendek-pendek disertai kata yang amat keras dan menggetarkan hati serta maknanyapun meyakinkan dengan diperkuat lafadz-lafadz sumpah.
Ciri Khas Madany
a. Setiap
b. Setiap
c. Setiap
Sedangkan dari segi tema dan gaya bahasa, ketentuan Madany dapat diringkas sebagai berikut:
a. Menjelaskan ibadah, muamalah, hudud, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan social, aturan-aturan pemerintahan mengenai perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’
b. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah dan menjauhi kebenaran serta perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki sesama mereka.
c. Menyingkap perilaku orang munafik dan bahayanya bagi agama
d. Suku katanya panjang disertai gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Muhkam dan Mutasyabih
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Kontroversial ulama tentang Mutasyabih
Macam-macam Mutasyabih
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih.
Muhkam berasal dari kata “ ahkama “ yang artinya : sesuatu yang dikokohkan, yaitu mengokohkan dengan memisahkan sesuatu yang benar dari yang salah. Raghib al-Asfahan mengatakan : Muhkam adalah memisahkan sesuatu yang benar ( haq ) dengan ilmu dan akal. Ahkama : yang artinya menahan. Sehingga terdapat kata hakim : artinya orang yang mencegah dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dengan yang bathil, dan anrata yang kebenaran dengan kebohongan.
Menurut Raghib Al-Asfahani, mengatakan : mutasyabih adalah sesuatu yang berbeda-beda tafsirannya, karena terdapat kemiripan dengan yang lainnya.
Adapun mutasyabih dengan yang lain, terdapat dua macam, dari asfek lafadz dan asfek ma’na.
pertama : Mutasyabih dari asfek lafadznya, yaitu musytarik lafdzi ( satu lafadz memiliki arti banyak ). Contoh lafadz yamin, dalam
kedua : Mutasyabih dari asfek maknanya, contohnya, tentang sifat-sifat Allah SWT, dalam firman Allah
Pengertian Al-Qur’an yang mengatakan, seluruhnya adalah muhkam dan sebagian adalah mutasyabih atau yang mengartikan sebagian muhkam dan sebagiannya Mutasyabih.
Pendapat ulama tentang perbedaan Muhkam dan Mutasyabih
Pertama : Muhkam adalah yang jelas dalilnya, dan jelas maknanya. Sedangkan mutasyabih adalah yang tersembunyi dan tidak dapat dipahami maknanya secara akal dan naql, dan ia adalah hanyalah Allah SWT yang mengetahuinya. Seperti waktu datangnya kiamat, huruf muqatha’ah ( awal
Kedua : Muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya baik melalui tafsir dan ta’wil sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang Allah saja yang boleh mengetahuinya. Demikian menurut Ahlu Sunnah. Demikian juga bahwa mutasyabih sesuatu yang dapat diketahui dengan cara mempelajarinya, serta penelitian yang mendalam.
Ketiga : Muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya dengan satu makna melalui jalan ta’wil, tetapi mutasyabih sesuatu yang dapat diketahui maksudnya lebih dari satu pengertian. Ini pendapat Ibn Abbas r.a.
Pertama : Mutasyabih disebabkan karena lafadznya.
Samar karena lafaznya asing dan jarang dipergunakannya, seperti firman Allah dalam
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا * - عبس : 31
Artinya : dan buah-buahan serta rumput-rumputan, (QS. Abasa / 80 : 31)
Kedua : Mutasyabih disebabkan tidak diketahui hanya dari asfek maknanya. Contoh seperti ini, tentang hari kiamat, surga dan neraka, serta hal-hal yang ghaib.
Ketiga : Mutasyabih disebabkan oleh lafazd dan maknanya. Contoh dalam hal ini,
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ * - البقرة : 189 –
Macam-macam Mutasyabih.
Pertama : Sesuatu yang tidak dapat difahami oleh kemampuan akal manusia. Seperti ; ilmu tentang Dzat Allah, dan sifat AllahNya, ilmu tentang Kiamat, dan persoalan yang ghaib. Demikian ini jenis mutasyabih yang hanya Allah Sajalah yang boleh Mengatahuinya. Sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al-An’am : 59.
Kedua : Sesuatu ( Mutasyabih ) yang dapat dipahami. Yaitu dengan cara mempelajari, serta penelitian, seperti Mutasyabihat yang tumbuh dari jalan yang mujmal ( global ), dari yang bashit ( ringan ), serta tertib urutannya.
Hati serta kesempurnaan ijtihad. Contohnya, sebagaimana Allah menganugrahkan kepada Ibnu Abbas, atas do’a Rasulullah terhadapnya.
اللهم فقّهه فى الّدِينِ وعَلِّمهُ التأويلَ
Artinya : “ Ya Allah mudahkan pemahamannya dalam urusan agama, dan ajarkanlah ta’wil “
Hikmah Mengetahui Mutasyabihat dalam Al-Qur’an.
Pertama : Bentuk mutasyabih yang tidak mampu manusia untuk memahaminya.
Kedua : Sebagai ujian dan cobaan bagi manusia, apakah dengan adanya mutasyabih itu beriman atau sebaliknya. Maka jika ia orang yang diberi petunjuk ia akan mengatakan : “ Kami beriman, sedangkan yang di dalam hatinya sakit, maka ia akan kufur. “
Ketiga : Bukti akan kebenaran dalil ( Al-Qur’an ), atas kelemahan dan kebodohan manusia, meskipun betapa hebatnya ia. Dan Allah Maha luas ilmuNya.
Bentuk Mutasyabih yang bisa dipahami, dengan cara mempelajarinya, dan penelitian.
Pertama : Bukti kebenaran tentang kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu dengan terungkapnya yang abstrak ( samar ), dan akan jelas yang mutasyabih, demikian itu adalah jalan keluar memahami kemukijizatan Al-Qur’an yang membutuhkan pemahaman ilmu-ilmu lainnya, seperti ; Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, serta dalil-dalil akal.
Kedua :Dimana sesuatu yang mutasyabih itu ada, maka jalan mencapai kebenaran ( haq ) itu semakin sulit dan berat, maka akan semakin besar ( pahala ) pula balasan yang Allah SWT berikan, sebagaimana Allah berfirman dalam
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ {142} * - ال عمران : 142 –
Artinya : “ Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar “. (QS. Al-Imran :142)
Nasikh dan Mansukh
Pengertian Nasikh dan Syarat-syaratnya
Pedoman Mengetahui Nasikh
Pengertian Mansukh
Macam-macam Naskh dalam Al-Qur’an serta Hikmahnya
Tujuan Nasakh
Allah SWT menurunkan Syari’at as-samawi kepada para Rasul-Nya untuk memperbaiki umat dalam bidang aqidah, ibadah dan mua’malah. Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakan atas dasar yang sama yaitu, atas dasar tauhid uluhiyyah dan rububiyah, maka da’wah atau seruan yang disampaikan para rasul adalah sama ( Q.S : al-Anbiya’ : 25 ). Yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta meningkatkan dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.
Pengertian Nasikh dan Syarat-syaratnya
Definisi naskh secara bahasa, ( menurut Raghib al-Asfahani w. 502 H ), adalah ( menghilangkan sesuatu dengan yang lain yang datang kemudian ). Oleh karena itu terdapat beberapa definisi secara bahasa, yaitu :
Naskh berarti izalah ( menghilangkan ). Sebagaimana Firman Allah SWT,
( فَيَنسَخُ اللهُ مَايُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللهُ ءَايَاتِهِ )
“ Allah SWT menghilangkan apa yang dimasukkan syaithan dan Allah yang menguatkannya “ ( Al-Hajj : 52 ).
Pengertian Nasikh
Nasakh juga ber tabdil ( mengganti ), sebagaimana disebutkan secara naskh,
Naskh berarti tahwil ( memindahkan ) yaitu seperti memindahkan dari nishab yang satu ke nishab yang lain dalam pembagian warisan.
Naskh berarti naql ( memindahkan ), memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti memindahkan catatan amal. Sebagaimana nash dalam al-Qur’an QS. Jasiyah : 29.( إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَاكُنتُمْ تَعْمَلُونَ ), ( Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan" ).
Sedangkan Naskh menurut istilah ( ulama ) adalah : mengangkat ( menghapus ) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain, yang datang kemudian. Sehingga kata nasikh ( yang menghapus ) dapat dimaksudkan adalah Allah, sebagaimana
مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Syarat-syarat Nasakh
a. hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b. dalil yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari yang hukum yang mansukh.
c. Khitab yang mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang demikian tidak dinamakn nasikh.
Ruang lingkup Naskh
Imam Suyutti mengatakan ; Bahwa naskh hanya terjadi pada perintah( amr ), dan larangan ( nahyi ), baik yang diungkap dengan redaksi sharikh ( tegas ) atau yang tidak tegas,
Atau yang diungkap dengan kalimat berita ( khabar ), yang bermakna amr ( perintah ), atau yang bermakna nahy ( larangan ),
Dan persoalan tersebut di atas, tidak berhubungan dengan persoalan, akidah, baik mengenai Dzat Allah dan sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat, janji dan ancaman, dan tidak bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan mua’malah, karena syari’at
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ .
Artinya : “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. ِAs-Syuraa: 13)
Pedoman mengetahui Nasikh dan Mansukh
a. Berupa keterangan dari Nabi SAW, seperti hadits tentang “ larangan ziarah kubur, kemudian rasul membolehkannya.
b. Ijma ulama yang menentukan ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian dalam persfekti sejarah.[10]
Jumhur Ulama
Mereka berpendapat naskh adalah suatu hal yang dapat diteima dengan akal, dan telah terjadi secara syara’ telah terjadi.berdasarkan dalil-dalil, sebagai berikut :
Perbuatan Allah tidak tergantung kepada alasan dan tujuan, Ia boleh saja memerintahkan pada suatu waktu dan boleh juga melarang pada suatu waktu yang lain.
Nas-nas dan sunnah menunjukan kebolehan dan telah terjadi diantaranya : Firman Allah Surat An-Nahl : 101, juga Surat Al-Baqarah : 106. Dan juga ar-Ra’du : 39
Firman Allah SWT :
وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَايُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَآ أَنتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْلَمُونَ * - النحل :101
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui aapa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. 16:101)
Dan Firman Allah :
مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىكُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * - البقرة : 106-
Artinya : Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2:106)
Dan Firman Allah SWT :
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثَبِّتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Pembagian Nasikh dan Mansukh
Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat bagian :
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ( Nasakh semacam ini disepakati kebolehannya oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum ), seperti ayat tetang idah yang masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari. QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ – البقرة : 240 -
ِArtinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)
Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * - البقرة : 234 -
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)
Dan hukum tersebut bagi yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh denga ayat Al-Thalaq : 4
وَالاَّئِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا – الطلاق : 4 -
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. 65:4)
2. Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. (Dalam hal ini para ulama membatasi hanya denga sunnah mutawatiroh, sebagaimana menurut imam Maliky, Abu Hanifah, mazhab al-Asy’ary dan Mu’tazilah), dan naskh ini ditolak oleh mazhab syafi’ih, dengan alasan ayat Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Qur’an tidak lebih baik kedudukannya dengan as-sunnah.
3. Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. (Naskh dalam semacam ini disepakati oleh jumhur ulama, dalam hal ini nabi memrintahkan kaum muslimin dalam menghadap kiblat Baitul Maqdis kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dalam surat al Baqarah ; 144) atau kewajiban puasa Asyura’, yang ditetapkan berdasarkan Sunnah kemudian dinaskh oleh firman Allah QS. Al-Baqarah : 185.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ * - البقرة : 144 –
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah /2:144)
4. Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
Dalam katagori ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
1. Naskh mutawwatir dengan mutawatir,
2. Naskh ahad dengan ahad,
3. Naskh ahad dengan mutawatir,
4. Naskh mutawatir dengan ahad
Dan ulama menyepakati dalam tiga bentuk yang pertama, sedang bentuk keempat dalam perselisihan pendapat.
Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Macam-macam naskh dalam katagori ini ada tiga macam, yaitu :
Pertama : Naskh tilawah dan juga hukumnya. seperti apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan lainnya, dari Aisyah, ia berkata :
كان فيما أنزل عشر رضعاتٍ معلوماتٍ يحرمن فنسخنَ بخمس معلوماتٍ فتوفى رسول الله صلى الله عليه وسلم ( وهنّ مما يقرأ من القرأن ).
“ diantara yang diturunkan kepada beliau adalah 10 susuan yang ma’lum ……..”
Kedua : Naskh Hukum sedangkan tilawahnya tetap.
Contohnya tentang idah selama satu tahun sedang tilawahnya tetap, yaitu QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ * - البقرة : 240 –
Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah /2:240)
Dinaskh dengan ayat idah empat bulan sepuluh hari, QS. Al-Baqarah : 234.[11]
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ * - البقرة : 234 –
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah /2 : 234)
Ketiga : Naskh tilawah sedangkan hukumnya tetap.
Dalam hal ini berkenaan tentang ayat rajam,
الشيخُ والشيخةُ إذاَ زَنيا فارْجُموُهماَ البتةَ نكالاً منَ اللهِ واللهُ عَزيْزٌ حَكيْمٍ
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah SWT, dan Allah Maha kuasa dan Maha Bijaksana “.
Contoh lain dalam hal ini :
Tentang diwajibkannya wasiat bagi orang tua yang meninggal, dalam ayat Al Baqarah : 180, tetapi hal ini dinaskh dengan ayat mawaris
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتَ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ * - البقرة : 180 –
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS.Al-Baqarah / 2:180)
“ tidak ada wasiat bagi ahli waris “…..Ijma’ Ulama.
