Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Monday, July 20, 2009

URGENSI MEMPELAJARI WARIS ( Kitab Faraidh )


Pendahuluan
Alhamdulillah, segala Puji hanya milik Allah SWT yang telah memberikan nikmatNya kepada kita semua, Shalawat serta Salam tercurah tiada hentinya kepada junjungan kita Baginda Rasulullah SAW., yang telah memberikan cahaya dengan Islam kepada seluruh umat manusia.
Makalah ini adalah sebuah ikhtisar dari sebuah kitab karangan Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijry, semoga ikhtisar yang penulis sajikan dalam bentuk makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah (STIS) Sultan Syarif Abdurrahman, sudah seharusnya setiap mahasiswa menguasai mata kuliah ilmu waris ini, harapan agar dapat menguasai ilmu waris tentunya tidak hanya didapatkan di bangku kuliah, tetapi dengan penelitian dan makalah-makalah mandiri seperti ini diharapkan setiap mahasiswa menguasai mata kuliah ini dengan baik, dalam rangka sebagai mediator dan mensosialisasikan hukum Islam kepada masyarakat luas, khususnya ilmu waris ini. Pada makalah ini insya Allah akan saya ketengahkan kepada para pembaca sekalian sebuah permasalahan yang sangat urgen untuk diketahui oleh setiap muslim, insya Allah akan penulis tampilkan secara berseri tentang hukum pembagian waris dalam islam dan hal-hal yang berkaitan dengannya

Urgensi Mempelajari ilmu Faraidh
Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan bagian masing-masing, Allah menerangkan bagian masingmasing ahli waris, sebagian besar diterangkan dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.
Oleh sebab itu Allah-lah yang langsung mengatur sendiri pembagian serta rincianya dalam Kitab-Nya, meratakannya di antara para ahli waris sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia ketahui. •
Manusia memiliki dua keadaan : keadaan hidup dan keadaan mati, kebanyakan hukum yang ada dalam ilmu Faraidh berhubungan dengan mati, maka Faraidh bisa dikatakan setengah dari ilmu yang ada, seluruh orang pasti butuh kepadanya.
- Pada zaman Jahiliyyah dahulu, mereka hanya membagikan harta warisan untuk orang-orang dewasa tanpa memberikan kepada anak-anak, kepada laki-laki saja tidak kepada wanita, sedangkan Jahiliyyah pada zaman ini memberikan kepada para wanita apa-apa yang bukan hak mereka, baik kedudukan, pekerjaan, maupun harta, sehingga kerusakan semakin bertambah, sedangkan Islam telah berbuat adil kepada wanita dan memuliakannya, memberikan hak yang sesuai untuk mereka
seperti yang lain.
• Ilmu Faraidh (Ilmu Waris) adalah: Ilmu yang menerangkan tentang siapa yang berhak mendapat warisan, dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa bagian setiap ahli waris.
• Pembahasannya : Seluruh peninggalan, yaitu apa yang ditinggalkan oleh Mayit baik itu berupa harta ataupun lainnya.
• Hasilnya : Memberikan seluruh hak kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
• Faridhah : adalah bagian tertentu sesuai syari'at bagi setiap ahli waris, seperti : sepertiga, seperempat dan sebagainya.
• Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan ada lima, dilaksanakan secara berurutan jika semuanya ada, sebagaimana dibawah ini :
1. Dikeluarkan dari harta warisan untuk penyelesaian kebutuhan mayit, seperti kain kafan dan lainnya.
2. kemudian hak-hak yang berhubungan dengan barang yang ditinggalkan, seperti hutang dengan sebuah jaminan barang dan semisalnya.
3. Kemudian pelunasan hutang, baik itu yang berhubungan dengan Allah seperti zakat, kaffarat dan semisalnya, ataupun yang berhubungan dengan manusia.
4. Kemudian pelaksanakan wasiat.
5. kemudian pembagian warisan –dan inilah yang dimaksud dalam ilmu ini-
• Rukun waris ada tiga :
1. Yang mewariskan, yaitu mayit.
2. Yang mewarisi, yaitu orang yang masih hidup setelah meninggalnya yang mewariskan.
3. Hak yang diwaris, yaitu harta peninggalan
• Sebab-sebab mendapat warisan ada tiga :
1. Nikah dengan akad yang sah, hanya dengan akad nikah maka suami bisa mendapat harta warisan istrinya dan istripun bisa mendapat warisan dari suaminya.
2. Nasab (keturunan), yaitu kerabat dari arah atas seperti kedua orang tua, keturunan seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman serta anak-anak mereka.
3. Perwalian, yaitu ashobah yang disebabkan kebaikan seseorang terhadap budaknya dengan menjadikannya merdeka, maka dia berhak untuk mendapatkan warisan jika tidak ada ashobah dari keturunannya atau tidak adanya ashab furudh.
Yang menghalangi warisan ada tiga :
1. Perbudakan : Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat warisan, karena dia milik tuannya.
2. Membunuh tanpa alasan yang dibenarkan: Pembunuh tidak berhak untuk mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya.
3. Perbedaan agama : seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi orang Muslim.
Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi bersabda :
" لا يرث المسلم الكا فر ولا الكافر المسلم " متفق عليه
"Orang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi orang Muslim" Muttafaq alaihi.
o Seorang istri yang di ceraikan dengan talak raj'i masih saling mewarisi antara dia dengan suaminya selama masih dalam masa iddah.
o Seorang istri jika di cerai oleh suaminya dengan talak bain, jika suaminya dalam keadaan sehat, maka keduanya tidak saling mewarisi, sedangkan jika dalam keadaan sakit parah dan tidak ada sangkaan kalau dia menceraikan dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat warisan, maka dalam keadaan seperti ini istrinya juga tidak berhak mendapat warisan, akan tetapi jika diperkirakan dia menceraikannya dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat warisan, maka sesungguhnya dia berhak untuk mendapatkannya.
• Macam-macam waris :
1. Waris dengan fard (ketentuan) : yaitu ahli waris mendapat bagian tertentu, seperti: setengah, seperempat dan sebagainya.
2. Waris dengan Ta'shib: yaitu ahli waris mendapat bagian yang tidak ditentukan.

Furudh (bagian-bagian) yang terdapat dalam Al-Qur'an ada enam, yaitu: Setengah, Seperempat, Seperdelapan, Dua pertiga, Sepertiga, dan Seperenam. Adapun sepertiga dari sisa, ditetapkan oleh ijtihad.

Secara rinci Laki-laki yang berhak mendapat warisan ada lima belas, mereka adalah :
Putra, serta putranya (cucu) dan seterusnya dari anak laki-laki, ayah, serta kakek dan seterusnya dari orang tua laki-laki, saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, putra saudara kandung serta putra saudara seayah dan seterusnya dari anak laki-laki mereka, suami, paman kandung dan keatasnya, paman seayah dan keatasnya, putra paman kandung serta putra paman seayah dan anak mereka yang laki-laki, orang yang memerdekakan dan asobahnya.
Kerabat laki-laki selain dari mereka termasuk Dzawil Arham, seperti: saudara saudara ibu (paman dari ibu), putra saudara seibu, paman seibu, putra paman seibu dan lainnya.

Secara rinci wanita yang berhak mendapat warisan ada sebelas, mereka adalah:
Putri, putri dari anak laki-laki (cucu) dan seterusnya dari anak laki-laki, ibu, nenek dari ibu dan keatasnya dari ibu mereka, nenek (ibunya ayah) dan keatasnya dari ibu mereka, neneknya ayah, saudari kandung, saudari satu ayah, saudari satu ibu, istri, dan wanita yang memerdekakan budak.
Wanita selain dari mereka termasuk dari Dzawil Arham, seperti para saudari ibu (bibi) dan lainnya.
Allah berfirman :
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan" ( QS. An-Nisaa: 7 )

ASHABUL FURUDH
• Warisan ada dua macam: Fardhu dan Ta'shib, berkaitan dengan dua hal tersebut, para ahli waris terbagi menjadi empat macam:
a. Ahli waris yang hanya mendapat dengan fardhu saja, mereka ada tujuh: ibu, saudara seibu, saudari seibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, suami, dan istri.
b. Ahli waris yang hanya mendapat dengan ta'shib saja, mereka ada dua belas: putra, cucu laki-laki dari putra dan keturunannya, saudara kandung, saudara seayah, putra saudara kandung serta putra saudara seayah dan keturunannya, paman kandung serta paman seayah dan ayah mereka, putra paman kandung serta putra paman seayah dan keturunannya, laki-laki yang memerdekakan dan wanita yang memerdekakan.
c. Ahli waris yang terkadang mendapat warisan dengan fardhu, terkadang dengan ta'shib dan terkadang dengan kedua-duanya, mereka ada dua yaitu : ayah dan kakek, mereka mendapat bagian seperenam jika mayit memiliki keturunan, dan menjadi ashabah saja, jika mayit tidak memiliki keturunan, serta mewarisi dengan fardhu dan ta'shib apabila hanya ada keturunan wanita bagi mayit, jika tersisa lebih dari seperenam setelah diambil bagian ashabul furudh, contoh: seseorang meninggalkan (satu putri, ibu, dan ayah), maka warisan dibagi enam: untuk putri setengah, ibu seperenam, dan sisanya untuk ayah sebagai fardhu dan ta'shib.
d. Ahli waris yang terkadang mendapat warisan dengan fardhu, terkadang dengan ta'shib dan tidak mendapat warisan dengan keduanya, mereka ada empat: satu orang putri atau lebih, putri anak laki-laki (cucu) satu orang atau lebih dan yang dibawahnya dari anak laki-laki, saudari kandung satu orang atau lebih, dan saudari seayah satu orang atau lebih, mereka mendapat warisan dengan fardhu ketika tidak ada yang menjadikan mereka ashobah, yaitu saudara laki-laki mereka, jika ada saudara laki-laki maka mereka akan menjadi ashobah, seperti putra dengan putri, saudara dengan saudari, maka para putri serta saudari menjadi ashobah.

