Ilmu Tafsir
METODOLOGI TAFSIR
Sebagai sebuah metode, qaidah-qaidah penafsiran telah ada sejak zaman sahabat, namun menjadi sebuah disiplin ilmu yang berada di dalam ilmu tafsir, penentuan tahunnya agak sulit dilacak. Yang jelas ketika ekspansi dakwah islam masuk wilayah-wilayah ajam (non Arab) dan ajaran Islam tersebar luas terutama abad ketiga hijrah, maka di sini muncul ilmuan muslim yang mengajarkan Islam termasuk menulis masalah Islam sesuai dengan disiplin mereka masing-masing. Untuk memudahkan mereka melakukan penafsiran sekaligus memberikan rambu-rambu agar tidak terjerumus dalam kesalahan, maka dibakukanlah qaidah-qaidah tersebut.
Secara global penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan oleh Al-Qur’an sendiri. Ayat-ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempat akan dijelaskan di tempat lain, baik itu disebutkan pada tempat yang sama seperti firman Allah :
وما أدري كما ليلة القدر, ليلة القدر خير من ألف شهر …..
atau disebutkan pada tempat (
صراط الذين أنعمت عليهم
adalah ayat :
فألئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصدقين والشهداء والصالحين و حسن أولئك رفيقا
Artinya,” Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)
Apabila methode ini tidak ada, maka menafsirkan Al-qur’an dengan Sunnah Rasulullah. Karena ia merupakan penjelasan bagi al-Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang serupa dengannya (yaitu As-Sunnah) (HR. Muslim ).
Ketika Aisyah ditanya bagaimana kepribadian (akhlak) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , Beliau menjawab:
(كان خلقه القرآن )
Maksudnya: Akhlak Rasulullah adalah Al-Qu’an (HR. Muslim ).
Apabila tidak ada tafsiran dari Sunnah Rasulullah, maka mempergunakan perkataan Sahabat. Karena mereka melihat fakta dan realita kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud berkata; Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui untuk siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia.
Begitu juga dengan Abdullah bin Abbas yang dijuluki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa SalamTarjuman AL-Qur’an dan sahabat yang lain seperti Said bin Musayyab, dan lainnya. sebagai
Kalau dengan Al-Qur’an, Sunnah dan perkataan sahabat tidak ada, maka sebagian Ulama mengharuskan merujuk kepada perkataan Tabi’in. seperti Hasan Bashri, Atha’ bin Rabah, Mujahid bin Jubair murid Abdullah bin Abbas yang pernah mengemukakan Al-Qur’an dari awal sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap ayat yang dibaca. Sufyan At-Tsauri berkata; Apabila ada tafsir dari Mujahid maka itu sudah cukup.[1] Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, menyebutkan penafsiran itu ada empat macam: Pertama, Penafsiran yang diketahui oleh orang Arab melalui tuturannya. Kedua, Penafsiran yang bisa diketahui oleh semua orang yaitu yang menyangkut halal dan haram. Ketiga, penafsiran yang hanya diketahui oleh para Ulama, Keempat, Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2]
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab, maka untuk memahami apalagi menafsirkannya dibutuhkan pemahaman terhadap bahasa Arab dan qaidah-qaidahnya, di samping pemahaman terhadap ulumul qur’an yang lain, juga fikih, qawaid dan ushulnya, dan disiplin ilmu yang lain sebagai penunjang. Menafsirkan ayat-ayat Allah dengan al-ahwa (napsu) semata tanpa didasari dengan ilmu dan pengetahuan termasuk kebohongan terhadap Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS.16: 116)
Rasulullah dalam banyak haditsnya mengingatkan untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, di antaranya adalah:
من قال في القرآن برأيه أو بما لا يعلم فليتبوأ مقعده من النار
Maksudnya; Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya atau tanpa dilandaskan dengan ilmu maka silahkan mengambil tempatnya di neraka”. Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda;
من قال في القرآن برأيه فقد أخطأ
Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya, maka ia telah keliru”, (HR. Turmudzi, Abu Daud, dan Nasa’i) Abu Bakar berkata; Langit yang mana aku bernaung, bumi yang mana aku berpijak, kalau aku menafsirkan Kitabullah tanpa ilmu.
Ini menunjukkan kehati-hatian ulama’ salaf (sahabat, tabi’in dan berikutnya), untuk menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa berlandaskan hujjah dan argumentasi yang jelas. Adapun penafsiran yang dilakukan dengan dasar ilmu dan pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah maka tidaklah termasuk dalam ancaman di atas,[3] menafsirakan AL-Qur’an dengan ijtihad ra’yu sudah ditradisikan sejak zaman Rasulullah, dan itu dilakukan oleh isteri beliau Aisyah yang banyak menafsirkan masalah-masalah penting dalam agama.[4]hudan (petunjuk) bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat Dan Rasulullah sendiri merekomendasikan Mu’adz bin Jabal untuk melakukan Ijtihad dengan ra’yu, dalam memutuskan permasalahan ummat, apabila dia tidak mendapatkan jawabannya itu pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan hal seperti ini mesti dilakukan agar Al-Qur’an benar-benar bisa menjadi
Metodologi Tafsir Maudhu'i
Metodologi Tafsir adalah cara menafsirkan al-Qur'ân, baik yang didasarkan atas pemakaian sumber-sumber penafsirannya, atau sistem penjelasan tafsir-tafsirnya, ataupun keluasan penjelasan tafsir-tafsirnya ataupun yang didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan.[5]
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya akan menyampaikan salah satu contoh metodologi tafsir dengan menggunakan Metode Tafsir Maudhu'i. Metode Tafsir Maudhu'i juga dikenal dengan Metode Tematik, ada dua pengertian dalam metode ini, tapi saya hanya menyampaikan salah satu metode saja yang insya Allah akan saya gunakan dalam membuat contoh bagaimana metode tafsir ini dipergunakan.
Tafsir Maudhu'i adalah menafsirkan al-Qur'ân dengan cara menghimpun ayat-ayat mengenai satu tema tertentu dengan memperhatikan kronologi dan hubungan masa turun dan asbab al-nuzul, hubungan ayat dengan ayat dalam menunjuk suatu permasalahan.[6]
Adapun tema yang saya angkat untuk menyelesaikan tugas akhir dalam mata kuliah Ilmu Tafsir ini adalah mengenai 'adil' yang dimaksud dalam surah an-Nisaa ayat 3. An-Nisaa ayat 3 lebih dikenal dengan ayat tentang poligami, tetapi yang akan saya bahas dalam kesempatan kali ini adalah bagaimana ayat ini menjelaskan tentang adil, bagaimana dan seperti apa adil yang dimaksud Allah dalam ayat ini, sehingga kita dapat menfsirkan sesuatu atau firman Allah dengan metode yang benar.
Allah menyebutkan kata adil dalam al-Qur'ân dalam arti yang berbeda-beda, diantaranya adalah :
1. Adil dalam perihal takaran atau timbangan, adil dalam ayat ini tentunya bermakna jangan mencurangi atau menambah takaran atau timbangan.
وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya : "Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan"[7]
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya : "Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu".[8]
2. Adil dalam membantu keluarga dan kerabat dekat.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya : "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".[9]
3. Adil dalam memberikan keputusan atas sebuah perkara.
إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ
Artinya : "Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut Karena kedatangan) mereka. mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; Maka berilah Keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus"[10]
4. Mendamaikan dua golongan yang sedang berperang dengan adil (tidak berpihak)
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya : "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil".[11]
5. Adil adalah manifestasi dari sebuah ketaqwaan, dan jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kaum membuat kita menjadi tidak adil.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".[12]
6. Adil adalah kesempurnaan dari Tuhan yang tidak dapat dirubah
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya : "Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui".[13]
7. Adil dalam perspektif damai atau tidak memerangi orang yang tidak memerangi kita atau mengusir kita.
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya " "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil".[14]
8. Adil sebagai saksi
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Artinya : "Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar".[15]
Beberapa ayat di atas tentunya memiliki makna dan arti tersendiri, dan adil dalam surah an-Nisaa ayat 3 akan saya coba tafsirkan.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya : "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".[16]
Dalam tafsir Baidhawi disebutkan bahwa jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai. Artinya jika kamu tidak mampu berlaku adil pada yatim perempuan apabila kamu menikahinya maka nikahilah perempuan yang lain yang kamu sukai, jangan sampai karena kecantikan dan harta yatim tersebut mengakibatkan lelaki tersebut menghalangi atau menutup gadis tersebut untuk dinikahi orang lain, hanya untuk menguasai harta dan kecantikan yatim tersebut.
Dalam tafsir Qurthubi disebutkan bahwa lelaki yang tidak mampu berlaku adil kepada anak yatim yang akan nikahinya dalam membayar mahar dan menfkahinya, maka perempuan lain lebih baik baginya.
Adil menurut ad-Dhahaq adalah dalam segi cinta, kasih sayang, hubungan suami isteri, nafkah dan lain-lain. Sedangkan menurut tafsir jalain adil disini adalah nafkah dan giliran.
Azbabun nuzul dari ayat ini adalah kondisi masyarakat Arab yang cenderung menjaga dan enggan menikahkan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan mereka, ayat ini merupakan peringatan kepada mereka agar jika mereka menikahi anak yatim tersebut harus adil ( dalam membayar mahar dan nefkah ) dan harus memberikan kesempatan kepada lelaki lain yang ingin menikahi anak yatim tersebut.
Dari uraian di atas penulis lebih setuju terhadap penafsiran yang menyimpulkan bahwa adil yang dimaksud adalah adil dalam materi dan nafkah serta giliran. Karena menurut Allah tidak ada seorangpun yang mampu berlaku adil dalam persoalan kasih sayang. Allah melarang kita untuk lebih cenderung kepada seseorang dan menelantarkan yang lain Hal ini sesuai dengan ayat Allah :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya : "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[17]
Jadi, adil yang dimaksud dalam al-Qur'ân khususnya pada surah an-Nisaa ayat 3 adalah adil dalam memberikan nafkah dan adil dalam giliran. Serta Allah mengatakan dengan gamblang bahwa tidak ada seseorangpun yang mampu berlaku adil walau ia sangat menginginkannya. Yang dilarang oleh Allah bukan tidak adilnya, tetapi menelantarkan isteri yang lain karena terlalu cenderung terhadap salah satu isterinya.
Memandang ayat di atas, penulis yang lemah dan baru belajar ini mencoba menarik kesimpulan bahwa Allah memberikan peringatan kepada lelaki yang padanya ada tanggungan anak yatim, yaitu mereka harus adil ketika mereka menikahi anak yatim yang dalam penjagaan mereka dalam hal mahar dan nafkah. Disisi lain Allah juga menyebutkan bahwa ketika seorang lelaki berpoligami atau memiliki isteri lebih dari satu, dalam persoalan hati pasti mereka tidak dapat berlaku adil, tapi yang dilarang dalam Islam adalah cenderung kepada salah satu dan menelantarkan yang lainnya.
Daftar Pustaka
Abdullah bin Su’ud Al-Badr, Tafsir Ummul Mukminin Aisyah Radiyallahu Anha, terj. Tafsir Aisyah Ummul Mukminin, (
Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, ( Beirut : Darul Fikri, TT ).
Al-Qurthuby, Abu Abdullah Muhammad, al-Jami' al-Ahkamul al-Qur'an, ( Riyadh : Darul 'Ilmi, 2003 ).
Al-Muhilly dan al-Sayuthi, Tafsir Jalalain, ( Qahirah : Darul Hadits, TT ).
Ibnu Katsir, Imaduddin. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim-Muqaddimah.(Riyad: Daar As-Salam, cetakan I, 1997).
Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah. Majmu’ Fatawa-Tafsir- (Makkah: Mathba’ah al-Hukumah, TT) juz. 13.
Wajidi Sayadi dalam Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu'i Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990 ).
__________, dalam Abd al-Hayy al-Farmawiy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i Dirasah Manhajiyyah Maudhu'iyyah ( Riyadh : Maktabah, 1976 ).
[1] Ibnu Katsir, Imaduddin. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim-Muqaddimah.(Riyad: Daar As-Salam, cetakan I, 1997) hal. 20
[2] Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah. Majmu’ Fatawa-Tafsir- (Makkah: Mathba’ah al-Hukumah, TT) juz. 13 hal, 375.
[3] Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim-Muqaddimah. Hal.13
[4] Abdullah bin Su’ud Al-Badr, Tafsir Ummul Mukminin Aisyah Radiyallahu Anha, terj. Tafsir Aisyah Ummul Mukminin, (
[5] Menurut Wajidi Sayadi dalam Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu'i Pada Masa Kini, ( Jakarta : Kalam Mulia, 1990 ), h. 62
[6] Menurut Wajidi Sayadi dalam Abd al-Hayy al-Farmawiy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i Dirasah Manhajiyyah Maudhu'iyyah ( Riyadh : Maktabah, 1976 ) h.23
[7] al-Qur'ân surah Hud [11] ayat : 85
[8] al-Qur'ân surah ar-Rahman [55] ayat 9
[9] al-Qur'ân surah an-Nahl [16] ayat 90
[10] al-Qur'ân surah as-Shad [38] ayat 22
[11] al-Qur'ân surah al-Hujuraat [49] ayat 9
[12] al-Qur'ân surah al-Mâidah [5] ayat 8
[13] al-Qur'ân surah An'âm [6] ayat 115
[14] al-Qur'ân surah al-Mumtahanah [60] ayat 8
[15] al-Qur'ân surah ath-Thalaq [65] ayat 2
[16] al-Qur'ân surah an-Nisaa [4] ayat 3
[17] al-Qur'ân surah an-Nisaa [4] ayat 129