Tentang Ayat Mawaris, Surat An-Nisa’ : 11, dengan an-Nisa’ : 12, juga dinaskh dengan al Baqarah : 176
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَاتَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدُُ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدُُ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمَّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآأَوْدَيْنٍ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَتَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا * النساء : 11 –
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 4:11)
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدُُ وَلَهُ أُخْتُُ فَلَهَا نِصْفُ مَاتَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدُُ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِن كَانُوا إِخْوَةً رِّجَالاً وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمُُ * - النساء : 176 –
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah:"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa’ / 4:176)
Bahwa Allah SW Dengan Sunnah, Bahwa Allah SWY telah memberikan bagian bagi yang berhak menerimanya, tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Macam-macam Naskh
Macam-macam naskh berpengganti dan tidak berpengganti.
1. Naskh tanpa badal ( pengganti ), contoh, penghapusan besedekah sebelum berbicara kepada rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam
•يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ * - المجادلة : 12 –
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)
Ayat diatas, dinaskh dengan ayat al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ * - المجادلة : 13 –
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:13)
2. Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya puasa masa dahulu, dalam Surat Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ * - البقرة : 187 –
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu ( Al-Baqarah / 2 : 187 )
3. Naskh dengan badal mumatsil ( sebanding ), Contohnya, tahwil kiblat, menghapus menghadap bait al-maqdis dengan menghadap kiblat ke ka’bah. Dengan firman Allah
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ - البقرة : 144 –
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. ( Al-Baqarah / 2 : 144 )
4. Naskh dengan badal astqal ( lebih berat ), contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada awal islam, dalam ayat an Nisa’ : 15-16,
َمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ ناَرًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابُُ مُّهِينُُ {14} وَالاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً {15 [
Dinaskh dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ {2}
Atau dengan didera 100 kali dan diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis ), dan di dera 100 kali dan dirajam, bagi yang telah menikah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
“ orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti … ‘
Faedah Mengetahui Nasikh dan Mansukh
a. Memelihara kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat kesempurnaan, sesuai dengan perkembangan kondisi umat.
c. Cobaan dan ujian bagi umat islam mukallaf, apakah mengikuti atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
***
[1] Abdul Hamid Mutawwali, Al-Mustanir Fi Ulumi-Qur’an, ( Kairo : Musthafa Al-Halaby, Cet. Ke-1, 1991M / 1411 H ), h. 5
[2] Abu Zaid yang disebutkan dalam hadits diatas, adalah menurut riwayat yang dinukil Ibn Hajar dengan isnad yang menurut persyaratan Bukhari, namanya adalah Qais bin Sakan, kata Anas, Ia adalah seorang laki-laki dari suku kami Bani ‘Adi Ibnun Najjar dan termsuk salah seorang paman kami. Meninggal dunia tampa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewariskannya “. Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, h. 181
[3] Op.Cit. h. 8, Sya’ban Muhamad Isma’il, Al Qira’at Ahkamuha wa Masydaruha, ( Kairo : Darussalam li Taba’ah Wa Nasr Wa Tawzi’, 1986 M / 1406 H ), Cet.t.th h. 10-11
[4] Op.Cit. h. 8, Sya’ban Muhamad Isma’il, Al Qira’at Ahkamuha wa Masydaruha, ( Kairo : Darussalam li Taba’ah Wa Nasr Wa Tawzi’, 1986 M / 1406 H ), Cet.t.th h. 10-11
[5] Op.cit. Mustanir Fi Ulumil Qur’an, h. 27
[6] Abdul Qadir Muhamad Shaleh, Tafsir wa Al-Mufassirun, ( Beirut : Dar Al-Ma’rifah, 1424 H / 2003 ), Cet. I, h 45
[7] Adul Hamid Mahmud Mutawalli, Mustanir Fii Ulumil Qur’an, ( Kairo : Maktab Musthafa Al-Halabi, 1991 / 1411 H ), cet. Ke-1, h. 29
[8] Al-Wahidi, Asbab Nuzul, h. 113
[9] Hadits diriwayatkan Al-Hakim dalam Musytadrak dengan sanad yang memenuhi syarat bukhari dan muslim, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an , Ibid. h. 58
[10] Mahmud Mutawalli, Al Mustanir Fi ulumil Qur’an, ( Mesir : Syirkah Maktabah Mushthafa al-Halabi , 1991 ), cet. I, 110-111
[11] Ibid, h. 115