Ashabul furudh ada sebelas orang, mereka adalah: suami, istri satu orang atau lebih, ibu, ayah, kakek, nenek satu orang atau lebih, anak perempuan, putri anak laki-laki (cucu wanita dari anak laki-laki), saudari kandung, saudari seayah, saudara seibu baik laki maupun wanita. Adapun warisan mereka seperti berikut ini:

1- Warisan Suami
1. Suami mendapat bagian setengah dari peninggalan istrinya jika si istri tidak memiliki keturunan, yang dimaksud keturunannya adalah: "anak-anaknya, baik itu putra maupun putri, cucu dari putranya sampai kebawah" adapun cucu dari putri mereka termasuk dari keturunan yang tidak mendapat waris.
2. Suami mendapat bagian seperempat dari peninggalan istrinya jika si istri memiliki keturunan, baik itu keturunan darinya ataupun dari suami lain.

Allah berfirman :
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya..." ( An-Nisaa : 12 )

2- Warisan Istri
1. Seorang istri mendapat seperempat dari peninggalan suaminya jika si suami tidak memiliki keturunan.
2. Istri mendapat warisan seperdelapan dari suami jika dia (suami) memiliki keturunan, baik itu darinya ataupun dari istrinya yang lain.
- Jika istri lebih dari satu, maka bagian isteri yaitu seperempat atau seperdelapan, di bagi sama di antara mereka.
Allah berfirman :

"Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai ank, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.." An-Nisaa: 12

3- Warisan Ibu
1. Ibu mendapat bagian warisan sepertiga dengan tiga syarat: Mayit tidak memiliki keturunan, tidak memiliki dua saudara atau lebih, baik laki-laki maupun wanita, serta permasalahannya tidak termasuk dari Umariyatain.
2. Ibu mendapat bagian seperenam: jika mayit memiliki keturunan, atau sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita.
3. Ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa harta dalam permasalahan Umariatain, dan disebut pula permasalahan Ghorowiatain, kedua permasalahan tersebut adalah apabila ahli waris terdiri dari:
a. istri, ibu dan ayah: harta warisan dibagi empat: untuk istri seperempat yaitu satu, untuk ibu sepertiga dari sisa harta yaitu satu, dan sisanya yang dua untuk ayah.
b. suami, ibu dan ayah: harta warisan dibagi enam: untuk suami setengah, yaitu tiga, untuk ibu sepertiga dari sisa yaitu satu dan sisanya yang dua lagi untuk ayah.
- Ibu diberi bagian sepertiga dari sisa harta; agar bagiannya tidak melebihi bagian ayah, padahal keduanya satu derajat bagi si mayit, dan agar bagian laki-laki dua kali lebih banyak dari wanita.
Allah berfirman:

"… Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.." (QS. An-Nisaa: 11)

4- Warisan Ayah
1. Ayah mendapat warisan seperenam secara fardhu dengan syarat adanya keturunan laki-laki bagi si mayit, seperti putra ataupun cucu dari putranya.
2. Ayah mendapat warisan sebagai ashobah jika si mayit tidak memiliki keturunan.
3. Ayah mendapat warisan dengan fardhu dan ta'shib sekaligus jika mayit mempunyai keturunan wanita, seperti: putrinya atau putri dari putranya (cucu), dalam keadaan ini ayah berhak mendapat seperenam sebagai fardhu dan juga mendapatkan sisa harta sebagai ashobah.
Saudara-saudara kandung atau seayah ataupun seibu, seluruhnya terhalang (tidak mendapat waris) dengan keberadaan ayah atau kakek.

5- Warisan Kakek
Kakek yang berhak mendapat warisan adalah yang tidak terdapat wanita di antara dirinya dengan mayit, seperti ayahnya ayah, dan bagiannya sama seperti bagian ayah, kecuali dalam permasalahan Umariatain, dalam masalah ini ibu mendapat sepertiga harta walaupun ada kakek, sedangkan ketika bersama ayah, ibu mendapat sepertiga dari sisa setelah diambil bagian suami atau istri, sebagaimana yang telah lalu.
1. Kakek mendapat warisan seperenam secara fardhu dengan dua syarat: adanya keturunan mayit, dan tidak adanya ayah.
2. Kakek mewarisi sebagai ashobah jika mayit tidak memiliki keturunan, dan tidak ada ayah.
3. Kakek mewarisi dengan fardhu dan ta'shib secara bersamaan, ketika ada keturunan wanita bagi mayit, seperti putri dan putrinya putra (cucu).

6- Warisan Nenek
• Nenek yang berhak mendapat warisan adalah: ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya kakek dan seterusnya dengan jalur wanita, dua orang dari ayah dan satu dari ibu.
• Seluruh nenek tidak mendapat warisan sama sekali jika ada ibu, sebagaimana pula tidak ada warisan sama sekali untuk kakek ketika ada ayah.
• Warisan yang didapat oleh satu orang nenek ataupun lebih adalah seperenam (mutlak) dengan syarat tidak ada ibu.

7- Warisan anak perempuan
1. Satu orang putri ataupun lebih mendapat warisan dengan ta'shib jika mereka mempunyai saudara laki-laki, yang laki-laki mendapat dua kali bagian wanita.
2. Seorang putri mendapat warisan setengah harta dengan syarat tidak ada muasshib baginya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang bersamanya, yaitu saudarinya.
3. Dua orang putri ataupun lebih mendapat warisan dua pertiga, dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, dan tidak ada muasshib bagi mereka, yaitu saudara laki-laki mereka.
Allah berfirman :
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anakperempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.. " (QS. An-Nisaa: 11)

8- Warisan cucu permpuan (dari anak laki-laki)
1. Satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki ataupun lebih mendapat warisan sebagai ta'shib jika ia mempunyai saudara laki-laki yang sederajat dengannya, yaitu cucu laki-laki.
2. cucu perempuan (dari anak laki-laki) mendapat warisan setengah harta dengan syarat tidak ada muasshibnya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang menyertainya, yaitu saudarinya yang lain, dan tidak ada keturunan mayit yang lebih tinggi derajatnya, seperti putra ataupun putri mayit.
3. Dua orang cucu perempuan (dari anak laki-laki) ataupun lebih mendapat warisan dua pertiga dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib bagi mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, dan tidak ada keturunan yang derajatnya lebih tinggi dari mereka.
4. Satu orang cucu perempuan (dari anak laki-laki) atau lebih dari mendapat warisan seperenam dengan syarat tidak ada muasshib bagi mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada keturunan mayit yang lebih tinggi derajatnya darinya kecuali satu orang putri yang berhak mendapat setengah harta warisan, karena mereka tidak akan mengambil seperenam kecuali dengan keberadaannya, begitu pula hukumnya dengan putrinya cucu laki-laki bersama cucu perempuan dari anak laki-laki, dst.

9- Warisan Saudari Kandung
1. Seorang saudari kandung mendapat setengah dari harta warisan dengan syarat tidak ada yang menyertainya dari saudari lainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudaranya, tidak ada ahli waris dari orang tua, yaitu ayah atau kakek si mayit, dan tidak ada keturunan.
2. Saudari kandung mendapat bagian dua pertiga, dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada ahli waris dari orang tua laki-laki, tidak ada muasshib, yaitu saudara mereka.
3. Saudari kandung, baik satu orang atau lebih akan menjadi ashobah jika ada yang menjadikan mereka ashobah, yaitu saudara laki-laki, dengan pembagian laki-laki mendapat dua kali bagian wanita. atau ketika mereka bersama keturunan mayit yang wanita seperti putri mayit.
Allah berfirman:
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lakilaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.." (QS. An-Nisaa: 176)

10- Warisan Saudari sebapak
1. Saudari seayah mendapat bagian setengah harta dengan syarat tidak ada saudari lain bersamanya, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada orang tua laki-laki yang mewarisi, tidak ada keturunan mayit, dan tidak ada saudara kandung, baik laki-laki maupun wanita.
2. Saudari satu ayah mendapat dua pertiga bagian dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada orang tua laki-laki yang mewarisi, tidak ada keturunan, dan tidak ada saudara kandung, baik laki-laki maupun wanita.
3. Saudari seayah, satu orang atau lebih mendapat bagian seperenam dengan syarat adanya seorang saudari kandung mayit yang mendapat bagian setengah dengan fardhu, tidak ada muasshib baginya, tidak ada keturunan mayit, tidak ada orang tua laki-laki yang mewarisi, dan tidak ada saudara kandung, baik itu satu orang ataupun lebih.
4. Saudari seayah satu orang atau lebih mendapat warisan dengan ta'shib jika ada bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki-laki mereka, maka pembagiannya untuk satu orang laki-laki sama dengan dua orang wanita, atau mungkin juga jika mereka ada bersama keturunan mayit yang wanita, seperti putri mayit.

11- Warisan Saudara Seibu
Saudara seibu tidak dibedakan antara laki-laki dan wanita, yang laki-laki dari mereka tidak menjadikan wanitanya ashabah, namun mereka mendapat bagian dengan merata (sama).
1. Saudara seibu, baik laki-laki maupun wanita mendapat bagian seperenam dengan syarat yang meninggal tidak memiliki keturunan, tidak ada orang tua laki-laki yang mewarisi, dan dia hanya satu orang.
2. Saudara seibu, baik itu laki-laki ataupun wanita mendapat bagian sepertiga dengan syarat jumlah mereka lebih dari satu orang, yang meninggal tidak memiliki keturunan, dan tidak ada ahli waris dari orang tua laki-laki.
Allah berfirman :
"Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun" ( QS. An-Nisaa: 12 )

A. Permasalahan Ahlul Furudh
Permasalahan Faraidh berdasarkan bagian-bagian mereka masing-masing terbagi menjadi tiga:
1) Apabila bagian-bagian yang ada sama dengan asli masalah, yang demikian dinamakan al-adilah
Contoh: suami dan saudari, masalahnya dari dua, untuk suami setengah, yaitu satu dan untuk saudari juga setengah, yaitu satu.
2) Apabila bagian yang ada didalamnya lebih sedikit dari asli masalah, yang seperti ini dinamakan an-naqisoh, apa yang tersisa darinya diberikan kepada ashabul furudh selain dari suami istri, apabila ashabul furudh tidak menghabiskan harta peninggalan dan tidak ada Ashabah, maka mereka lebih berhak atas pembagian dan mengambil sesuai dengan bagian masing-masing.
Contoh: istri dan putri, asal masalah dari delapan, untuk istri seperdelapan: satu, dan untuk putri tujuh, sebagai fardhu dan bagian sisa.
3) Apabila bagian yang ada lebih banyak dari asli masalah, yang seperti ini dinamakan aailah
Contoh: suami dan dua orang saudari (bukan satu ibu), jika suami diberi setengah, maka tidak akan cukup bagian untuk kedua orang saudari tersebut, yaitu dua pertiga, maka asli masalah yang enam dirubah menjadi tujuh, untuk suami setengah, yaitu tiga, dan untuk kedua saudari dua pertiga, yaitu empat, sehingga kekurangan mencakup seluruhnya, sesuai dengan bagian masing-masing.

B. Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang mendapat warisan dengan tidak ditentukan.
Ashabah terbagi menjadi dua:
1. Ashabah karena nasab
2. Ashabah karena sebab.

1. Ashabah karena nasab terbagi menjadi tiga macam:
1) Ashabah binnafsi
Mereka adalah seluruh ahli waris laki-laki kecuali (suami, saudara seibu, orang yang memerdekakan budak), mereka adalah: putra, cucu (putranya putra) dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dan seterusnya ke atas, saudara kandung, saudara seayah, putra saudara kandung dan seterusnya kebawah, putra saudara seayah dan seterusnya kebawah, paman kandung, paman seayah, putra paman kandung dan seterusnya ke bawah, putra paman seayah dan seterusnya ke bawah.
* Jika yang ada diantara mereka hanya satu orang, maka dia mendapat seluruh harta, dan jika berkumpul dengan ashabul furudh, dia mengambil apa yang tersisa setelah ashabul furudh, dan jika tidak harta warisan tidak tersisa setelah ashabul furudh mengambil bagiannya, maka dia tidak mendapat apa-apa.
* Sebagian ashabah hubungannya dengan mayit lebih dekat dibandingkan dengan yang lain, mereka tediri dari lima tingkatan, dengan urutan sebagai berikut : keturunan (anak dan keturunannya), kemudian orang tua (ayah dan seterusnya keatas), kemudian saudara (saudara dan keturunannya), kemudian paman (paman dan keturunannya), kemudian wala' (perwalian/yang memerdekakan).
* Jika ada dua Ashabah atau lebih, maka akan ada beberapa kemungkinan:
1. Pertama: Jika keduanya sama dalam jalur, derajat, dan kekuatan, seperti dua orang putra, dua orang saudara, atau dua orang paman, dalam hal seperti ini, keduanya mendapat bagian harta sama.
2. Kedua: Jika keduanya sama dalam jalur dan derajatnya, akan tetapi berbeda dalam kekuatannya, seperti jika ada paman kandung dan paman seayah, maka yang lebih kuat dikedepankan, oleh karenanya yang mendapat warisan adalah paman kandung , sedangkan paman seayah tidak.
3. Ketiga: Jika keduanya sama dalam jalur, akan tetapi berbeda dalam derajatnya, seperti adanya putra dan cucu (dari anak laki-laki), maka yang dikedepankan adalah yang lebih dekat derajatnya, sehingga harta peninggalan hanya diperoleh oleh putra.
4. Keempat: Jika keduanya berbeda jalur, maka yang jalurnya lebih dekat didahulukan dalam warisan, walaupun derajatnya lebih jauh, atas yang jalurnya lebih jauh walaupun derajatnya lebih dekat, maka cucu (dari anak laki-laki) didahulukan dari ayah.

2) Ashabah bilghoir
Mereka ada empat: Satu orang putri atau lebih dengan satu orang putra atau lebih, satu orang cucu perempuan (dari anak laki-laki) atau lebih dengan satu orang cucu laki-laki (dari anak laki-laki) atau lebih, satu orang saudari kandung atau lebih dengan satu orang saudara kandung atau lebih, satu orang saudari seayah atau lebih dengan satu orang saudara seayah atau lebih. Pembagian waris diantara mereka adalah bagian satu orang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan, dan mereka mendapat apa yang tersisa setelah ashabul furudh mengambil bagiannya, dan jika tidak tersisa setelah ashabul furudh mengambil bagiannya, maka mereka tidak mendapat apa-apa.

3) Ashabah ma'alghoir
Mereka ada dua kelompok:
Pertama: Satu orang saudari kandung atau lebih, bersama satu orang putri atau lebih, atau bersama satu orang cucu perempuan (dari anak laki-laki) atau lebih, atau bersama keduanya,
Kedua: satu orang saudari seayah atau lebih, bersama satu orang putri atau lebih, atau bersama satu orang cucu perempuan (dari anak laki-laki) atau lebih, atau bersama keduanya. Jadi, jika saudari bersama anak perempuan atau cucu perempuan (dari anak laki-laki) sampai seterusnya ke bawah, maka ia menjadi ashabah, mereka mendapat apa yang tersisa setelah ashabul furudh mengambil bagiannya, dan jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.

2. Ashabah karena sebab:
Mereka adalah laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak, dan masing-masing mereka menjadi ashabah binnafsi.
1- Allah berfirman
"Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" ( An-Nisaa: 176 )

2- Dari Ibnu Abbas dia berkata: telah bersabda Rosulullah:
" ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر " متفق عليه
"Berikanlah harta peninggalan kepada orang yang berhak menerimanya, dan apa yang masih tersisa berikanlah kepada yang lebih berhak dari golongan laki-laki" H.R Bukhori

C. Al-Hajb (Yang Menghalangi Waris)
Al-Hajb: adalah mencegah orang yang berhak mendapat warisan dari warisan secara keseluruhan, atau dari salah satu bagiannya yang terbesar.
Al-Hajb termasuk salah satu bab terpenting dalam Faraidh, dan siapa yang tidak mengetahuinya maka bisa jadi ia tidak memberikan hak orang yang berhak mendapatkannya, atau memberi yang tidak berhak mendapatkannya, dan kedua hal ini merupakan dosa dan kezaliman.

Jika seluruh ahli waris ada, maka ada tiga kemungkinan:
1. Jika seluruh ahli waris laki-laki ada, maka yang mendapat warisan diantara mereka hanya tiga, yaitu: Ayah, anak laki-laki, dan Suami.
KPKnya adalah duabelas: untuk ayah seperenam yaitu dua, untuk suami seperempat yaitu tiga, dan sisanya tujuh untuk anak laki-laki sebagai Ashabah.
2. Jika seluruh ahli waris wanita ada, maka yang mendapat warisan diantara mereka hanyalah lima: anak-perempuan, Cucu perempuan (dari anak laki-laki), Ibu, Istri, Saudari kandung, selain mereka tidak mendapat bagian. KPKnya adalah duapuluh empat: untuk istri seperdelapan yaitu tiga, untuk ibu seperenam yaitu empat, untuk putri setengah yaitu duabelas, cucu seperenam yaitu empat, sisanya satu untuk saudari kandung sebagai Ashabah.
3. Jika seluruh ahli waris laki-laki dan wanita ada, maka yang mendapatkan warisan diantara mereka hanyalah lima, yaitu: Ibu, Ayah, anak laki-laki, anak perempuan, dan salah satu Suami atau Istri.
a. Jika bersama mereka ada istri, maka KPKnya adalah duapuluh empat: untuk ayah seperenam yaitu empat, untuk ibu seperenam yaitu empat, untuk istri seperdelapan yaitu tiga, dan sisanya untuk putra dan putri sebagai Ashabah, laki-laki mendapat dua kali bagian wanita.
b. Jika bersama mereka ada suami, maka KPKnya adalah duabelas: untuk ayah seperenam yaitu dua, untuk ibu seperenam yaitu dua, untuk suami seperempat yaitu tiga, dan sisanya untuk putra dan putri sebagai Ashabah, laki-laki mendapat dua kali bagian wanita.

Macam-Macam Al-Hajb :
Al-Hajb terbagi menjadi dua bagian:
1. Al-Hajb bil-wasf (dengan sifat): yaitu ahli waris yang menyandang salah satu sifat yang menghalangi warisan, yaitu : perbudakan, pembunuhan, atau perbedaan agama, dan sifat ini bisa mengenai seluruh ahli waris, siapa yang saja yang menyandang salah satu dari sifat tersebut, maka keberadaannya seperti tidak ada.
2. Al-Hajb bissyakhsi (dengan orang): -inilah yang dimaksud di sini- yaitu jika sebagian dari ahli waris terhalangi oleh ahli waris lainnya, bagian ini terbagi menjadi dua: Hajb Nuqson (kurang) dan Hajb Hirman (terhalang), penjelasannya sebagai berikut:
1) Hajb Nuqson: Yaitu menghalangi seseorang dari bagian terbesarnya, bagian yang dia dapat akan berkurang disebabkan ada yang menghalanginya. Permasalahan ini terbagi tujuh: empat intiqol (peralihan) dan tiga izdiham (berdesak-desakan), adapun intiqol:
i. Beralihnya orang yang mahjub (terhalang) dari suatu bagian kepada bagian yang lebih sedikit, mereka ada lima: suami-istri, ibu, cucu perempuan (dari anak laki-laki), dan saudari seayah. contohnya adalah seperti beralihnya bagian suami dari seperempat menjadi seperdelapan.
ii. Beralih dari Ashabah kepada fardhu yang lebih sedikit bagiannya, ini khusus hanya dalam permasalahan ayah dan kakek saja.
iii. Beralih dari fardhu kepada Ashabah yang bagiannya lebih kecil, ini berkaitan dengan mereka yang mendapat bagian setengah, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki), saudari kandung dan saudari seayah, hal ini terjadi jika masing-msing dari mereka bersama saudaranya yang laki-laki.
iv. Beralih dari Ashabah kepada Ashabah yang lebih sedikit bagiannya, ini berhubungan dengan Ashabah ma'alghoir, Jadi, saudari kandung ataupun saudari seayah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan (dari anak laki-laki) mendapat sisa yaitu setengah, jika ia bersama saudara laki-lakinya, maka sisanya yaitu setengah dibagi dua antara dia dan saudaranya, laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.
v. Adapun izdiham, ia terjadi dalam fardhu, dan ini terjadi pada tujuh orang ahli waris, mereka adalah: kakek, istri, sejumlah anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki), beberapa orang saudari kandung, beberapa orang saudari seayah, dan beberapa orang saudara seibu.
vi. Izdiham dalam Ashabah: ini terjadi pada mereka yang menjadi penyebab Ashabah, seperti anak laki-laki, saudara, paman dan semisalnya.
vii. Izdiham dalam Aul: ini akan terjadi pada ashabul furudh jika mereka saling berdesakan.

2) Hajb Hirman: yaitu Seseorang menggugurkan orang lain dari warisan secara keseluruhan, ini terjadi pada seluruh ahli waris kecuali enam: ayah, ibu, suami, istri, anak laki-laki dan anak perempuan.

- Beberapa kaidah dalam hajb hirman bissyahsi:
a) Semua ahli waris dari orang tua, menghalangi yang di atasnya jika mereka satu jenis, oleh karena itu ayah menghalangi kakek dan ibu menghalangi nenek, begitulah seterusnya.
b) Semua ahli waris dari keturunan laki-laki menghalangi yang dibawahnya, baik dari jenisnya maupun tidak, maka anak laki-laki menghalangi cucu laki-laki dan cucu perempuan, sedangkan keturunan wanita, dia tidak menghalangi kecuali yang berada dibawahnya jika mengambil bagian duapertiga, maka terhalang seluruh wanita yang berada dibawahnya, kecuali jika menjadi Ashabah bersama saudara laki-lakinya, maka mereka mendapat sisa dengan ashabah.
c) Semua ahli waris baik orang tua maupun keturunan, menghalangi seluruh hawasyi (arah samping), baik itu laki-laki maupun wanita, tanpa terkecuali. Adapun hawasyi: mereka adalah seluruh saudara laki-laki dan perempuan, baik saudara kandung ataupun sayah beserta keturunan mereka yang laki-laki, saudara seibu, paman, baik kandung ataupun seayah beserta keturunan laki-laki mereka.
d) Adapun wanita, baik itu orang tua ataupun keturunan, mereka tidaklah
e) menghalangi hawasyi kecuali keturunan perempuan, mereka adalah: anak perempuan, dan cucu perempuan (dari anak laki-laki), mereka menghalangi saudara seibu.
f) Hawasyi, antara sesama mereka, semua yang mendapat warisan dengan Ashabah maka dia akan menghalangi siapa saja yang berada dibawahnya, baik itu dari segi jalur, kedekatan ataupun kekuatan. Saudara seayah terhalang oleh saudara kandung dan saudari kandung yang menjadi Ashabah ma'alghoir. Putra saudara kandung terhalang oleh keberadaan saudara kandung, saudari kandung yang menjadi Ashabah ma'alghoir, saudara seayah, dan saudari seayah yang menjadi Ashabah ma'alghoir. Putra saudara seayah terhalang oleh empat kelompok diatas dan oleh putra saudara kandung.
g) Paman kandung terhalang oleh lima kelompok diatas dan oleh putra saudara seayah. Paman seayah terhalang oleh enam kelompok diatas dan oleh paman kandung. Putra paman kandung terhalang oleh tujuh kelompok diatas dan oleh paman seayah. Putra paman seayah terhalang oleh delapan kelompok diatas dan oleh putra paman kandung. Adapun saudara-saudara seibu mereka terhalang oleh keturunan serta orang tua laki-laki yang menjadi ahli waris.
h) Orang tua tidak ada yang menghalangi mereka kecuali orang tua juga, keturunanpun tidak bisa dihalangi kecuali oleh keturunan pula, sebagaimana yang telah lalu, sedangkan hawasyi akan terhalang oleh orang tua, keturunan dan hawasyi lainnya –sebagaimana yang telah lalu-.
i) Berdasarkan hajb hirman, ahli waris terbagi menjadi empat macam:
j) Pertama, bisa menghalangi namun tidak bisa dihalangi, mereka adalah kedua orang tua serta putra dan putri. Kedua, bisa dihalangi tapi tidak bisa menghalangi, mereka adalah: saudara-saudara seibu. Ketiga, tidak bisa menghalangi dan tidak bisa dihalangi, mereka adalah: suami dan istri. Keempat, adalah mereka yang bisa menahalangi dan bisa dihalangi, mereka adalah ahli waris selain yang telah disebutkan diatas.
k) Orang yang memerdekakan budak, baik laki-laki maupun wanita terhalang oleh semua Ashabah dari kerabat mayit.

D. Ta'sihul Masail (mencari bilangan kelipatan persekutuan terkecil/KPK)
a. Asli dari setiap permasalahan akan berbeda sesuai dengan perbedaan ahli waris, jika mereka seluruhnya hanya ashobah, maka asli masalahnya sesuai dengan jumlah setiap bagian dari mereka, untuk laki-laki seperti dua bagian wanita, seperti jika seseorang meninggal dan hanya meninggalkan satu putra dan satu putri, maka asli masalahnya dari tiga, untuk putra dua dan untuk putri satu.
b. Jika dalam permasalahan terdapat seorang ashabul furudh dan ashobah, maka asli masalahnya diambil dari ashabul furudh tersebut, seperti jika seseorang meninggal dan meninggalkan seorang istri dan satu putra, maka permasalahannya dari delapan, untuk istri seperdelapan, yaitu satu dan sisanya untuk putra sebagai ashobah.
c. Jika dalam permasalahan terdapat beberapa ashabul furudh saja, atau ada ashobah bersama mereka, maka dilihat antara ashabul furudh dengan nisab yang empat, yaitu (mumatsalah, mudaholah, muwafaqoh dan mubayanah) kemudian hasilnya dijadikan asli masalah, pada furudh seperti setengah, seperempat, seperenam, seperdelapan dan dua pertiga, jika terjadi mutamatsilah (dua yang serupa) maka cukuplah dengan salah satunya, jika mutadahilan (saling masuk) maka cukup dengan yang terbesar, jika mutawafiqon, maka perkecilan dari salah satunya dikalikan dengan yang lainnya, dan jika mutabayinan, maka keduanya dikalikan langsung, contohnya seperti berikut ini:
d. Mumatsalah (1/3 dan 1/3), mudaholah (1/6 dan 1/2), muwafaqoh (1/8 dan 1/6), mubayanah (2/3 dan 1/4) dst.
e. Asli masalah untuk ashabul furudh ada tujuh: dua, tiga, empat, enam, delapan, duabelas dan duapuluh empat.
f. Jika harta masih tersisa setelah ashabul furudh dan tidak terdapat ashobah, maka dia harus dibagikan kepada ashabul furudh, selain suami dan istri, contoh suami dan putri, permasalahan dari empat: untuk suami seperempat yaitu satu dan sisanya untuk putri sebagai fardhu dan rod.



E. Pembagian Harta Warisan
- Tarikah / Tirkah dapat kita artikan segala apa yang ditinggalkan mayit dari harta ataupun lainnya.
- Peninggalan akan dibagikan kepada ahli waris dengan menggunakan salah satu dari beberapa cara berikut ini:
a. Nisbah: Yaitu dengan cara menyandarkan bagian setiap waris kepadanya, lalu memberikan hasilnya dari peninggalan sesuai dengan hitungannya, jika seseorang meninggal dan meninggalkan (istri, ibu dan paman) lalu harta peninggalannya sebesar seratus duapuluh, maka asli masalahnya dari duabelas, untuk istri seperempat yaitu tiga, untuk ibu sepertiga yaitu empat dan sisanya untuk paman yaitu lima. Bagian istri dari asli masalah adalah seperempatnya, maka dia berhak atas seperempat peninggalan yaitu tigapuluh, bagian ibu sepertiganya, maka dia akan mendapat empatpuluh, bagian paman yang lima menurut asli masalah adalah seperempat dan seperenamnya, maka dia mendapat limapuluh.
b. Cara berikutnya adalah dengan cara mengalikan bagian setiap waris dengan peninggalan, kemudian hasilnya dibagi oleh asli masalah, maka akan keluarlah bagian yang akan didapatnya, dalam permasalahan lalu istri mendapat seperempat yaitu tiga, kalikanlah dengan peninggalan (120) hasilnya adalah (360) lalu bagilah dengan asli masalah (12) sehingga menjadikan bagiannya dari peninggalan adalah (30) begitulah seterusnya.
c. Berikutnya adalah dengan cara membagi peninggalan terhadap asli masalah, nilai yang dihasilkannya dikalikan oleh bagian setiap waris dalam permasalahan, hasil yang didapat adalah bagian yang akan diperoleh oleh setiap ahli waris.
d. Dalam permasalahan lalu, peninggalan (120) dibagi oleh asli masalah (12), maka akan diperoleh hasil (10), hasil ini dikalikan oleh bagian setiap waris, maka bagian ibu dalam masalah tersebut mendapat sepertiga yaitu empat, kita kalikan dengan sepuluh (10 x 4 = 40), demikianlah hasil yang didapatnya dari peninggalan, dst.
• Jika pada waktu pembagian waris ada kerabat mayit yang tidak mendapat waris namun dia hadir, ada juga anak-anak yatim, ataupun orang miskin, hendaklah mereka diberi dari harta peninggalan sebelum dibagi.
Allah berfirman
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik" ( QS.An-Nisaa: 8 )

F. Warisan Dzawil Arham
• Dzawil Arham adalah: Semua kerabat dekat yang bukan ahli waris, tidak dengan fardhu dan tidak pula dengan ashobah.
• Dzawil arham mendapat warisan dengan dua syarat: Tidak adanya ashabul furudh selain suami-istri, tidak adanya ashobah.
• Pembagian waris terhadap dzawil arham dilakukan dengan cara melihat kedudukan, setiap dari mereka menduduki posisi yang menjadi penghubungnya, kemudian harta warisan dibagi kepada para penghubung tersebut, maka bagian yang didapat oleh penghubung, itulah yang menjadi bagiannya, rinciannya sebagai berikut:
1. Cucu laki-laki dari anak perempuan, anak cucu perempuaan dari anak lak-laki, mereka menempati kedudukan ibu mereka.
2. Anak perempuan saudara dan cucu perempuan saudara (dari anak laki-laki), kedudukan mereka sama seperti kedudukan ayahnya, anak-anak saudara seibu kedudukannya sama dengan kedudukan saudara seibu, anak-anak saudara perempuan kedudukannya sama seperti kedudukan ibu mereka.
3. Saudara ibu baik yang laki-laki maupun wanita, dan bapaknya ibu,
4. kedudukannya sama seperti ibu.
5. Saudari ayah dan paman seibu menduduki kedudukan ayah.
6. Nenek yang gugur (yang bukan ahli waris) baik dari ayah maupun ibu, seperti ibu ayahnya ibu (neneknya ibu) dan ibu ayahnya kakek (neneknya ayah), yang pertama menduduki kedudukan nenek dari ibu, dan kedua menduduki kedudukan nenek dari ayah.
7. Kakek yang gugur ( yang bukan ahli waris), baik dari arah ayah ataupun ibu, seperti ayahnya ibu dan ayah ibunya ayah (ayahnya nenek), yang pertama menduduki kedudukan ibu dan kedua menduduki kedudukan nenek (ibunya ayah).
8. Semua yang berhubungan dengan yang meninggal melalui salah satu golongan ini, maka ia menduduki kedudukan orang yang menjadi penghubungnya, seperti bibinya saudari ayah dan bibinya saudari ibu dst.
• Jalur dzawil arham ada tiga: bunuwwah (keturunan), ubuwwah (orang tua) dan umumah (paman).


G. Warisan Untuk Janin
 Al-Haml: Adalah janin yang masih berada dalam perut ibunya.
 Al-Haml mendapat warisan apabila bersuara ketika lahir, dan dia telah ada dalam rahim ibunya ketika mayit meninggal walaupun berupa air mani, dan suaranya bisa berupa teriakan, atau bersin, atau menangis dan sebagainya.
Dari Abu Hurairah: bahwasanya Rasulullah bersabda:
"Tidak ada seorangpun keturunan Adam yang dilahirkan kecuali dia akan disentuh oleh setan pada saat dilahirkan, sehingga dia akan berteriak disebabkan oleh sentuhan setan tersebut, kecuali Maryam dan putranya"

 Barang siapa yang meninggalkan ahli waris dan di antaranya terdapat haml, maka ada dua keadaan bagi mereka :
1. Mereka menunggu sampai yang hamil melahirkan dan anaknya jelas jenis kelaminnya, barulah kemudian dilakukan pembagian warisan.
2. Atau bisa juga mereka meminta agar harta warisan dibagi sebelum dia dilahirkan, dalam keadaan seperti ini maka harta warisan disisakan untuk janin bagian terbesar dari warisan dua orang anak laki-laki atau dua orang anak perempuan, setelah dilahirkan dia mengambil bagiannya, sedangkan sisanya diberikan kepada yang berhak. Siapa saja yang tidak terhajb (terhalang) oleh janin, maka dia mengambil seluruh bagiannya, contohnya adalah nenek, dan siapa yang bagiannya bisa berkurang karena janin, maka dia mengambil bagian terkecil, contohnya seperti istri dan ibu, dan siapa yang gugur (tidak mendapat warisan) karenanya, maka dia tidak diberi sama sekali, contohnya seperti saudara.

H. Warisan Khuntsa Musykil (Banci)
• Khuntsa Musykil adalah yang mempunyai kelamin ganda (memiliki kelamin pria dan wanita)
• Khuntsa Musykil jika tidak jelas keadaannya, maka dia mendapat setengah bagian laki-laki dan setengah bagian wanita.
• Apabila Khuntsa tersebut bisa diharapkan untuk diketahui kejelasan kelaminnya, maka dia harus ditunggu sampai ada kejelasannya, jika mereka tidak mau menunggu dan meminta agar harta peninggalan dibagi, maka diberikan kepada dia dan ahli waris lainnya bagian terkecil, dan sisanya dibiarkan terlebih dahulu sampai terbukti keadaannya. Maka warisan dibagi dengan menganggap ia laki-laki, kemudian dibagi lagi dengan menganggap ia perempuan, lalu diberikan kepada Khuntsa maupun ahli waris lainnya bagian yang lebih sedikit, dan sisanya dibiarkan sampai kKhuntsa tersebut jelas keadaannya.
• Keadaan Khuntsa bisa diketahui dengan beberapa hal:
Kencing atau keluarnya air mani dari salah satu kelamin, jika kencing dari keduanya maka dilhat yang lebih dulu keluar, jika bersamaan, maka dilihat mana yang lebih banyak, kecondongannya terhadap lawan jenis, tumbuhnya jenggot, haid, hamil, tumbuhnya kedua payudara, dan keluarnya air susu dari payudaranya, dsb.

I. Warisan Untuk Mafqud
 Mafqud: Adalah orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.
 Mafqud memiliki dua keadaan: meninggal dan hidup, kedua keadaan tersebut mempunyai hukum tersendiri, yaitu hukum yang berkaitan dengan istrinya, hukum yang berkaitan dengan warisannya dari orang lain, warisan orang lain darinya, serta warisan bersama antara dia dengan ahli waris lainnya. jika tidak bisa dipastikan keadaannya apakah ia hidup atau mati, maka ditentukan batas waktu tertentu untuk untuk mencarinya, dan ketentuan waktu tersebut diserahkan kepada ijtihad hakim.
 Keadaan mafqud:
1. Jika mafqud sebagai orang yang mewarisi, apabila waktu menunggu yang telah ditentukan habis dan keadaannya belum diketahui, maka dia dihukumi telah meninggal, lalu harta pribadinya dibagikan, begitu pula dengan harta miliknya yang dihasilkan dari warisan orang lain terhadapnya, seluruhnya dibagikan kepada ahli warisnya yang ada ketika dia dihukumi meninggal, dan tidak diberikan kepada mereka yang telah meninggal pada masa penantian.
2. Jika mafqud menjadi salah seorang yang mendapat waris dan tidak ada orang lain padanya, maka harta tersebut untuk sementara dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, atau habis masa penantiannya, jika ada ada ahli waris lain bersamanya dan mereka menuntut agar harta tersebut dibagikan, hendaklah seluruhnya diperlakukan dengan mendapat bagian terkecil, sementara sisanya dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, jika hidup maka dia akan mengambil bagiannya dan jika meninggal maka harta yang ada dibagikan kepada mereka yang berhak.
Pertama kali hendaklah dibuat sebuah permasalahan yang dianggap padanya kalau mafqud hidup, kemudian dibuat sebuah permasalahan kedua dengan menganggapnya sebagai mayit, barang siapa yang mendapat waris pada dua keadaan tersebut dengan bagian berbeda, maka hendaklah diberikan kepadanya bagian terkecil, barang siapa yang pada keduanya mendapat bagian yang sama, maka diberikan haknya secara penuh, sedangkan dia yang hanya mendapat bagian pada salah satunya saja, maka dia tidak diberikan harta sedikitpun, lalu apa yang masih tersisa dari harta dibiarkan untuk sementara sampai ada kejelasan tentang keadaan mafqud.

J. Warisan Untuk Gharqa (Orang yang mati karena tenggelam), Hadma (mati karena tertimpa benda keras) dan yang semisalnya.
o Yang dimaksud disini: Sekelompok ahli waris yang meninggal bersama dalam sebuah kejadian tertentu, seperti tenggelam, kebakaran, peperangan, runtuhnya gedung, kecelakaan mobil, pesawat, kereta api dan semisalnya.
o Keadaan mereka: mereka memiliki lima keadaan:
1. Diketahui dengan pasti kalau salah seorang dari mereka meninggal belakangan, maka dia berhak untuk mendapat waris dari dia yang meninggal lebih dahulu, dan tidak sebaliknya.
2. Diketahui jika mereka seluruhnya meninggal berbarengan, maka mereka tidak akan saling mewarisi satu dengan lainnya.
3. Tidak diketahui bagaimana mereka meninggal, apakah meninggalnya satu persatu? Ataukah berbarengan? Maka mereka tidak akan saling mewarisi.
4. Diketahui jika meninggalnya mereka berurutan, akan tetapi tidak diketahui dengan pasti siapa yang meninggal terakhir diantara mereka, maka dalam keadaan inipun mereka tidak akan saling mewarisi.
5. Diketahui siapa yang terakhir meninggal, namun kemudian dilupakan, maka dalam keadaan inipun mereka tidak akan saling mewarisi.
Dalam empat keadaan terakhir mereka tidak saling mewarisi, dengan demikian harta dari setiap mereka hanya dibagikan kepada ahli warisnya yang masih hidup saja, tidak dengan mereka yang meninggal berbarengan.

K. Warisan Bagi Pembunuh.
Barang siapa yang membunuh langsung orang yang mewarisinya atau ikut secara langsung dalam pembunuhannya ataupun menjadi penyebabnya tanpa hak, maka dia tidak berhak untuk mendapat warisan darinya, pembunuhan dengan tidak hak : dia yang terjamin oleh beberapa ketentuan, diyat ataupun kafarat, seperti pembunuhan dengan disengaja dan yang mirip dengan disengaja ataupun kesalahan dalam membunuh, serta apa saja yang mirip dengan kesalahan mebunuh, seperti pembunuhan dengan sebab, pembunuhan anak kecil, orang tidur dan orang gila.
Orang yang membunuh dengan sengaja tidak berhak untuk mendapat waris, hikmah darinya adalah: keterburu-buruan untuk mendapat waris, dan siapa saja yang menyegerakan sesuatu sebelum saatnya tiba, maka dia akan dihukum dengan tidak mendapatkannya, sedangkan pembunuhan yang tidak sengaja, pelarangannya dari waris sebagai bentuk penutupan terhadap ancaman dan penjagaan terhadap penumpahan darah; agar tidak dijadikan penyebab atas ketamakan dalam menumpahkan darah.
o Jika pembunuhan dalam bentuk qisos, had ataupun pembelaan diri dan semisalnya, hal seperti ini tidak menghalangi seseorang dari mendapat waris.
o Orang murtad tidak mewarisi siapapun dan tidak pula mendapat waris, jika dia meninggal dalam keadaan murtad, maka seluruh harta miliknya diserahkan kepada baitul mal kaum muslimin.

L. Warisan Bagi Yang Berlainan Agama
• Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim; dikarenakan oleh perbedaan agama mereka, orang kafir itu seperti mayit dan mayit tidak bisa mewarisi.
• Orang-orang kafir sebagian mereka mewarisi sebagian lainnya, jika mereka satu agama, dan tidak saling mewarisi jika berlainan agama, karena agama ini bermacam-macam, yahudi merupakan sebuah agama, nasrani agama, majusi agama dan begitulah seterusnya.
• Orang-orang yahudi akan saling mewarisi sesama mereka, orang-orang nasrani dan majusipun demikian, sama halnya dengan agama-agama yang lainnya, sehingga seorang yahudi tidak mungkin akan mewarisi dari nasrani, begitu pula dengan agama lainnya.

M. Warisan Bagi Wanita
Islam telah memuliakan wanita, menghargainya serta memberinya bagian dari waris yang sesuai dengan keadaannya, sebagaimana berikut ini:
i. Terkadang dia mendapat bagian yang sama dengan pria, sebagaimana yang terjadi dengan saudara dan saudari satu ibu, ketika bergabung mereka akan menerima bagian yang sama.
ii. Terkadang dia mendapat bagian yang sama atau lebih sedikit dari pria, sebagaimana yang terjadi dengan ayah dan ibu, jika terdapat bersama keduanya putra mayit yang laki atau laki dan perempuan, maka setiap dari ayah dan ibu akan menerima seperenam, dan jika yang ada hanya keturunan mayit yang perempuan saja, maka untuk ibu seperenam dan untuk ayah seperenam beserta sisa harta ketika tidak ada ashobah.
iii. Terkadang wanitapun akan mendapat setengah dari bagian laki-laki, dan inilah yang lebih umum.
Penyebabnya: bahwa Islam telah mewajibkan kepada laki-laki beberapa beban dan kewajiban dari hartanya, pada saat hal tersebut tidak diharuskan terhadap wanita, seperti pembayaran mahar (mas kawin), menyediakan rumah, memberi nafkah kepada istri dan anak, membayar diyat, sementara wanita tidak diwajibkan bagi mereka untuk memberi nafkah, tidak terhadap dirinya dan tidak pula terhadap anak-anaknya.
Oleh sebab itu semua, Islam telah memuliakan wanita ketika meniadakan seluruh beban tersebut darinya, dan membebankannya kepada laki-laki, kemudian memberikan setengah bagian dari apa yang didapat oleh laki-laki, sehingga hartanya semakin bertambah, sementara harta laki-laki akan berkurang oleh nafkah terhadap dirinya, istrinya dan juga anak-anaknya, inilah dia bentuk keadilan diantara dua jenis kelamin yang berbeda, karena sesungguhnya Rob kalian tidak akan pernah berbuat kedzoliman terhadap hamba-Nya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
1- Allah berfirman:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkankan sebagian dari harta mereka" ( An- Nisaa: 34 )

2- Firman Allah:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran" ( QS. An-Nahl: 90 )



Penutup
Demikianlah makalah atau ikhtisar ini dapat penulis sampaikan, semoga bermanfaat bagi seluruh pembaca makalah ini, khususnya terhadap penulis. Usaha untuk mempelajari hukum waris Islam seharusnya tidak hanya karena tuntutan SKS di Sekolah Tinggi ini saja, tapi ini merupakan kewajiban setiap mukallaf untuk mempelajari ilmu ini. Semangat mempelajari ilmu-ilmu Islam harus diapresiasi oleh setiap kalangan, baik kalangan akademisi, lingkungan sekolah dan lingkungan rumah tangga. Usaha maksimal dalam mensosialisasikan ilmu waris ke tengah-tengah masyarakat menjadi kewajiban semua kalangan, sehingga tercipta iklim belajar dan mengajar yang produktif di tengah-tengah masyarakat.
Semoga Allah memberikan kemudahan dalam mempelajari dan memahami ilmu ini, sehingga bermanfaat bagi penulis dan masyarakat luas nantinya. Amin Ya Rabbal 'Alamin.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti dkk (Ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988.
At Tuwaijry, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Ilmu Faraidh, Madinah : Maktab Dakwah, 2007.
Khairul Umam, Dian, Fiqih Mawaris, Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Zahari, Ahmad, Hukum Kewarisan Islam, Pontianak : FH Untan Press, 2008.


Read more...

UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN ZAKAT

UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN ZAKAT

( UU NO. 38 TAHUN 1999 )

Pendahuluan

Zakat merupakan salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri.

Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, tapi Indonesia tidak mampu mengembangkan potensi-potensi syar’i dalam sistem perundang-undangannya. Sistem kapitalis tetap menjadi prioritas dan rujukan utama bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi di Indonesia. Kapitalis yang cenderung mengutamakan dan menggunakan sistem interest / bunga (yang dianggap sebagian ulama adalah riba’) dalam pengelolaan perbankan dan sistem ekonomi, tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia yang masih terjajah dalam kemiskinan ideologi dan ketergantungan terhadap asing dan terus menerus hidup dalam sebuah lingkaran setan yang bermuara pada keuntungan beberapa golongan yang selalu mengedepankan dan memuja-muja sistem kapitalis yang hanya concern terhadap kelompok penguasa modal belaka.

Zakat seharusnya merupakan salah satu sistem pembangunan ekonomi kerakyatan dan mampu mengentaskan kemiskinan serta mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera seperti pada masa awal perkembangan Islam. Tapi yang terjadi pada masyarakat kita adalah zakat hanya merupakan hanya sebuah ritual belaka, jauh dari tujuan dan harapan dari zakat itu sendiri.

Masyarakat muslim Indonesia berharap banyak ketika UU No. 38 Tahun 1999 ditetapkan, dengan harapan agar efektifitas zakat dari pengelolaan dan pendistribusian dapat dioptimalkan. Zakat yang merupakan norma-norma agama dikuatkan dengan undang-undang positif, dengan konsekuensi bahwa mengeluarkan zakat bagi setiap muslim tidak lagi semata sebagai kewajiban agama tetapi juga merupakan kewajiban sebagai warga negara untuk melaksanakan undang-undang.

Respons pemerintah terhadap permasalahan zakat ini seharusnya mendapat apresiasi dari seluruh kalangan. Sehingga semangat agar undang-undang di negara ini menggunakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama, atau setidaknya nilai-nilai Islam terdapat dalam setiap undang-undang yang berlaku di negara ini dapat terwujud dan menjadi sebuah kenyataan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Maksud Dan Tujuan

Sebagaimana kita ketahui bersama, problem terbesar dari pengelolaan zakat adalah masalah pengelolaan, pendayagunaan dan pendistribusian, maka tujuan dari undang-undang ini dikeluarkan adalah :

1. Meningkatkan pelayananan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama

2. Meningkatkan fungsi dan peranan lembaga keagamaan ( lembaga zakat ) dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna dari zakat.

Zakat sebagai salah satu instrument yang dapat menjadi savety valve (katup pengaman) dalam penanggulangan kemiskinan ketika semua mekanisme ekonomi berjalan buntu. Penanggulangan kemiskinan idealnya bukan mengandalkan dana zakat saja, tapi diharapkan dengan pengelolaan secara professional dan payung hukum yang lebih jelas dari pemerintah lewat undang-undang ini dapat menimbulkan efek positif bagi mustahiq sehingga dapat merubah kehidupan ekonomi mereka ke arah yang lebih baik dengan distribusi yang tepat sasaran dan tepat guna.

Tujuan dan semangat dari UU ini seharusnya menjadi motifasi bagi seluruh umat Islam untuk lebih pro-aktif dalam proses pengawasan (baik ditingkat pengumpulan dan pendistribusian) baik pengawasan itu dari internal lembaga pengelola dengan transparansi pengelolaan serta dana yang dikumpulkan dan laporan yang berkala kepada masyarakat, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dapat meningkat yang tentunya berimplikasi terhadap nilai pengumpulan dana yang lebih besar, dan diharapkan dengan pengumpulan dana yang optimal dapat meningkatkan dan mewujudkan semangat dari UU ini serta harapan agar zakat dapat mengangkat strata ekonomi tingkat bawah dapat terwujud.

Urgensi dari Lembaga Amil Zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang harus dijadikan kekuatan dalam pengembangan ekonomi islam khususnya pada tingkatan masyarakat kecil. Zakat sebagai sebuah instrument pengembangan kekuatan Islam seharusnya dibarengi dengan kekuatan lembaga-lembaga yang terkait dengan zakat, baik itu dalam proses pengumpulan sampai pada tingkat pendistribusian.

Seperti yang kita ketahui bersama, sebelum adanya UU pengelolaan zakat, lembaga zakat dan segala peraturannya hanya diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang pembentukan BAZIS pada tingkat desa dan kecamatan. Tentunya dengan dipositifkannya nilai-nilai normatif memberi angin segar bagi masyarakat Islam dengan harapan zakat dapat lebih diefektifkan baik itu dari pengambilan dan pendistribusiannya.

Efektifitas dari pengambilan dan pendistribusian dapat terwujud dengan adanya lembaga professional yang memberikan apresiasi secara maksimal (baik itu pada level nasional sampai pada level desa). Lewat UU No. 38 Tahun 1999, Badan Amil Zakatlah yang memiliki peran dan tanggung jawab itu. Sesuai dengan UU No. 38 Tahun 1999 pasal 8 menyebutkan bahwa tugas utama dari Badan Amil Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat dilakukan secara skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat pula dimanfaaatkan untuk usaha yang produktif sesuai dengan pasal 16 ayat 2.

Sebelum adanya undang-undang yang mempositifkan nilai-nilai normatif ini, sebagian besar masyarakat menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahiq. Kelemahan dari metode atau system pengumpulan zakat seperti ini adalah sentralisasi zakat pada satu kelompok masyarakat dan mengabaikan mustahiq-mustahiq lain yang mempunyai hak yang sama. Ada beberapa hal yang melandasi atau beberapa factor yang menjadikan Lembaga atau Badan zakat ini sangat diperlukan ( Urgensi Lembaga / Badan Zakat ) antara lain :

1. Nurani kebanyakan orang telah mengeras, akibat cinta kepada dunia yang terlalu berlebihan, maka bila hak fakir miskin digantungkan kepada orang semacam itu, kesejahteraan tidak akan terjamin.

2. Kehormatan kaum miskin dapat terpelihara dan terhindar dari cacian pemberi

3. Distribusinya dapat lebih tertib dan menyeluruh

4. Zakat juga sebagai salah satu instrument untuk mengisi bendahara negara.

Strukturisasi Badan Amil Zakat sesuai dengan amanah undang-undang secara nasional, pada tingkat nasional dipilih langsung oleh presiden, pada tingkat provinsi ditetapkan oleh gubernur, pada tingkat kabupaten / kota dipilih oleh bupati atau walikota, dan pada tingkat kecamatan yang dipilih langsung oleh camat. Strukturisasi ini seharusnya menjadikan Badan Amil Zakat menjelma menjadi lembaga professional yang mengedepankan kesejahteraan umat.

Profesionalitas lembaga juga harus diimbangi dengan integritas tinggi para pengurusnya dalam mengemban amanah agama. Nilai normatif yang digabungkan dengan hukum positif berdampak langsung kepada lembaga ini. Pengurus Badan Amil Zakat yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam pencatatan dapat dijerat hukuman (pasal 21 ayat1), dan bagi pengurus yang melakukan kejahatan lain akan dihukum sesuai dengan KUHP dan peraturan lain sesuai dengan kejahatannya (ayat 3).

Perangkat hukum dalam pasal ini hanya menjerat pengurus Badan Amil Zakat dan tidak ada satu ayat pun yang mengancam terhadap orang yang menolak membayar zakat. Muzakki dalam mengeluarkan zakatnya didasarkan pada kesadaran hukum, bukan karena ancaman pelanggaran. Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin kesadaran itu timbul dan mungkin pula tidak. Artinya, kesadaran zakat sangat menentukan orang mengeluarkan zakat atau tidak.

Pengumpulan dan Sumber Zakat

Pengumpulan sumber zakat adalah lewat zakat mal dan zakat fitrah. Al-Qur'an dan Hadits telah memberikan nash-nash secara tafshily tentang sumber-sumber zakat. Sementara sumber-sumber ijmaly memungkinkan kita untuk melakukan kajian dan pengembangan terhadap objek dan sumber zakat.

Dalam UU No. 38 Tahun 1999 disebutkan secara eksplisit bahwa sumber-sumber pengumpulan zakat meliputi beberapa hal yang disebutkan pada pasal 11 adalah sebagai salah satu bentuk pengembangan terhadap sumber dan objek zakat, yaitu:

a. emas, perak, dan uang

b. perdagangan dan perusahaan;

c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;

d. hasil pertambangan;

e. hasil peternakan;

f. hasil pendapatan dan jasa;

g. rikaz

Menurut Sadono Soekirno ada beberapa sumber-sumber dan objek Zakat yang potensial dari sektor-sektor ekonomi modern, antara lain :

  1. Zakat profesi
  2. Zakat perusahaan
  3. Zakat surat-surat berharga
  4. Zakat perdagangan mata uang
  5. Zakat investasi
  6. Zakat asuransi takafful, etc.

Perekonomian modern sebagai instrument penting dalam pengumpulan zakat atau sebagai sumber dari pengumpulan zakat dapat memberikan kontribusi munculnya sumber-sumber zakat secara lebih luas. Dengan pengumpulan dan pengelolaan yang benar, maka harapan bahwa zakat sebagai penopang perekonomian rakyat sangat mungkin menjadi sebuah realitas.

Untuk optimalisasi kinerja serta profesionalisasi dari Badan Amil Zakat dalam rangka mengumpulkan dana zakat dari muzakki, Badan Amil Zakat dapat bekerja sama dengan lembaga keuangan atau perbankan, sehingga memudahkan muzakki untuk berzakat.

Selain pengawasan internal dari Badan Amil Zakat itu sendiri, diperlukan lembaga-lembaga eksternal dalam proses pengawasan baik itu pada tingkat pengumpulan dan pendistribusian zakat. Sehingga transparansi dan akuntabilitas dari Badan Amil Zakat dapat terwujud, dan menjadikan badan ini sebagai konsumsi public dan lebih mudah untuk diakses oleh seluruh pihak.

Pendistribusian Zakat

Pendistribusian dari dana zakat (baik itu dari sumber zakat mal/fitrah, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, kafarat) harus dikelola dengan baik, fungsi dari zakat sebagai satu nilai ibadah dan sebagai dana potensial harus dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dalam mengatasi masalah kemiskinan di tengah-tengah masyarakat. Kesadaran masyarakat yang begitu tinggi ketika mengeluarkan zakat fitrah tidak berbanding lurus ketika mereka harus mengeluarkan zakat maal, merupakan masalah yang harus dicermati oleh lembaga zakat dan instansi pemerintah untuk terus memberikan penyuluhan tentang pentingnya zakat terhadap peningkatan ekonomi masyarakat lemah. Usaha yang terus menerus tentunya akan berdampak kepada semangat dari muzakki untuk mengeluarkan zakatnya (tidak hanya zakat fitrah tapi juga zakat maal), sehingga dana zakat yang besar dapat berimplikasi terhadap distribusi zakat yang produktif dan tepat guna.

Menurut Syeihul Hadi Pramono, dalam perspektif pendayagunaan dana zakat secara produktif dapat dikelompokkan dalam dua kelompok distribusi :

a. Produktif tradisional, yaitu zakat yang diberikan dalam bentuk produktif seperti kambing, sapi, mesin jahit dan lain-lain. Model zakat seperti ini dapat mendorong serta menciptakan usaha baru bagi para mustahiq dan membuka lapangan kerja baru.

b. Produktif kreatif, yaitu pendayagunaan zakat diwujudkan dalam bentuk modal baik untuk membangun proyek sosial maupun menambah modal seorang pedagang atau usaha kecil.

Produktifitas dalam aspek pendistribusian telah dicontohkan Rasulullah SAW, beliau pernah memberikan zakat kepada seorang fakir sebanyak 2 dirham, satu dirham untuk makan (konsumtif) dan satu dirham digunakan untuk membeli kapak sebagai alat untuk bekerja, sehingga mustahiq dalam kasus ini fakir tersebut tidak tergantung pada orang lain dan merubah status sosialnya. Efektifitas dari distribusi zakat produktif sangat tergantung kepada pengelola zakat (dalam hal ini adalah Badan Amil Zakat) dan tentunya dibutuhkan suatu pengorganisasian zakat agar pelaksanaanya dapat terkoordinir dengan baik.

Model dan mekanisme pendayagunaan zakat produktif seharusnya dikelola secara professional sebagai badan usaha ekonomi yang membantu dalam permodalan dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi masyarakat. Dari penelitian di lapangan diketahui bahwa pada umumnya penggunaan zakat harta adalah sebagai berikut :

1. Untuk meringankan penderitaan masyarakat, biasanya zakat diberikan kepada fakir miskin atau golongan lain yang sedang mengalami penderitaan

2. Untuk pembangunan dan usaha-usaha produktif, misalnya rehabilitasi tempat ibadah, madrasah, dan panti asuhan. Dan dibeberapa daerah, zakat juga dipergunakan untuk usaha pertanian, peternakan, koperasi, dan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah Pekalongan misalnya menerima dana zakat dari masyarakat dan dipergunakan untuk usaha pertanian

3. Untuk memperluas lapangan kerja, oleh beberapa panti asuhan di Jawa Tengah, zakat dipergunakan untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi fakir miskin, dengan memberikan kepada mereka beberapa alat usaha yang mereka butuhkan.

Produktifitas dari pendistribusian zakat seharusnya merupakan salah satu langkah awal menuju perbahan paradigma zakat yang selama ini hanya bersifat konsumtif belaka. Pendayagunaan zakat seperti itu diharapkan dapat memenuhi fungsinya sebagai lembaga ibadah dan sekaligus sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi masalah sosial.

Zakat dan Pajak

Double tax merupakan sebuah ketakutan bagi kelompok muslim yang merupakan objek zakat sekaligus objek pajak. Namun setelah dikeluarkannya UU No.38 Tahun 1999 pasal 14 ayat 3 yang berbunyi : "Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku'. Substansi pasal ini merupakan upaya maksimal untuk mengakomodasi keinginan umat muslim untuk mendahulukan kewajiban zakat daripada pajak, sekaligus zakat dapat mengurangi biaya pembayaran pajak, sehingga double tax (pungutan ganda) dapat diartikan mendahulukan zakat dan kemudian pajak. Dua dimensi yang mempunyai tujuan dan maksud yang hamper sama ini diharapkan dapat mewujudkan peningkatan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat lemah.


Penutup

Semangat terhadap nilai-nilai Islam yang dimuat dalam hukum-hukum positif seharusnya mendapat apresiasi oleh seluruh masyarakat muslim Indonesia. Apresiasi tersebut dapat dilakukan dengan menjadi muzakki yang aktif, tidak hanya dalam proses aktifitasnya sebagai seorang muzakki yang mengeluarkan hartanya, tapi apresiasi tersebut juga dapat diwujudkan dengan ikut berperan dalam pengawasan secara langsung atau tidak langsung terhadap pengelola zakat, yang dalam hal ini adalah Badan Amil Zakat menuju badan yang professional.


Daftar Pustaka

Maksum, Muhammad, UU Pengelolaan Zakat ( UU No.38 Tahun 1999), Makalah disampaikan pada “Masa’ilul Fiqiyah” UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.

Chotimah, Rohmawati, Zakat dan Kegiatan Ekonomi, Makalah disampaikan pada “Masa’ilul Fiqiyah” UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.

Muslihah, Ica, Zakat Produktif dan Konsumtif, Makalah disampaikan pada “Masa’ilul Fiqiyah” UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.


UU No. 38 Tahun 1999

Tentang Pengelolaan Zakat

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.

2. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

3. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.

4. Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.

5. Agama adalah agama Islam.

6. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang agama.

Pasal 2

Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.

Pasal 3

Pemerintahan berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan amil zakat.

Pasal 4

Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 5

Pengelolaan zakat bertujuan:

1. meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama;

2. meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;

3. meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

Pasal 6

1. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.

2. Pembentukan badan amil zakat:

a. nasional oleh Presiden atas usul Menteri;

b. daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama propinsi;

c. daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;

d. kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecematan.

3. Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.

4. Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.

5. Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan unsur pelaksana.

Pasal 7

Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah. Lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 8

Badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.

Pasal 9

Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.

Pasal 11

1. Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah.

2. Harta yang dikenai zakat adalah:

a. emas,perak, dan uang;

b. perdagangan dan perusahaan;

c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;

d. hasil pertambangan;

e. hasil peternakan;

f. hasil pendapatan dan jasa;

g. rikaz

3. Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.

Pasal 12

1. Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzzaki atas dasar pemberitahuan muzzaki.

2. Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzzaki yang berada di bank atas permintaan muzzaki.

Pasal 13

Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat.

Pasal 14

1. Muzzaki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agama.

2. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) muzzaki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzzaki untuk menghitungnya.

3. Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat ata lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.

Pasal 16

1. Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.

2. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.

3. Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.

Pasal 17

Hasil penerimaan infaq, shadaqa, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif .

Pasal 18

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan oleh unsur pengawas sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (5).

2. Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.

3. Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat.

4. Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pengawas dapat emminta bantuan akuntan publik.

Pasal 19

Badan amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 20

Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.

Pasal 21

1. Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sabagimana dimaksudkan dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurunngan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyanya Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

2. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

3. Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22

Dalam hal muzzaki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul zakat pada perwakilan Repulik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat Nasional.

Pasal 23

Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat.

Pasal 24

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan zakat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

2. Selambat-lambatnya dua tahn sejak diundangkannya undang-undang ini, setiap organisasi pengelola zakat yang telah ada wajib menyesuaikan menurut ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 25

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Read more...

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP