Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Wednesday, July 8, 2009

KONSEP ISLAM TENTANG PERNIKAHAN

A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang universal yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona dan memancarkan nilai dan cahaya Islam di dalamnya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar'i tersebut sepasang suami isteri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak dan secara fitrah menikah akan memberikan ketenangan (ithmi’nân/thuma’nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt, Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia. Dan hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin hidup bahagia, sakînah mawaddah warahmah.

B. Anjuran Untuk Menikah

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nuur : 32)
Ayat di atas menganjurkan kepada umat Islam untuk menikah, dan Allah SWT menegaskan bahwa menikah bukanlah sebagai penyebab sebuah kemiskinan. Menikah adalah pembuka dari pintu-pintu rizki dan membaawa berkah dan rahmah dari Allah. Dengan menikah, Allah akan menambah rizki dan karuniaNya terhadap hambanya yang yakin terhadap Ayat-ayat Allah.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim].
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam.


C. Islam dan Pernikahan
Islam lahir sebagai sebuah rahmah bagi alam semesta, khususnya umat yang meyakini Islam. Konsepsi Islam terhadap pernikahan telah mendobrak paradigma terhadap pernikahan itu sendiri. Islam memandang pernikahan adalah hak individu, bukan merupakan hak prerogative dari orang tua semata melainkan seorang anak sebagai seorang individu yang bebas merdeka untuk memilih kehendaknya sendiri. Kedudukan orang tua hanya sebatas untuk menjaga, mendidik dan merawat anak-anaknya sampai mereka dewasa dan memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan jalannya sendiri. Konsep Islam mengenai pernikahan didasari oleh kehendak dan persetujuan bersama kedua belah pihak yang hendak menikah dan bila kedua pasangan telah bersepakat maka siapapun tidak boleh menghalangi kehendak mereka termasuk wali dan orang tua. Penolakan orang tua atau wali merupakan sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai agama sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah Al Baqarah ayat 232 “… maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya”. Ayat ini yang menjadi landasan para fuqaha untuk melarang perkawinan paksa bahkan menjadi landasan bahwa negara berkewajiban untuk mengambil alih menjadi wali nikah dengan menunjuk wali hakim bila wali nasabnya enggan atau menolak menikahkan mereka. Dalam konsepsi Islam menikahkan adalah kewajiban bagi wali bukan hak jadi bila wali nasab menolak maka kewajiban itu harus diambil alih oleh negara. Penolakan wali nasab hanya bisa diterima apabila alasannya sah menurut syari’at Islam diantaranya, calonnya gila, tidak beragama islam, diketahui masyarakat buruk perangainya (suka melanggar pantangan agama seperti mabuk-mabukkan, judi, berzina dll), dan masih dibawah umur. Di luar alasan itu maka penolakan wali nasab tidak bisa diterima dan anak juga tidak dipandang durhaka kepada orang tua karena hal ini sebab dalam islam perkawinan itu hukumnya adalah wajib sehingga penolakan orang tua untuk menikahkan anaknya justru yang dianggap sebagai perlawanan terhadap hukum agama sehingga dianggap melakukan dosa.

D. Tujuan Pernikahan
a. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi ( Fitrah Manusia )
Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
b. Untuk Membentengi Martabat Manusia Dari Perbuatan Kotor Dan Keji
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].

c. Rumah Tangga Yang Islami
Tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami. Rumah tangga yang islami adalah rumah tangga yang berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam secara total (kaffah)
d. Karena Menikah itu Ibadah
Sebagai seorang manusia yang sadar betul kehambaanya, manusia harus mengabdi dan memberikan hidupnya hanya kepada Allah dan selalu menghabiskan hari-harinya dengan ibadah kepada Allah semata. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!" Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya: "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab (yang artinya): "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa?" Jawab para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi (yang artinya): "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !". [Hadits Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih].
e. Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
"Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" [An-Nahl : 72].

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
E. Pasangan Ideal Dalam Islam
Tentunya dalam proses pembentukan keluarga yang sesuai syariat maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal dalam usaha membina rumah tangga yang Islami, banyak kreteria yang harus ditlewati dalam mencari pasangan hidup, dan penulis akan menyampaikan beberapa kreteria yang sesuai dengan anjuran al-Qur’an dan Sunnah, yaitu:
 Kafa'ah
Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya.
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". [Al-Hujuraat : 13].

Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". [HR. Bukhari Muslim].
 Shalih dan Shalihah
Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah:
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. [QS An-Nisaa : 34].

Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
o Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul,
o Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya
o Tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah
o Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram,
o Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan,
o Ta'at kepada suami,
o dan lain sebagainya.

F. Tata Cara Perkawinan dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah, secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya:
a) Peminangan
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran[149] atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. ( QS. Al Baqarah : 235 )

Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain [Muttafaq 'alaihi]. Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Darimi].
b) Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
 Suka sama suka dari kedua calon mempelai.
 Ijab Qabul.
 Mahar.
 Wali.
 Saksi-saksi.
c) Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". [Hadits Shahih Riwayat Muslim dan Baihaqi dari Abu Hurairah].

H. PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM ISLAM
Islam melarang beberapa bentuk pernikahan, Insya Allah penulis akan menyampaikan beberapa pernikahan yang dilarang dalam ajaran agama Islam :

a. Nikah Mut’ah
Yang dimaksud dengan nikah mut’ah adalah nikah yang diniatkan hanya untuk bersenag-bersenang dan hanya untuk jangka waktu tertentu saja, mungkin dapat diistilahkan dengan ungkapan nikah kontrak.
Pada awalnya nikah ini diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, karena pada saat itu kaum muslimin sedang mengalami peperangan yang berkepanjangan dan jauh dari isteri mereka, pertimbangannya agar kaum muslimin yang berada di medan peperangan terhindar dari bahaya dan kehinaan zina.
Setelah itu Rasulullah SAW melarang pernikahan jenis ini, karena dikhawatirkan terdapat unsure pelecehan terhadap wanita, dan tidak sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri.
b. Nikah Muhallil
Nikah Muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seseorang laki-laki terhadap perempuan yang telah di talak tiga, dengan maksud agar mantan suaminya yang mentalak isterinya tadi dapat menikahinya lagi.
Nikah seperti ini dilarang oleh agama, bahkan dilaknak oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda : “Dari Ibnu Mas’ud ia berkata : Rasulullah SAW mengutuk laki-laki yang Muhallil dan Muhallal Lahu (HR.Tarmidzi dan Nasai).
c. Pernikahan Silang ( Beda Agama )
Pernikahan silang adalah pernikahan lintas agama atau pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda keyakinan dan berbeda agama. Dan Islam melarang pernikahan silang ini seperti yang disebutkan dalam firman Allah :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(QS. Al Baqarah : 221)

d. Pernikahan Khadan
Khadan mempunyai arti gundik atau piaraan, baik laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai gundiknya atau sebaliknya. Pernikahan Khadan merupakan tradisi jahiliyah dan di dunia modern istilah khadan berganti dengan istilah “kumpul kebo”. Pernikahan atau cara yang seperti ini dilarang oleh agama dan melecehkan nilai-nilai dari rumah tangga yang sacral dan suci.

PENUTUP
Allah berfirman:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". [QS. Ar Ruum : 21].
Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama dalam usaha mencar rumah tangga yang ideal. Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan.

Read more...

KONSEP TASAWUF DALAM ISLAM

A. PENDAHULUAN

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi. Dan sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan dikatakan mengalami kekeringan spiritual sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat ampuh untuk mengobati kehampaan tersebut.

Dalam islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segi tiga yang sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqodi yang termasuk didalamnya iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan takdirNya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan. Di dalam aspek kejiwaan inilah terkandung banyak sekali maqam atau sifat-sifat yang nantinya akan disebut dengan istilah tasawuf atau hakikat

Secara singkat dapat dikatakan bahwa prinsip dasar syariat Islam adalah beramal untuk dunia (‘amal li ad-dunyâ) dan beramal untuk akhirat . Kedua prinsip ini terekam dalam firman Allah, yang berbunyi :

“Dan carilah pada apa yang telah dinugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu meluapakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaiamanaAllah telah bebuta biak kepadamu” [QS. Al-Qashashash: 77].

Ada pendapat yang menyatakan bahwa istilah tasawuf diadopsi dari kata shafâ` (bersih) dan pelaku tasawuf disebut shufî artinya ialah orang hatinya bersih dari kotoran atau penyakit hati. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuffah. Yaitu, sebuah serambi sederhana yang terbuat dari tanah dengan bangunan sedikit lebih tinggi daripada tanah. Serambi itu terletak di sebelah timur masjid Nabi Muhammad di Madinah.

Perbedaan tantang akar kata tasawuf tidak mempengaruhi esensi dari ajaran tasawuf. Jadi, perbedaan ini hanya menyangkut wilayah bahasa saja. Dan apapun akar katanya, tetap saja tasawuf tetap menunjuk pada makna orang-oang yang tertarik pada pengetahuan esetoris, yang menyelami dan menukik jauh ke dalam inti agama, yang berupaya mencari jalan dan praktik-paktik amalan yang dapat menghantarkannya pada kesadaran tercerahkan dan pencerahan hati.

B. ZUHUD

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah ( sesuatu selain Allah ). Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”.

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr, al-ridla, al-tawakkul, dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.

Menurut hemat penulis, zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka sesuai dengan firman Allah yang berbunyi :

Artinya : “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien[1458] dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. bagi mereka pahala dan cahaya mereka. dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka Itulah penghuni-penghuni neraka”. (QS.Al-hadid :19)

C. PERALIHAN DARI ZUHUD KE TASAWUF

Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya.

Setidaknya ada enam prinsip dasar dalam tasawuf. Pertama, takwa kepada Allah dalam segala kondisi , bersikap absolut dan selau berada di jalan kebenaran. Kedua, mengikuti sunnah nabi, baik ucapan dan tindakannya, dan berakhlak baik. Ketiga, sabar dan tawakkal. Keempat, ridha dengan apa yang diberikan Allah, baik sedikit maupun banyak. Kelima, selalu kembali pada Allah baik dalam keadaan senang maupun susah. Keenam, berpijak pada Al-Quran, sunnah, dan pengetahuan-pengetahuan yang ada pada kalangan khawwâs (para wali).

Keenam prinsip ini bisa diringkas menjadi dua prinsip. Yaitu prinsip mulâzamah dan mukhâlafah. Artinya selalu ingat pada Allah dan mengenyampingkan hal-hal yang bisa membuat kita lalai mengingat-Nya

Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :

* Aliran Madinah

Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.). Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.

* Aliran Bashrah

Pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam nahwu, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung pada aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan.

Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama-tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri. Para sufi di Bashrah terkenal berlebih-lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya.

* Aliran Kufah

Aliran Kufah berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadits. Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.

Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)

* Aliran Mesir

Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.

Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.

Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan.

Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’) [21]. Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

D. Menabur Filsafat dalam Tasawuf Islam

Perjalanan tasawuf dalam sejarah Islam klasik pada akhirnya memang ditakdirkan harus bersinggungan dengan filsafat Yunani yang tengah menghegemoni. Tasawuf mulai tercemar nilai-nilai filsafat sebagaimana tercium dari kerancuan konsep inkarnasi al-Hallaj. Fenomena ini, bagi penulis, karena melihat bahwa persinggungan di antara keduanya menjadikan kebudayaan Islam perlahan-lahan menyesuaikan ritme yang sedang dimainkan kebudayaan Yunani yang terwakili oleh filsafatnya. Betatapun, kebudayaan Islam merasa inferior ketika berhadapan dengan superioritas filasafat Yunani. Dunia Islam harus melahirkan disiplin ilmu kalam demi mereduksi serangan gencar filsafat yang diletupkan oleh kaum Mu`tazilah.

Melihat realitas yang mulai lari dari konsep awal tasawuf yang meyakini bahwa al-insan al-kamil adalah Nabi Muhammad SAW, bukan mengadopsi konsepsi-konsepsi lain di luar Islam, maka banyak tokoh-tokoh teosof muslim yang mencoba mengembalikan tasawuf agar tetap konsisten dengan blue print-nya.

Mayoritas ulama tasawuf sepakat bahwa kualitas hasil akhir apapun akan bergerak sebanding dengan kualitas permulaannya sebagaimana bangunan pun tidak akan mampu berdiri tanpa adanya landasan-landasan yang menyangganya. Dan kualitas permulaan suatu hal sesungguhnya terkait erat dengan ketulusan motivasi dan konsistensi dalam menerapkan nilai-nilai profetik.

Dalam benak penulis, inilah wujud dari aliran tasawuf yang betul-betul moderat karena dengan tangan terbuka berani mengadapsi aliran-aliran filsafat yang tengah meruyak dalam masyarakat. Ada filsafat India, Yunani dan Kristen yang kesemuanya dilarutkan demi mencari sarana yang ideal guna mencapai kebenaran.

Faktor-faktor yang banyak berperan membantu eksistensi tasawuf aliran ini adalah konsep emanasi sebagai representasi dari filsafat Neo-Platonisme, filsafat Hermeticism, Rasa'il Ikhwan al-Shafa, Filsafat Timur (Persia dan India) dan Syi`ah Isma'iliah Bathiniah.

E. Spiritualisme, Tasawuf dan Dunia Modern

Islam adalah agama universal. Islam mempunyai nilai-nilai transendental-universal yang merasuk dalam seluruh aspek kemanusiaan. Nilai eksoterisnya terlihat dalam syari’at Islam, dan spiritual sebagai nilai isoterisnya. Kedua hal ini harus selalu berjalan seiring, ibarat manusia, ia dapat dikatakan hidup bila jasad dan ruh menjadi satu yang integral dan tak terpisah.

Dalam perjalanan sejarah, manusia sering meloncat dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain_terlalu bersifat duniawi atau terlalu bersifat ukhrawi_. Keduanya bukanlah pilihan yang tepat, karena keduanya berimplikasi negatif, pemiskinan salah satu dari dua aspek tersebut, yang disebabkan dari pembagian yang tidak proporsional antara keduanya.

Pada zaman yang sering disebut modern ini, obsesi keduniaan manusia nampak lebih dominan mewarnai ketimbang spiritual. Kemajuan teknologi, science dan segala hal yang bersifat duniawi, jarang disertai dengan nilai spiritual. Jiwa pun menjadi kering dan membutuhkan siraman ruhani yang dapat menyejukkannya. Hal ini, pada kelanjutannya membawa angin segar bagi perkembangan praktek-praktek spiritual, yang dalam Islam kita sebut dengan tasawuf.

Abad 21, oleh sebagian pemikir diidentifikasi sebagai abad spiritualisme. Hal ini tidaklah berlebihan jika melihat maraknya kecenderungan masyarakat pada aspek spiritualitas pada dasawarsa terakhir ini. Kehidupan modern yang bercorak diterministik-materialistik, positivistik-empirik, sering dikritik oleh kaum posmodernis sebagai akar konflik kemanusiaan. Namun, kritik hanyalah sebuah kritik, karena solusi yang memuaskan pun ternyata belum dapat diajukan oleh mereka. Hal ini terbukti, bahwa solusi-solusi yang ditawarkan mereka, pun sering dinilai sangat relatif dan tanpa arah, bahkan mengarah pada solipsisme. Dari keadaan yang penuh kegamangan dan kekeringan jiwa inilah, spiritualisme adalah solusi-alternatif yang diharapkan.

Maraknya spiritualisme dan mistisisme di Barat memang tidak luput dari kritik tajam kaum positivis-empiris, yang dengan berbagai argumennya berusaha meyakinkan bahwa spiritualisme adalah tidak objektif, tidak real, fantastik atau halusinasi belaka. Fenomena ini, memang bukan kabar yang menggembirakan bagi kaum sekular tersebut. Karena itu, propaganda mereka untuk menghentikan bentuk-bentuk spiritualisme memudar oleh waktu.

F. Polemik antara Tasawuf dan Syari’at

Secara sosiologis, fenomena revival of spiritualism, dapat dilacak asal-usulnya dari berbagai peristiwa politik dan kemanusiaan. Fenomena ini tidak berdiri sendiri dan bukan fenomena tunggal yang tanpa preseden. Dalam Islam, bentuk spiritulisme_yang kemudian disebut dengan tasawuf, adalah reaksi yang dipicu oleh keadaan di mana sebagian kaum Muslimin sudah tenggelam dalam kemewahan hidup materialistis. Sebagian dari penguasa dan orang-orang kaya mulai terjangkiti penyakit hedonistis.

Saat itu, harta kekayaan umat Islam melimpah seiring dengan perluasan wilayah yang semakin ekspansif. Serdadu muslim selain membawa pulang ghanîmah (harta rampasan) juga gaya hidup baru. Tak heran jika kemudian para penguasa menjiplak gaya hidup kaisar yang berkuasa di negara-negara tiranis. Mereka sibuk menumpuk kekayaannya dan mengabaikan akhirat.

Dalam perkembangannya, tasawuf sering menjadi obyek kritikan keras baik dari muslim atau non-muslim. Kritik ini diargumentasikan dari sebagian para pengikut tasawuf yang terlalu jauh tenggelam dalam dunia tasawuf sehingga terkesan ‘lari’ dari kehidupan dunia. Bersifat a-sosial; bersifat terlalu spiritualistik, dengan melupakan segi-segi kesalehan sosial atau substansial. Tasawuf juga sering disejajarkan dengan spiritualisme isolatif; spiritualisme orang-orang yang lemah dan egois, yang tidak tahan menghadapi kejahatan dan bahaya, kemudian lari ke `uzlah tanpa mengindahkan aspek-aspek sosial.

Potensi konflik lain, dipicu dari gesekan antara kaum sufi dan ahli syari’at. Sebagian dari kalangan ahli syari’at, menganggap banyak di antara kaum sufi yang menyimpang dari syari’at dan mempraktekkan teori di luar Islam. Terlebih lagi, saat berkaitan dengan masalah sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka.

Fenomena ini menjadi problematika yang krusial dalam kalangan syari’at dan sufi. Keadaan iluminasi (kasyf) memang tidak dapat dipahami selain kaum sufi. Iluminasi adalah real yang tidak akan dipahami selain pelaku itu sendiri. Tidak oleh ahli syari’at, bahkan dari kaum sufi yang lain. Sebab itu al-Ghazali dalam kitabnya Al-Munqidz min al-dlalâl kemudian membagi tasawuf menjadi dua cabang, yaitu: pertama, tasawuf sebagai ilmu praktis (mu`amalah) seperti yang ditulisnya dalam Ihyâ' Ulâm al-Dîn dan ini sepenuhnya merupakan rantai panjang penjernihan jiwa (tazkiah al-nafs). Kedua, tasawuf sebagai ilmu mukasyafah yang menurutnya tidak boleh ditulis-ceritakan. Al-Ghazali menolak keras pengungkapan pengalaman sang sufi ketika mengalami iluminasi (kasyf), karena manusia miskin bahasa dalam menggambarkannya, sehingga segala upaya untuk menjelaskannya akan sia-sia, sebab setiap kata yang dipakai selalu mengandung salah paham yang sulit dihindari.

Kekhawatiran lain dari para ulama’ terhadap ajaran tasawuf adalah tasawuf akan menjadi pelarian orang-orang yang tidak paham syari’at untuk langsung masuk pada inti agama. Lebih lagi, apabila tasawuf sebagai kedok orang-orang yang malas dalam syari’at.

Kekhawatiran di atas memang beralasan, tapi lebih tepatnya kalau dialamatkan pada kaum spiritual-mistik di Barat yang ingin memotong jalur syari'at, lalu meloncat kepada spiritual. Tapi, kalau tasawuf dengan syari'at punya akar yang sangat dalam, karena syari'at punya akar primordial yang jauh, yang diyakini dalam iman. Tasawuf adalah dimensi esoteris dalam Islam, tasawuf dan syari’at sama-sama mempunyai landasan dari Alquran dan Hadist. Bila dianalogikan dengan fisik hati, tasawuf tersembunyi dari external view tapi menjadi sumber dari hidup.

Namun begitu, sering dari perkataan-perkataan sufi, memang sering terkesan merusak atau menafikan syari’at. Hal tersebut harus dipahami dengan melihat pada latarbelakang dan kondisi yang mempengaruhi, juga pada audiens yang menjadi obyek perkataan tersebut. Misalnya, Hafidz yang menulis, bahwa seseorang harus membuang sajadahnya, atau Ibnu Arabi yang menulis bahwa hatinya adalah kuil bagi penyembah berhala. Kalimat seperti ini bukanlah berarti menafikan hukum Tuhan, tapi sebenarnya mereka menunjukkan pada audiens, kepada ‘Siapa’ yang darinya syari’at diambil dan mengajak manusia menguatkan bentuk teks dengan penetrasi ke dalam intisari dari syari’at.4 Sehingga jelas, bahwa tasawuf vis-a-vis syari’at adalah nonsens. Tapi keduanya adalah proses gradual menuju Tuhan.

G. Tasawuf dan Mistisisme

Salah satu bentuk dari kritikan keras yang dilontarkan para kontra-tasawuf adalah ketidakobyektifisan tasawuf. Tasawuf di mata mereka adalah sebuah realitas _kalau bisa dikatakan realitas_ yang tidak dapat dipisahkan dari mistisisme dan subyektifititas, tidak dapat diuji secara ilmiah dalam artian secara empiris.

Kritikan semacam ini, secara umum banyak dilontarkan oleh kaum sekuler yang menolak metafisika. Padahal dalam Islam unsur metafisika merupakan suatu yang absolut. Pengingkaran terhadap metafisika berarti pengingkaran terhadap Allah Swt., malaikat, hari akhir dan al-qadla dan al-qadar.

Dengan berlandaskan pandangan dunia yang dibangun di atas premis positivisme-empirisme ini, akan membawa implikasi pada penolakan realita yang ada di luar jangkauan indera dan rasio. Pendeknya, realita metafisika dianggap sebagai realita semu. Metafisika dilihat sebagai hasil evolusi dari realita materi. Paradigma ini tentu saja berbeda dari pandangan orang yang beriman yang berkeyakinan bahwa realita materi yang kasat mata ini adalah turunan dari realita yang lebih tinggi. Maka dengan argumen inilah, mereka melupakan dan mengabaikan segmen penting yang merupakan unsur esoteris dalam diri manusia; unsur spiritualitas. Lucunya, pada masa seperti ini kajian-kajian inteligensi pada aspek-aspek kejiwaan yang pada waktu-waktu sebelumnya dianggap sebagai tidak rasional, justru menjadi kecenderungan umum di dasawarsa-dasawarsa peralihan milenium ini. Misalnya, Daniel Goleman mengajukan konsep inteligensi emosional. Dan kini, Danah Zohar mengajukan konsep inteligensi spiritual yang dianggap sebagai bentuk inteligensi tertinggi yang memadukan kedua bentuk inteligensi terdahulu yaitu inteligensi intelektual dan inteligensi emosional.

Penolakan kaum positivis-empiris terhadap tasawuf dan bentuk spiritualitas lainnya, juga. sering dilandaskan dari ketidakobjektivisannya. Tasawuf dinilai terlalu personal dan tidak mungkin ditransferkan atau diekspresikan pada individu lain. Lebih ekstrem lagi, tasawuf dicurigainya tidak real, fantastik atau halusinasi belaka.

H. Paradigma Tasawuf sebagai Spirit Peradaban

Imam Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul Minhaj al-‘Abidin, mengatakan, bahwa Ilmu yang fardlu ‘ain dituntut oleh seorang muslim adalah mencakup tiga hal, pertama, Ilmu Tauhid. Kedua, Ilmu Syari’at. Ketiga Ilmu Sirr (Ilmu tentang hati), dan tidaklah ilmu-ilmu itu semua dituntut untuk tujuan berargumentasi atau memberikan keyakinan kepada orang lain baik yang beragama Islam maupun bukan. Tetapi ilmu tersebut fardlu ain untuk dituntut, yang berhubungan dengan untuk perubahan diri. Ilmu tentang hati inilah yang banyak dibahas oleh tasawuf.

Tasawuf adalah perjuangan penyucian diri dengan membebaskan diri dari dominasi kenikmatan jasmani untuk meraih kebahagiaan hidup yang otentik. Dari sisi psikologis dan filosofis intinya berusaha menghampiri Yang Maha suci untuk meraih kesucian dan kemuliaan hidup. Dasar filosofis tasawuf adalah kalimat syahadat “lâ ilâha illa Allâh”. Hanya dia yang absolut, sedang yang lain nisbi. Relasi yang Yang Absolut dengan yang relatif ini digambarkan oleh tiga khulafa’ al-Rasyidin sebagai berikut. Abu Bakar berkata “saya sama sekali tidak melihat sesuatu sebelum saya melihat Allah.” Umar ibn Al-Khattab berkata ”saya sama sekali tidak melihat sesuatu tanpa saya melihat Allah pada saat itu.” Utsman Ibn al-‘Affan berkata “saya sama sekali tidak melihat sesuatu tanpa saya melihat Allah saya melihat Allah setelahnya.” Maka Allah an sich yang eksis, sedang yang lainnya hanyalah sebagai ayat dari ayat-ayatnya. Dia awal segala sesuatu dan akhir darinya.

Berpegang pada syari’at bukan berarti mengambil jarak dengan tasawuf. Sebaliknya dengan tasawuf dapat menghidupkan syari’at dengan makna yang dalam. Maka tasawuf bukan berarti perendahan terhadap syari’at, tapi kesadaran dari dalam. Kebebasan terhadap al-Sunnah tidak berarti penolakan terhadap syari’at, tetapi sebagai pemahaman maknanya yang hidup. Karena kebebasan tidak hanya berarti kemampuan untuk berbicara tapi tapi juga kemampuan untuk mencipta.

Dalam tasawuf dapat diharapkan terbentuknya moralitas keagamaan tinggi. Dalam konsep tasawuf, doktrin yang paling menonjol tentang relasi Tuhan dan makhluk adalah konsep Love of God. Yang salah satu pionernya adalah Rabi’ah al‘Adawiah (801 M.). Dari salah satu nasyidnya yang menggambarkan dalamnya kecintaan kepada Pencipta berbunyi:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku,
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu
Cinta kepada diri-Mu
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
Begitu Kecintaannya kepada Tuhan

I. PENUTUP

Pasang surut kajian tasawuf adalah suatu realitas yang mengiringi suatu perubahan. Di mata sebagian masyarakat sekular atau masyarakat yang telah mapan, tasawuf adalah suatu kebutuhan yang susah dihindari. Pada masyarakat yang plural dan terlalu mengedepankankan formalitas agama, tasawuf adalah penyeimbang dalam membentuk sikap beragama yang inklusif dan kosmopolit.

Kebutuhan spiritual adalah suatu keniscayaan. Eksperimen sejarah Barat mungkin menjadikan mereka terhadap alergi agama, terlebih lagi agama Islam. Pencarian bentuk spiritual mungkin merupakan hal yang menyulitkan, dan harus melalui trial and error. Tapi, bagi kaum muslim, tasawuf adalah warisan Islam yang tidak ternilai harganya.

Tasawuf tidak berarti melarikan diri dari dunia. Pembagian yang proporsional antara dunia dan akherat, jasad dan ruh adalah suatu yang ideal. Dalam tataran praktisnya, bagaimanapun juga kita harus melihat realitas masyarakat saat ini. Sudah seimbangkah aspek eksoteris dan esoteris agama mereka? Jawabannya tidaklah harus sama, maka mari kita bertindak lebih bijaksana.

Read more...

ISLAM DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAMI


PENDAHULUAN
Islam dari awal periode Madinah sudah menunjukkan budaya dan peradaban yang direfleksikan ke dalam dunia politik, ekonomi dan teknologi dan lain-lain. Islam pada periode Madinah telah meletakkan nilai-nilai dasar filosofi kehidupan yang disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Islam dunia dengan peradaban dan budaya khas Islam.
Kemajuan peradaban Islam tidak lepas dari pengembangan eksistensi dari masyarakat Islam yang majemuk, dan terus berkembang sesuai dengan dinamika dunia pada saat itu, Islam hadir di tengah-tengah masyarakat yang tidak mempunyai landasan yang kuat dan tidak memiliki pegangan akan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan, Islam memberikan paradigma baru kepada dunia di awal-awal kenabian dan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan kemajuan peradaban dunia lewat penafsiran dalil yang tersurat dengan media alam raya yang kemudian dijadikan sebagai bukti kepada seluruh umat manusia bahwa yang disampaikan oleh Islam lewat Nabi Muhammad SAW adalah sebuah kebenaran yang nyata, dan dalil-dalil Al-Qur’an itu dapat dibuktikan dengan kemajuan teknologi dan perkembangan dunia ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam di mulai dari periode Madinah, Masyarakat Islam periode tersebut sudah mengenal peradaban, dan mulai berbudaya. Peradaban itu dimulai dengan sistem pemerintah yang sudah terbentuk ( politik Islam ) di bawah kekuasaan dan komando Nabi Besar Muhammad SAW.
Selanjutnya masa-masa kejayaan Islam adalah pada saat khalifah, pada masa khalifah tersebut Islam menjadi sangat kuat, masyarakat hidup dalam kesejahteraan cita-cita masyarakat madani yang merupakan tujuan kita saat ini sudah terbentuk saat kekhalifaan, terlebih pada masa Khalifah Bani Umayyah. Islam mengalami kemajuan peradaban dan budaya yang dimiliki masyarakat Islam sangat luas dan beragam, sehingga masyarakat Islam pada masa itu di kenal dengan kekayaan budayanya.
Penulis akan menyampaikan tentang perjalan peradaban Islam di mulai dari masa kepemimpinan Khilafah Rasyidah ( Khulafaur Rasyidin ) hingga khilafah Bani Abbas, masa-masa tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar kepada kemajuan peradaban Islam dalam dunia polotik, ekonomi dan teknologi.

A. KHILAFAH RASYIDAH
Khalifah I ( Sayyidina Abu Bakar )
Setelah Rasulullah menghadap ke Hadirat Allah SWT, sebagai pimpinan politik beliau tidak pernah berwasiat tentang siapa yang harus menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin Islam setelah beliau meninggal. Nabi Muhammad SAW mempercayakan kepada umat Islam untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka. Sebuah pelajaran berharga yang telah diberikan Rasulullah SAW kepada umat Islam, bahwa jabatan politik bukanlah sebuah warisan yang harus diwasiatkan kepada sanak famili, tetapi itu adalah sebuah amanah besar yang harus dikerjakan dengan sepenuh hati dan harus dipilih oleh umat itu sendiri.
Setelah periode Rasulullah, umat Islam dipimpin oleh Khalifah Rasulillah ( Pengganti Rasul ) sayyidina Abu Bakar, yang dipilih secara musyawarah oleh masyarakat Madinah pada waktu itu. Dalam perkembangannya Khalifah Rasulillah dikenal dengan Khalifah saja. Beliau meneruskan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Ada dua factor yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah; (1) pemimpin haruslah dari Suku Quraisy didasari dari sebuah hadis yang berbunyi :”Kepemimpinan itu di tangan orang quraisy”. Pendapat umum yang berkembang pada saat itu yang mengkondisikan hal tersebut; (2) Abu Bakar adalah Tokoh Islam yang memiliki banyak keutamaan dan termasuk orang yang pertama memeluk agama Islam, ia tokoh yang menemani Nabi berhijrah, dan saat Nabi uzur beliau yang ditunjuk sebagai imam, dan beliau keturunan bangsawan, cerdas dan berakhlak mulia.
Selama kepemimpinan Khalifah Abu Bakar yang terbilang sangat singkat, beliau dihadapkan kepada masalah-masalah teritorial, kemurtadan dan banyaknya orang yang mengaku sebagai Nabi. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab melakukan penolakan terhadap kepemimpinan beliau dan tidak mau lagi tunduk terhadap pemerintah Madinah. Suku-suku tersebut berasumsi bahwa perjanjian yang dilakukannya dengan Nabi Muhammad SAW akan berakhir ketika Rasulullah wafat, hal tersebut yang mengakibatkan mereka tidak mau patuh terhadap Khalifah Abu Bakar. Karena penentangan tersebut dapat membahayakan agama dan pemerintah, maka Khalifah Abu Bakar mengambil tindakan tegas terhadap suku-suku tersebut, sehingga Perang Riddah (perang melawan kemurtadan) menjadi alternatif terakhir yang harus di tempuh, sebagai upaya menjaga stabilitas kepemerintahan.
Sentralisme pemerintahan yang diterapkan ketika pemerintah Rasulullah masih diterapkan saat Khalifah Abu Bakar berkuasa, dimana kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada di bawah kekuasaan Khalifah. Pola musyawarah yang selalu diterapkan Rasulullah juga masih dilakukan oleh kepemerintahan Khalifah ini, beliau selalu mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah tentang masalah-masalah krusial yang berhubungan dengan agama dan pemerintah.
Meskipun fase awal kepemerintahan Abu Bakar penuh dengan kekacauan, ia tetap tetap melanjutkan cita-cita Rasulullah untuk memperluas Islam sampai ke daerah Suriah. Langkah politik yang diambil oleh Abu Bakar menunjukkan semangat dakwah dan perluasan kekuasaan Islam sangat strategis dan berdampak positif terhadap pemerintahnya pada waktu itu, interpretasi yang muncul adalah kekuatan Islam cukup tangguh dan pihak musuh Islam mulai takut dan gentar terhadap Islam. Dan itu merupakan pengalihan terhadap masalah intern yang terjadi pada saat itu.
Setalah mendapat kemenangan gemilang pada fase pertama penyerangan. Selanjutnya, Abu Bakar melakukan perluasan wilayah di luar Jazirah Arab. Target utama adalah Negara yang berbatasan langsung dengan daerah kekuasaan Islam yaitu Irak dan Suriah. Ekspansi terhadap Irak dipimpin oleh Khalid bin Walid, dan Suriah dipimpin oleh tiga panglima yaitu Arm bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan, Syurahbil bin Hasanah. Pasukan dibawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid dapat menguasai al-Hirah pada tahun 634. Sedangkan pasukan Islam yang memnuju Suriah mengalami kesulitan, karena tentara Bizantium secara kuantitas lebih banyak dari Pasukan Islam dan memiliki senjata yang lengkap. Abu Bakar memerintahkan kepada Khalid untuk membantu pasukan Islam di Suriah, dan akhirnya perang tersebut dimenangkan oleh pasukan Islam. Tetapi kemenangan tersebut tidak dapat disaksikan oleh sayyidina Abu Bakar, karena beliau jatuh sakit dan meninggal dunia pada tahun 634.
Selain usaha perluasan wilayah Abu Bakar juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradaban Islam pada peride berikutnya, diantaranya ;
1. Pengumpulan Mazhab Al-Qur’an. Pengumpulan ini merupakan ide dari Umar bin Khatab, beliau menganggap bahwa hal ini harus dilakukan karena banyak dari penghafal Qur’an yang meninggal dunia saat perang. Dan Abu Bakar menyetujui hal tersebut, dan Zaid bin Tsabit ditugaskan untuk mengerjakan pengumpulan wahyu tersebut.
2. Membentuk lembaga Baitul Maal, yang bertujuan demi kemaslahatan umat Islam yang dikelola oleh Abu Ubaidah
3. Mendirikan Lembaga Peradilan yang dipimpin oleh Sayyidina Umar bin Khatab
4. Mempersiapkan calon khalifah berikutnya, dengan harapan tidak terjadi peluang perpecahan antara umat Islam.

Abu Bakar dengan masa pemerintahannya yang relatif singkat telah berhasil mengatasi tantangan-tantangan dalam negeri Madinah yang baru tumbuh itu, dan juga telah menyiapkan jalan bagi perkembangan dan perluasan Islam di luar semenanjung Arab.



Khalifah II ( Sayyidina Umar bin Khatab )
Saat sakit Abu Bakar bermusyawarah bersama para sahabat dan mengangkat Umar bin Khatab sebagai pengganti khalifah berikutnya.
Jalan yang telah ditempuh oleh Khalifah pertama diteruskan dan dikembangkan oleh Umar bin Khatab, dan pada tahun 635 gelombang ekspansi membuahkan hasil dengan jatuhnya Suriah (Syria) di bawah kekuasaan Islam. Dengan menggunakan Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan di daerah Mesir ( Takluk pada tahun 641 ), Persia dan Mosul. Pada masa Umar, wilayah kekuasaan Islam meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar Persia dan Mesir.
Untuk mengimbangi gelombang ekspansi yang begitu cepat, Umar melakukan pembenahan administrasi Negara dengan mengadopsi sistem administrasi Negara-negara yang berkembang seperti Persia. Administrasi pemerintahan di bagi menjadi delapan wilayah propinsi; Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basra, Kufah, Palestina dan Mesir. Sejalan dengan pengembangan administrasi, maka didirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, dan pembayaran gaji terhadap petugas pemerintah dan pajak mulai ditertibkan, dan jawatan kepolisian juga dibentuk untuk menjaga stabilitas keamanan. Jawatan pekerjaan umum juga didirikan, beliau juga menempa mata uang, serta menciptakan tahun hijrah.
Umar bin Khatab meninggal pada tahun 644 dibunuh oleh seorang budak dari Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah. Tidak seperti Abu Bakar yang langsung menentukan penggantinya, Umar menunjuk enam orang sahabat untuk bermusyawah dan memilih salah satu diantara mereka menjadi Khalifah. Dan dalam musyawarah antara sahabat tersebut Usman terpilih sebagai Khalifah ketiga, setelah bersaing ketat dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.




Khalifah III ( Sayyidina Usman bin Affan )
Usman menjadi khalifah selama 12 tahun, pada fase terakhir pemerintahannya timbul kekecewaan dan perasaan tidak senang terhadap pola pemerintahan yang diterapkannya. Permasalahan itu mungkin timbul karena sistem kepemerintahannya yang berbeda dengan Khalifah sebelumnya, Usman terlalu lembut dan banyak dari keluarganya yang menduduki posisi penting pemerintahan, sehingga menimbulkan asumsi masyarakat bahwa Usman hanyalah boneka keluarganya.
Pada masa pemerintahan Usman ekspansi Islam terhenti pada daerah Armenia, Tunisia,Cyprus, Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia.
Jasa Usman pada saat ia menjadi Khalifah adalah penyempurnaan Mazhab Al-Qur’an yang telah dilakukan saat pemerintahan Abu Bakar. Selain itu Usman juga membangun jalan-jalan, jembatan, masjid-masjid, dan memperluas Masjid Madinah.
Usman Wafat pada tahun 655, beliau dibunuh oleh kaum pemberontak yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan Usman bin Affan. Setelah kejadian tragis tersebut, maka masyarakat Islam menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah.

Khalifah IV ( Ali bin Abi Thalib )
Periode kekhalifaan Ali bin Abi Thalib stabilitas pemerintahan selalu diwarnai dengan gejolak dan perlawanan, baik itu dari internal dan eksternal Islam. Setelah menduduki “kursi panas” khalifah, beliau memecat gubernur-gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan, beliau menggap bahwa gejolak yang terjadi karena keteledoran serta kurangnya kemampuan mereka menjadi seorang memimpin. Ali juga menarik kembali tanah-tanah yang telah dihadiahkan khalifah sebelumnya, untuk kepentingan Negara, dan kembali menerapkan sistem distribusi pajak.
Tidak lama kemudian, gejolak dari kalangan internal Islam sendiri berkobar, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Pemberontakan ini didasari atas ketidakpuasan Thalhah, Zubair dan Aisyah terhadap keputusan Ali yang tidak mau menghukum pembunuh Usman bin Affan. Setelah usaha Ali mencari jalan damai gagal, peperangan tidak dapat dielakkan. Perang yang dikenal dengan nama Perang Jamal ( unta ) karena pada saat perang itu Aisyah mengendarai seekor unta berkobar dengan dahsyat. Peperangan ini dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib, Zubair dan Thalhah terbunuh dan Aisyah ditawan dan kirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkan Ali terhadap gubernur-gubernur yang kehilangan kekuasaannya mengkibatkan perlawanan. Perlawanan terebut dipimpin oelh Gubernur Damaskus, Muawwiyah. Setelah perang Jamal usai dengan kemenangan Ali, pasukannya bergerak menuju Damaskus. Pasukan Ali bertemu dengan pasukan Mu’awwiyah di daerah Shiffin, dan pertempuran terjadi antara Ali dan Mu’awwiyah yang dikenal dengan Perang Shiffin. Perang ini berakhir dengan perjanjian damai. Tapi perjanjian damai ini tidak menyelesaikan masalah seperti yang diharapkan Ali bin Abi Thalib, bahkan menimbulkan golongan ketiga yaitu Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan pasukan Ali karena tidak setuju dengan perjanjian damai dengan Mu’awwiyah). Tentunya situasi ini sangat merugikan Ali, pasukannya semakin lemah karena ditinggalkan oleh pengikutnya, sementara itu kekuatan Mu’awwiyah semakin bertambah. Kekuatan Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kekuatn poitik, pertama pendukung Ali, Mu’awwiyah dan Khawarij. Dan pada tanggal 20 Ramadhan 40 H, Ali terbunuh oleh salah satu angota Khawarij.
Setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib, kekhalifaan dijabat oleh anaknya. Posisi Hasan secara politik yang semakin melemah mengakibatkan ia membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awwiyah bin Abi Sufyan. Perjanjian ini juga mengakhiri kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, dengan dimulainya kekuasaan Bani Umayyah dan melahirkan sejarah politik Islam baru.




B. KHILAFAH BANI UMAYYAH
Musyawarah dan sistem demokrasi yang diterapkan oleh Khilafah Rasyidah berganti dengan Sistem Monarkis setelah dikuasai oleh Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan. Bahkan dia menebut dirinya sebagai Khalifah Allah, dalam pengertian Khalifah yang diangkat oleh Allah langsung. Dan Mu’awwiyah telah merubah tatanan masyarakat Islam dalam dunia politik lewat kiprahnya sebagai seorang khalifah, dia mewajibkan kepada seluruh masyarakat untuk setia kepada anaknya Yazid. Perkembangan peradaban politik Islam dan paradigma tentang politik Islam yang berasaskan musyawarah dan demokrasi mulai pudar dan berubah.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota yang awalnya berpusat di Madinah dipindahkan ke Damaskus. Khalifah besar dan berjasa pada dinasti ini adalah Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan, Abd Malik ibn Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz dan Hasyim ibn Abdul Malik.
Pada masa kekuasaan dinasti ini, eksapansi yang terhenti pada pemerintahan Khilafah Rasyidah dilanjutkan kembali. Ekspansi tersebut akan saya rincikan sesuai dengan khalifah yang memimpin dinasti tersebut
A. Zaman Mu’awwiyah menguasai daerah Tunisia, Khurasan, Afghanistan, Kabul. Bahkan angkatan lautnya melakukan serangan ke ibu kota BIzantium, Konstantinopel.
B. Abdul Malik melanjutkan ekspansi ke daerah timur dan dapat menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, ferghana dan Samarkhand.
C. Walid secara besar-besaran mengadakan ekspansi ke barat dan menguasai al-Jazair, Maroko, Spanyol, Seville, Elvira, Toledo.
Disamping perluasan Wilayah, Dinasti ini juga berjasa pada pembangunan beberapa bidang, diantaranya : dinas pos, penertiban angkatan bersenjata, pncetakan mata uang, dan pembenahan administrasi pemerintahan.
Kehancuran Bani Umayyah diakibatkan oleh khalifah-khalifah yang terakhir tidak memikirkan rakyat, lemah dan bermoral buruk dan gandrung kepada kemewahan. Ini yang mengakibatkan kekuatan dan dukungan terhadap pemerintahan ini berkurang dan pada akhirnya pada tahun 750 daulah Umayyah digulungkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.

D. KHILAFAH BANI ABBAS
Dinamakan daulah abbasiyah karena karena pendiri dan penguasa dinasti ini adalah dari keturunan bani Abbas., paman Nabui Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abbas as-Saffah. Dan zaman keemasan Islam terletak pada kekuasaan dinasti ini.
Sejarah peralihan kekuasaan dari daulah Umayyah pada daulah Abbasiyah dimulai ketika Bani Hasyim menuntut kekuasaan Islam berada di tangan mereka karena mereka adalah Keluarga Nabi Muhammad SAW yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya sudah sejak lama, tapi baru menjelma menjadi sebuah gerakan ketika Bani Umayyah naik takhta dengan mengalahkan Ali Bin Abi Thalib dan bersikap keras keturunan Bani Hasyim.
Propaganda baru mulai terjadi ketika Umar Bin Abdul Aziz (717-720) menjafi khalifah bani Umayyah. Stabilitas negara dan sistem pemerintahan berjalan dengan baik, kesejahteraan dan keadilan begitu merata terhadap daulah dan rakyatnya. Ketentraman tersebutlah yang memicu Bani Abbas untuk memulai gerakan yang berbasis di daerah al-Humaymah, yang pada saat itu dipimpin seorang zahid yang bernama Abdullah bin Abbas, yang kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama muhammad yang memperluas gerakan untuk meruntuhkan kekuasaan dari bani umayyah pada saat itu. Dia menetpakan tiga daerah untuk menjadi pusat gerakannya; (1) al-Humaymah menjadi pusat perencanaan dan organisasi; (2) Kufah sebagai tempat penghubung; dan (3) Khurasan sebagai pusat gerakan praktis.
Setelah wafat Muhammad digantikan oleh anaknya yang bernama Ibrahim al-Imam, yang mengangkat seorang panglima perang yang gagah berani berasal dari Khurasan yang bernama Abu Muslim Khurasani. Abu Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi kemenangan, dan akhirnya Ibrahim al-Imam ditangkap oleh daulah Umayyah dan dipenjarakan hingga meninggal dunia. Setalah itu Ibrahim digantikan oleh saudaranya yang bernama Abu Abbas, yang mengantar peperangan antara pasukan Bani Umayyah dan Bani Abbas di daerah dekat sungai Zab. Pada pertempuran tersebut Bani Annas memperoleh kemenangan dan berlanjut ke Suriah dan dari sanalah kemenangan demi kemenangan di peroleh pihak pasukan Bani Abbas.
Pada tahun. 132 H / 750 M berdirilah Daulah Abbasiyah dengan Khalifah yang pertama adalah Abu Abbas as-Saffah. Daulah ini berlangsung cukup lama, hingga tahun 656 H / 1258 M. berdasarkan perubahan politik dan sosial dan budaya maka pola pemerintahannya berupa pula.
Walaupun khalifah yang pertama adalah Abu Abbas, beliau hanya memimpin dengan relatif sangat singkat kurang lebih hanya empat tahun saja. Kemudian daulah ini diteruskan oleh Abu Ja’far Al-Mansyur, beliaulah yang dengan sekuat tenaga melawan lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij dan Syia’ah yang merasa dikucilkan dari kepemerintahan Bani Abbasiyah. Untuk mengamankan kekuasaanya maka orang yang dianggap dapat merusak stabilits negara di depak jauh-jauh dari daulah tersebut. Pamannya sendiri dan Abu Muslim Khurasani di hukum mati, untuk mengamankan posisinya dari para pesaing.
Untuk kepentingan internal kepemerintahan maka ibukota dipindah ke Baghdad pada tahun 767, dan membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga eksekutif dia mengangkat sorng wazir (menteri) sebagai koordinator departemen; dia juga membentuk lembaga protokoler negara, sekretaris negara, kepolisisan dan melanjutkan angkatan bersenjata. Dia menunjuk Abdur Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak zaman bani umayyah dilanjutkan dengan tambahan tugas, selain mengatur jalur surat juga sebagai sarana informasi untuk seluruh wilayah kekuasaan di daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos juga bertugas melaporkan kegiatan gubernur setempat kepada Khalifah.
Jawatan wazir kurang lebih selama 50 tahun di kuasai oleh Baramakih atau Marmaki, suatu keluarga yang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid Bin Balkh, yang kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Yahya Bin Khalid. Yang terakhir ini juga mengangkat anaknya menjadi wazir muda, sedangkan anaknya yang lain Fadhli bin Yahya menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani oleh keluarga persia itu. Masuknya kelurga non Arab ini ke dalam pemerintahan bani Abbas merupakan unsur pembeda dengan dinasti sebelumnya yang berorientasi ke Arab.
Khalifah ini juga berusaha kembali menaklukkan daerah yang sebelumnya membebaskan diri dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara usahanya itu adalah merebut benteng di Asia, kota Malita, wilayah Coppadicia dan Sicilia pada tahun 758-765, ke utara tentaranya melintasi pegunugan Taurus dan mendekati selat Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Costantine V. Selama genjatan senjata (578-765), Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di Laut Kaspia, Turki di bagian lain orksus serta India.
Pada masanya konsep khalifah berubah, beliau berkata “saya adalah kekuasaan Tuhan di buminya” yang menandakan bahwa Khalifah bukan dari pilihan manusia tetapi merupakan mandat dariTuhan, seperti zaman Khalifah Rasyidin. Dan nama gelar mereka lebih populer dari nama asli mereka. Puncak keemasan Daulah ini dibangun oleh Abu Abbas Ja’far al-Mansyur, dan diteruskan oleh tujuh generasi berikutnya dari zaman Khalifah Mahdi hingga Khalifah al-Wasiq. Dan puncak popularitas daulah ini adalah pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid dan putranya al-Ma’mun.
Demikianlah kemajuan peradaban Islam, khususnya di dunia politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, sesuatu kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Masa keemasan , kegemilangan, kejayaan diraih dari kemajuan politik yang berjalan beriringan dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan. Masa puncak keemasaan Islam khusunya terjadi pada daulah Abbasiyah periode pertama, dan mengalami kemunduran pada peride-periode berikutnya.
E. PENUTUP
Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam yang pernah diraih pada masa klasik merupakan warisan berharga bagi generasi Islam berikutnya, bagaimana mentrasformasikan nilai-nilai peradaban dan budaya Islam di seluruh aspek kehidupan. Jangan sampai nilai-nilai historis yang ada di dalamnya dilupakan begitu saja, generasi yang hebat adalah generasi yang menghormati sejarah.
Peradaban Islam merupakan hal yang harus digali dan dipejari, serta kita harus merumuskan konsep tentang sistem pemerintah yang sesuai dengan peradaban dan budaya kita saat ini. Dan menjadi pelopor sebuah perubahan dan memulai sebuah gerakan Islamiyah, gerakan Islamiyah dapat dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Mensosialisasikan agama tidak hanya lewat media dakwah fil lisan atau tulisan, tetapi dakwah fil hal juga merupakan bagian dari sebuah awal peradaban baru menuju hidup dalam syari’at Islam.
Beberapa figur diatas, mungkin dapat menjadi acuan dan teladan kita dalam menapaki hidup, jika saja generasi Islam telah masuk ke dalam Islam secara kaffah maka bukanlah suatu hal yang mustahil jika kita akan menjumpai kembali masa-masa keemasan dan kejayaan Islam.
Dengan semangat Islam, mari kita jadikan sejarah sebagai tolak ukur dan barometer keberhasilan Islam saat ini, sejarah telah membuktikan bahwa dengan kekuatan kolektif umat Islam dapat mengalahkan siapapun. Bangun kembali Islam dari kehancuran dimulai dari diri kita, dari hal kecil dan saat ini juga.

Read more...

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP