Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Thursday, July 9, 2009

System Ekonomi Alternatif

PENDAHULUAN
Dengan Nama Allah yang begitu mulia meliputi semesta alam yang indah ini, penulis insya Allah kan menyampaikan kemuliaan yang terkandung dalam sistem ekonomi yang berasaskan islam dalam sebuah makalah sederhana yang diambil dari beberapa sumber yang ahli dibidangnya. Makalah ini bertujuan untuk membuka mata hati kita tentang keindahan Islam, dalam hal ini bagaimana Islam menjaga sebuah tatanan perekonomian agar sesuai dengan kaidah dasar manusia yang social dan capital. Penulis akan menyampaikan kebobrokan kapitalisme dan kehancuran sosialisme dan merkantalisme di belahan dunia, dan tidak lupa penulis juga menyampaikan tentang system ekonomi islam dan sedikit tentang system ekonomi Pancasila.

SISTEM EKONOMI
Dalam sejarah kita menjumpai berbagai ideologi ekonomi. Ideologi tersebut menjadi dasar terciptanya beraneka sistem ekonomi yang mempengaruhi perkembangan masyarakat dunia. Kamanto Sunarto (dalam Kornblum) mengindentifikasikan tiga ideologi ekonomi : merkantilisme, kapitalisme, dan sosialisme serta beberapa variasi darinya seperti sosialisme demokratis dan walfare capitalism.
Ketiga Ideologi ini dalam sejarah mempunyai kurun waktu tertentu dan menjelma menjadi kekuatan adidaya. Kekuatan ideologi Islam runtuh tahun 1924, yaitu bertepatan dengan Khalifah Usmaniyah. Kita tentu juga memahami sejak tahun 1991 ( yaitu runtuhnya Uni Soviet ) hanya ada satu kekuatan Ideologi yang akhirnya berkuasa dan adidaya saat ini yaitu Kapitalisme dibawah pimpinan AS.
Dari Kapitalisme muncul paham derivat yaitu demokrasi, liberalisme, pluralisme, materialisme, neoliberalisme. Sudah merupakan kesepakatan para negarawan dan rahasia umum bahwa ideologi akan menjelma kekuatan yang real jika di ambang sebuah negara.
Menurut penulis, penganut ideologi kapitalisme / sosialisme sendiri selamanya tidak akan rela memberi kesempatan ideologi lainnya tumbuh, muncul dan berkembang sehingga mengurangi dominasi dan kekuatannya. RRC, Korut, Vietnam, Cuba hingga kini menjadi duri-duri bagi dominasi AS. Sebagian Umat Islam yang berusaha menganut ideologi Islam sepenuh hati pun demikian.
Steorotipe buruk dan negative pun ditempelkan pada siapa saja yang berkeinginan ideologi lain tumbuh. Hal itu dimaksudkan agar orang lain membenci, menjauhi, menentang dan mungkin menghujat upaya pertumbuhannya. Walau terkadang tanpa disadari oleh orang yang membenci, menghujat dan menolaknya, ideologi alternatif lain itu ( Islam ) berasal dari asas akidah murni yang ia pilih.
Menurut hemat saya, Ideologi bukanlah agama. Namun bisa jadi sebuah agama sekaligus ideologi. Sebab, ideologi mencakup dua subtansi: asas / akidah dan aturan kehidupan ( syariat ). Masing-masing ideologi memiliki asas / akidah dan aturan.
Agama sendiri berasal dari bahasa sansekerta, a= tidak, gama= kekacauan. Agama sendiri sering disandingkan dengan akidah spiritual tanpa aturan kehidupan atau syariat.
Orang muslim yang bisa saja ia berakidah Islam namun berideologi kapitalisme ( plus derivatnya liberalisme, demokrasi) atau bisa juga berakidah Islam namun berideologi marxisme ( sosialisme komunisme ).
Bagi seorang muslim untuk menjadi kaffah seharusnya ia berakidah Islam dan berideologi Islam. Jadi Islam sebenarnya adalah merupakan satu-satunya agama berideologi.
Lalu bagi pemeluk agama lain, mereka memiliki akidah agama-agamanya masing-masing dan kemungkinan memilih satu dari tiga pilihan yaitu kapitalisme, sosialisme dan Islam.
Non muslim tetap dengan memeluk bebas agamanya dengan aturan kehidupan bisa jadi berasal dari buah kapitalisme, sosialisme atau Islam.
Yang saya pahami, karena saya muslim, untuk Negara yang seluruhnya menerapkan asas dan syariat Islam ( khalifah atau daulah Islam ) ada pengkhususan mengenai bagi penganut non-muslim.
Khusus untuk wilayah komunitas non-muslim yang seluruh penduduknya non muslim dan menjadi warga negara khalifah, mereka diperbolehkan tetap menganut agamanya masing-masing. Selain itu dalam wilayah komunitas non muslim tersebut, aturan sehari-harinya sudah seharusnya memakai aturan agamanya masing-masing di wilayah tersebut.
Di wilayah tersebut mereka diperbolehkan minum, makan, berpakaian, menyelenggarakan upacara keagamaan, menikah, memasang symbol-simbol agama.. Baru ketika pada aturan berinteraksi ( muamalah ) memakai aturan Islam. Misalnya ekonomi memakai bagi hasil ( mudharabah ), non riba, tidak boleh mengurangi timbangan dll. Dari sisi hak dan kewajiban sebagai warga negara baik non muslim dan muslim adalah sama.
Kondisinya sekarang bila khilafah tidak ada, siapa pun tak bisa menuntut untuk diperlakukan seperti ketika khilafah ada.

Kegagalan MARXISME DAN KAPITALISME
Sebelum penulis memaparkan tentang Sistem Ekonomi Islam, terlebih dahulu penulis akan memberikan beberapa kegagalan MARXISME DAN KAPITALISME ada baiknya kita mempertimbangkan alternatif lainnya.
Meskipun kita menganggap krisis ini sebagai krisis sistem ekonomi kapitalis, ini tidak bermakna sistem ekonomi kapitalis akan musnah seperti yang berlaku kepada sistem ekonomi komunis-sosialis. Ini kerana kapitalis yang sebenarnya yaitu Amerika Syarikat dan sekutu Baratnya masih kokoh untuk jangka waktu yang mungkin lama. Kegagalan sistem ekonomi komunis-sosialis dulu agak mudah untuk diprediksi dan diterangkan kerana sistem itu sendiri hakikatnya beroperasi tidak selari dengan tabii manusia justeru tidak mempunyai keanjalan untuk menyesuaikan peranannya bagi kebaikan manusia.
Sistem ini dengan mudahnya akan hancur, bukan kerana faktor ideologi politik dan kekuatan militer, ia tidak perlu menunggu sehingga berusia tiga abad untuk menutup buku sejarahnya. Tetapi sistem ekonomi kapitalis tampak istimewa sifatnya karena ia mampu menyesuaikan diri dalam beberapa keadaan dan fitrah manusiaoleh karena ia mampu diterima dan diterapkan. Oleh kerana sistem ekonomi kapitalis mendapat penerimaan yang baik di kalangan umat manusia selama ini ia dianggap satu-satunya sistem ekonomi yang patut diterapkan.
Dengan itu juga disiplin ekonomi sebagai kajian akademik dilhamkan, dirancang, disusun, dilaksanakan berdasarkan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis sebenarnya menjadi satu absolute paradigme yang diajarkan kepada mereka yang belajar ekonomi sebagai benar, sah, praktikal, pragmatik dan seumpamanya. Justeru tidak mungkin bagi mereka yang diasuh dalam absolute paradigm ini untuk keluar dari kerangka paradigma itu.
Diantara unsur penting dalam paradigma sistem ekonomi kapitalis ialah ide mengenai :
(I) Sifat rasional manusia sebagal pelaku ekonomi yang bertindak untuk kepentingan pribadi.
(II) Berharap kepada penumpukan kapital dan modal sebagai penggerak aktivitas ekonomi.
(III) Penekanan kepada pertumbuhan Pembangunan sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi.
(IV) Penyerahan secara total kepada tekanan dan sentimen pasar untuk menentukan perjalanan aktivitas ekonomi
(V) Pengabaian kepada faktor selain ekonomi dalam melihat semua kegiatan ekonomi.

Ini sebenarnya hanya sebahagian dari pada unsur yang membentuk paradigma ekonomi kapitalis. Unsur ini jika dipermudahkan boleh di istilahkan sebagai rasional agent, capital, growth, laissez faire dan ceteris paribus yang menjadi logos dalam menjadikan ahli ekonomi tergolong dalam logosentrisme. Kita sebenamya boleh membuktikan paling tidak ada lima unsur nama paradigma sistem ekonomi kapitalis ini berperanan secara langsung dalam meyebabkan krisis ekonomi global dan sesuai dengan yang kita alami sekarang.
Pertama, yang paling mudah kita ambil ialah bagaimana dalam sistem ekonomi kapitalis manusia diterima sebagai rasional dan untuk itu boleh bertindak untuk kepentingan peribadi.
Kedua, mobilisasi modal menjadi aktivitas paling significant dalam sistem ekonomi kapitalis sedangkan kita tahu modal bukanlah kapital yang sebenarnya dalam ekonomi. Justru Pasar uang dan saham tidak produktif dalam sistem ekonomi, ia lebih kepada transaksi dalam bentuk kertas dan bukan barang atau dalam perjanjian ekonomi.
Ketiga, kita selama ini lebih menitik beratkan kepada pertumbuhan ekonomi, tanpa memikirkan kesenjangan yang terjadi dari pesatnya pertumbuhan tersebut.
Keempat, tiada yang istimewa dari pasar global melainkan yang berkuasa akan memonopoli pasar itu. Pasar global atau l free-market lebih menjadi mitos dari realitas.
Kelima, ceteris paribus sistem ekonomi kapitalis gagal menganalisa faktor non ekonomi, pelaku ekonomi yang lebih menentukan arah aktivitas ekonomi daripada sifat rasional.
Sistem ekonomi kapitalis jelas bukan satu sistem yang sempurna. Begitu juga halnya dengan paradigma disiplin ekonomi semasa yang mendapat inspirasi daripada sistem ekonomi kapitalis juga bukanlah sempurna sifatnya. Oleh karena itu, ahli ekonomi harus berupaya keluar daripada perangkap paradigma ekonomi saat ini jika mereka mengambil peran secara substantife dan contributife dalam menghadapi krisis ekonomi pada saat ini. Saat kita sibuk menyelesaikan masalah yang krusial dan tidak boleh hilang adalah perspektif untuk melihat perkara yang berlaku secara lebih global dan intelektual. Disiplin ekonomi saat ini, jika ingin menjadi disiplin ilmu yang deskriptif, preskriptif, normatif dan prediktif seharusnya mampu melihat masalah ekonomi yang kita hadapi sekarang dengan lebih proaktif dan tidak hanya sebagai pelapor fenomena yang berlaku apabila krisis ekonomi berakhir.
Dalam blog internet "IndoProgress" saya dapatkan artikel yang ditulis oleh Coen Husein Pontoh berjudul "Depolitisasi Pasca Mao". Di sana dipaparkan depolitisasi yang terjadi di RRC-Deng yang dimaknai dengan kaca mata gerakan Kiri Baru oleh Hui dan tampaknya diadopsi dalam artikel Coen ini, yang menurut pendapat saya mereka masih tetap dalam paradigma berfikir atau menganalisis dengan pendekatan yang Marxistis juga. Padahal sudah jelas kegagalan RRC-Mao dan Uni Soviet dalam cita-cita dan usaha mereka membangun "sorga di muka bumi" yang disebutMasyarakat Komunis yang cetak birunya adalah sistem ekonomi Marxis.
Marxisme itu tidak pernah terbukti berhasil memberikan pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik, karena yang dilahirkan di Uni Soviet dan RRC pada strata ekoniminya berupa pemerataan kemiskinan alias "neraka di dunia" dan bukan "sorga di dunia"; dan pada strata politiknya kediktatoran atas nama "diktator proletariat" yang jelas-jelas anti demokrasi. Dengan membuang sistem ekonomi Marxis yang hanya melahirkan pemerataan kemiskinan alias "neraka dunia" itu, tetapi tetap mempertahankan sistem politik kediktatoran yang mengandalkan kepada okol intel, polisi dan militer.
Dari 7 bekas negara jajahan Uni Soviet di Asia tengah ada 7 film dokumrnter yang menggambarkan tentang nasib wanita di sana, sebagai warisan dari zaman Uni Soviet masih hidup. Dalam film produksi Open Society itu terungkapkan kemiskinan ditingkat rakyat yang sampai sekarang belum tertalangi, ditambah lagi bagaimana rendahnya pandangan masyarakat terhadap gender wanita di sana. Film itu dengan jitu menggambarkan bagaimana terbelakangnya kehidupan di bekas-bekas jajahan
Uni Soviet di Asia Tengah itu.


DUA TEMPURUNG
Itulah yang bisa kita baca pada realita kehidupan rakyat-rakyat di Uni Soviet dan RRC-Mao yang menunjukkan kegagalan sistem Marxisme di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Padahal sekian puluh tahun waktu telah dihabiskan oleh kedua rezim tersebut, juga sekian juta nyawa dipersempahkan sebagai korban sesajen untuk sabda-sabda sosial, politik, ekonomi, budaya, filsafat, dll. yang tercatat dalam kitab suci "Das Kapital" karya Dewa Marx (Penganut Materialisme yang Hegelian) itu.
Karenanya, usaha Wang Hui, dan tampaknya seperti diikuti oleh Coen, adalah tak lebih dari usaha menegakkan benang basah belaka, karena jelas membutakan diri terhadap hubungan genealogis antara kegagalan sebagai realitas di hilirnya dan Marxisme sebagai pangkal berangkatnya pergerakan di hulunya.
Ketidakmampuan membaca genealogi permasalahannya itulah, yang menyebabkan pemikir-pemikir Marxis seperti Wang Hui dan Coen Husain Pontoh dan kameradnya akan selalu terjebak untuk tetap berkutat di dalam kubangan di bawah tempurung Marxisme terus sampai akhir zaman. "No exit!" itulah yang terjadi pada para pemikir Marxis ini.
Deng sudah benar dengan berani keluar dari tempurung Marxisme itu, tetapi sayangnya dia terjebak oleh Berkeley Mafia, seakan-akan mengamini pernyataan Margareth Tatcher yang menyatakan tidak ada system ekonomi yang lain di luar Kapitalisme Neo-liberal. Padahal jelas terbukti di mana-mana sistem ini hanya mampu memberikan pertumbuhan ekonomi tapi tidak punya sistem pemerataan kecuali apa yang diharapkan dari teori trickle down effect itu saja, maka akibatnya akan selalu ada kesenjangan sosial-ekonomi antara yang diperkaya dengan yang dimiskinkan oleh struktur yang ada di dalam sistemnya itu.
Pertumbuhan ekonomi yang dibawa oleh Kapitalisme Neo-liberal itu adalah berupa lahirnya para konglomerat yang kuat dalam jumlah segelintir manusia saja, dan kelas menengah yang lumayan jumlahnya tapi tetap tak berdaya bagaikan busa yang mudah dihempaskan oleh gelombang "boom and bust" yang juga tak terhindarkan di dalam sistem ini, dan akhirnya selebihnya adalah yang tergolong tidak kaya, miskin atau di bawah garis kemiskinan. Inilah kubangan lain lagi, yaitu yang berada di bawah tempurung system Kapitalisme Neo-Liberal.
Harusnya Deng jangan terlalu cepat dalam mencari jalan keluar dari realitas kegagalan Marxisme itu. Bahwa perlakuannya terhadap Marxisme sudah benar, yakni harus diperlakukan dengan "forget it!" dan juga seharusnya menolak Kapitalisme Neo-Liberal yang diajarkan oleh Berkeley Mafia. Tapi nyatanya RRC mengundang profesor Berkeley Mafia untuk mengajarkan ilmu ekonomi kapitalis di Nanjing University sebagai awal usaha memasuki era ekonomi Kapitalisme untuk RRC. Sementara system ekonominya sudah berubah, sistem politiknya tetap otoriterian "diktator proletariat" warisan dari Marxisme.

ALTERNATIF DI LUAR TEMPURUNG
Kelompok pemikir dan peneliti yang bergabung di dalam Forum on Globalization (IFG) telah melakukan telaah terhadap dampak globalisasi Kapitalisme Neo-Liberal ini, sebagaimana bisa dibaca hasilnya berupa kumpulan tulisan para ahli berbagai bidang dalam "The Case Against the Global Economy" (1996) itu. Kelompok ini juga menawarkan jalan keluarnya, yang jelas bukan Marxisme, melainkan mereka rumuskan dalam kumpulan tulisan dalam buku "Alternatives to Economic Globalization" (2002). Seperti juga diungkapkan dalam dua buku David C. Korten "When Corporations Rule the World" (1995) dan "The Post-Corporate World" (1999).
Buku-buku semacam itu, yang memuat pandangan-pandangan alternatif di
luar Kapitalisme Neo-Liberal dan Marxisme sudah banyak beredar, dan pengaruhnya besar sekarang, baik di AS maupun di Amerika Latin dan Eropa. Jadi, Tatcher tidak benar, karena masih banyak alternatif lain di luar yang dua itu. Yang pertama harus dilakukan adalah menempatkan yang dua warisan masa lampau itu sebagai model yang sudah kedaluwarsa. Ucapkanlah "forget them!" dan mulailah dengan
mempertimbangkan sejumlah tawaran alternatif, mana yang pas untuk lokal masing-masing. Kalau tidak ada yang pas, maka carilah dari menelaah lokal sendiri untuk mendapatkan diagnose yang pas untuk lokalnya itu. Forget IMF dan lain-lain itu!
Di Amerika Latin, yang menonjol adalah pengaruh pemikiran para pencari alternatif ini pada Presiden Brazil yang terkenal dengan nama panggilan "Mr Lula" dalam praktiknya sebagai pemimpin --- dan dia sukses, antara lain telah menghilangkan kemiskinan struktural di daerah urban perkotaan yang kemudian melahirkan ladang enerji etanol sebagai alternatif terhadap oil. Etanol dibuat dari tebu. Dulunya ladang-ladang ini ditinggalkan akibat urbanisasi dan industrialisasi
akibatnya daerah agraria berubah menjadi ladang penanaman bahan narkotik. Tapi sekarang ladang-ladang itu menjadi sumber cikalbakal ethanol! Dan pemerintah Lula melindungi petani tebu dari himpitan pasar bebas (free market) yang bisa saja menjatuhkan harga pasar ke titik rendah yang bisa merugikan petani tebu itu, dengan menerapkan system pasar-adil (fair market).
Ini salah satu contoh bagaimana politik ekonomi bisa dicari di luar Kapitalisme dan Marxisme/Komunisme. Bahwa Tatcher ternyata tidak benar, sebab masih banyak alternatif di luar dua tempurung produk para pemikir masa lampau itu.

SISTEM EKONOMI ISLAM
Setelah penulis memaparkan beberapa sistem ekonomi, tentunya kita perlu mencari sebuah sistem alternative yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Sebagai masyarakat agamis yang juga menganut azas islam yang diimplementasikan ke dalam kaidah ekonomi, yang lazim kita sebut dengan ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam tidak sama dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Ia berbeda dengan sistem ekonomi yang lain. Ia bukan dari hasil ciptaan akal manusia seperti sistem kapitalis dan komunis. Ia adalah wahyu dari Allah SWT yang diaplikasikan kepada kaidah ekonomi yang berlaku. Sistem ciptaan akal manusia ini hanya membicarakan permasalahan lahiriah semata tanpa menitik beratkan soal hati, roh dan jiwa manusia. Hasilnya, sistem lahiriah itu sendiri tidak tercapai dan manusia menderita dan tersiksa. Berlaku penindasan, tekanan dan ketidakadilan. Yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Ekonomi Islam sangat berbeda dengan system yang ada.
Di antara ciri-ciri ekonomi Islam ialah:
1. Melibatkan Tuhan,
Orang Islam berekonomi dengan niat kerana Allah dan mengikut peraturan dan hukum-hukum Allah Taala. tujuannya adalah untuk mendapat redha dan kasih sayang Allah. Syariat lahir dan batin ditegakkan dan hati tidak lalai dari mengingat Tuhan. Aktivitas berniaga dianggap zikir dan ibadah kepada Allah SWT. Ia adalah jihad fisabilillah dan menjadi satu perjuangan untuk menegakkan Islam dan mengajak manusia kepada Tuhan. Sesibuk apapun dalan hal perniagaan, Allah SWT tidak pernah dilupakan. Berekonomi dan berniaga secara Islam adalah di antara jalan untuk menambah taqwa.
2. Berlandaskan taqwa.
Kegiatan ekonomi dalam Islam merupakan jalan untuk mencapai taqwa dan melahirkan akhlak yang mulia. Ini adalah tuntutan Tuhan. Kalau dalam sistem ekonomi kapitalis, modalnya uang untuk mendapatkan uang, tetapi dalam ekonomi Islam modalnya taqwa untuk mendapatkan taqwa.
Dalam Islam, berekonomi adalah untuk memperbesar, memperpanjang dan memperluaskan syariat Tuhan. Ekonomi itu jihad dan ibadah. Oleh itu tidak boleh terkeluar dari konsep dan syarat-syarat ibadah. Kegiatan ekonomi atau perniagaan yang dibuat itu tidak haram dan tidak melibatkan perkara-perkara yang haram. Ibadah asas seperti solat, puasa dan sebagainya tidak boleh ditinggalkan. Kalau solat ditinggalkan, ibadah berekonomi sepertimana juga ibadah-ibadah yang lain akan dengan sendirinya tertolak.
Hasil dari ekonomi yang berlandaskan taqwa, akan lahir ukhuwah dan kasih sayang, mendahulukan kepentingan orang lain dan berbagai sifat-sifat yang luhur. Semua yang terlibat dengan kegiatan ekonomi Islam ini akan menjadi tawadhu’ dan rendah diri. Akan hilang segala penindasan, penekanan, penzaliman dan ketidakadilan. Ketakutan dan kebimbangan akan lenyap. Akhirnya masyarakat madani yang diidam-idamkan selama ini dapat tercapai.
Ekonomi Islam lebih mementingkan sifat taqwa daripada modal financial yang besar. Ilmu, pengalaman, skill, kekayaan alam dan sebagainya. Orang bertaqwa itu ditolong Tuhan seperti dalam firman-Nya maksudnya:
“Allah itu pembela bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al Jasiyah: 19).
Orang yang bertaqwa itu, usahanya sedikit tetapi hasilnya banyak. Apalagi kalau usahanya banyak. Kalau orang yang bertaqwa menghadapi masalah, Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dan dia diberi rezeki oleh Allah dari sumber-sumber yang tidak disangka-sangka.
3. Penuh suasana kekeluargaan
Dalam Perusahaan yang islami akan timbul rasa kekeluargaan diantara Atasan dan Bawahan, tidak terjadi batas antara mereka karena mereka bekerja dalam suasana kekeluargaan. Ada profesionalitas kekeluargaan, seperti tanggung jawab seorang anak ( Bawahan ) kepada Orang Tua ( Atasan ) mereka.
4. Penuh kasih sayang
Islam menganggap berekonomi itu ibadah. yaitu ibadah kepada sesama manusia. Manusia lah yang Tuhan tuntut supaya berkasih sayang.
Justru itu, pelaku ekonomi islam menganggap bahwa semua relasi adalah saudara dan memperlakukan mereka layaknya seperti saudara. Setiap relasi bisnis dan kustumer dianngap tamu agung. Mereka datang membawa rahmat dan kembalinya menghapuskan dosa. Pelanggan jugalah orang yang membantu mereka memperbaiki dan mendidik hati. Oleh karena itu, Relasi dan rekan sungguh mahal dan sungguh istimewa. Mereka diberi kemesraan dan kasih sayang. Kalau ada relasi yang memerlukan barang dan jasa tetapi ternyata tidak mampu membayar tagihannya, maka diberika kelonggaran untuk membayar tagihan tersebur menurut kemampuan relasi tadi. Kalau dia fakir dan miskin hingga tidak mampu membayar langsung, maka menjadi tanggung jawab pihak yang berniaga pulalah untuk memberikan keperluannya itu dengan Cuma-cuma. Tuhanlah yang akan membayarkan untuknya. Inilah ekonomi taqwa dan kasih sayang.
Dalam ekonomi kapitalis, tidak ada kasih sayang. Mereka hanya memerlukan profit dan memperbanyak relasi bisnis. Jangankan hendak membantu manusia, bahkan mereka sanggup menyusahkan, menekan, menindas dan menipu manusia dalam proses mengejar profit tersebut.
5. Keuntungan perdagangan untuk masyarakat
Dalam ekonomi Islam, keuntungan ada dua bentuk. Satu adalah keuntungan maknawi dan satu lagi keuntungan maddi (material). Islam mengajar ahli ekonomi dan perdagangannya untuk mengutamakan untung maknawi daripada untung material. Kalaupun ada keuntungan material, ia perlu dihalakan semula dan diperguna untuk kepentingan masyarakat. Islam tidak menganjurkan keuntungan material ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, kelompok atau golongan. Keuntungan boleh diambil sekedar perlu tetapi selebihnya mesti dikembalikan kepada Tuhan melalui bantuan kepada fakir miskin dan masyarakat. Inilah apa yang dikatakan bersyukur.
Ekonomi Islam lebih mementingkan jasa / pelayanan kepada masyarakat daripada mengumpulkan keuntungan material yang besar. Keuntungan material kalaupun ada, perlu disalurkan semula kepada masyarakat.
6. Tidak ada hutang berunsur riba
Islam tidak membenarkan riba. yaitu pinjaman berbunga tetap untuk jangka masa yang tertentu. Islam mempunyai cara system tersendir tersendiri . Antaranya ialah mudharabah, musyarakah, berkorban dan sebagainya.
Riba menimbulkan berbagai masalah dan krisis. Ia sangat menekan, menindas dan mencekik si peminjam. Orang atau badan usaha yang memberi pinjaman riba menjadi kaya tanpa usaha. Dia menjadi kaya atas titik peluh orang lain. Riba dalam ekonomi membuatkan harga barang dan jasa menjadi tinggi karena intimidasi. Usaha ekonomi yang berasaskan riba juga takluk kepada tekanan karena semakin lama pinjaman tidak dibayar, maka bunganya akan lebih besar.

Konsep Dunia Islam
Pandangan sistem ekonomi Islam terhadap beberapa masalah berasaskan kepada 3 konsep yaitu tauhid, khalifah dan keadilan.
Konsep tauhid adalah asas falsafah yang paling penting. Tauhid membawa maksud bahwa alam ini diciptakan oleh Allah Yang Esa dan semuanya dijadikannya ada faedah yang tersendiri. Allah mengaruniakan manusia kebebasan kehendak, kerasionalan dan kesadaran moral yang harus tumbuh bersama kepercayaan kepada Allah s.w.t.
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi ini. Allah Maha Mengetahui dengan menyampaikan risalahNya lewat Nabi Muhammad s.a.w. Rasulullah dan nabi-nabi seperti Musa, Ibrahim, Isa dan yang lain diutuskan sebagai pembimbing manusia ke jalan yang benar.
Manusia akan mencapai al-falah seandainya mereka mengambil dan mengamalkan segala ajaran para Rasul dala kehidupan. Balasan yang baik dan buruk akan diberikan kepada setiap hamba-hambanya. Setiap manusia, tanpa mengira hak keistimewaan individu atau ahli-ahli yang berpengaruh dalam sesebuah kaum, kumpulan ataupun negeri adalah khalifah. Khilafah pada dasarnya tertegak daripada asas kesepaduan dan persaudaraan sesama insan.
Persaudaraan yang dimaksudkan di sini haruslah disertai dengan keadilan seperti yang telah dijelaskan dalam Al-quran. Sesungguhnya, keadilan adalah objektif utama perlu ditegakkan oleh para Rasul ke muka bumi ini. Al-quran telah meletakkan bahawa keadilan adalah ‘ketaatan pada agama’.
Hal ini bermaksud bahawa ketaatan atau pembangunan moral ini adalah salah satu cara mendekati diri dengan Penciptanya iaitu Allah s.w.t melalui mematuhi segala perintah yang terkandung dalam Al-quran dan Sunnah.

SISTEM EKONOMI PANCASILA
Selain itu di Negara kesatuan Indosia kita juga mengenal istilah Sistem Ekonomi Pancasila yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD ’45, yang sering diistilahkan dengan Sistem Ekonomi Koperasi.
Sistem Ekonomi Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu :
1. Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajat hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan / hasil bumi, dan lain sebagainya.
2. Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
3. Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
4. Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.

Dalam kemajemukan dan masyarakat yang pluralis tentunya Sistem ekonomi Pancasila sangat tepat di gunakan di Negara Kesatuan Republik Indonesia melawan berbagai sistem global yang menjamur di belahan dunia lain.
Menurut Moh. Hatta ( 1955:80 ), “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah Koperasi”.
Hubungan antar anggota koperasi satu dengan yang lainnya harus mencerminkan oran0orang bersaudara untuk melaksanakan self-help dan otoaktiva guna kepentingan bersama melalui rasa solidarita dan individualita.
Dasar perekonomian rakyat mestilah usaha bersama, dikerjakan secara bersama, dikerjakan secara kekeluargaan. Kperasi paham Indonesia, memberikan segi ekonomis kepada koperasi sosial yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu gotong royong.
Dalam hubungan dengan sistem ekonomi, bisa kita simpulkan bahwa sistem ekonomi Pancasila yang demokratis dan berkeadilan sosial adalah sistem ekonomi yang mampu menjamin keadilan ekonomi, dan sekaligus menjamin pembagian (distribusi) yang adil setelah proses produksi terselesaikan. Adanya tiga bangun usaha dalam perekonomian tidaklah menghambat perwujudan keadilan ekonomi dan keadilan sosial.
Dapat disimpulkan dari uraian diatas bahwa sistem ekonomi Islam dan sitem ekonomi Pancasila memiliki banyak kesamaan dan memiliki visi yang sama yaitu keadilan bagi seluruh masyarakat, bukan bagi sekelompok orang.

Read more...

Budaya Permisif ( serba boleh )

ILMU KALAM

BUDAYA SERBA BOLEH ATAU PERMISIF

A. Pendahuluan

Kebudayaan merupakan rumusan-rumusan yang akan kita dapatkan, tetapi dalam tulisan ini kita akan melihat tentang kebudayaan yang telah di rumuskan oleh para ahli antropologi Amerika sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Spradley (1972). Yang melihat kebudayaan bukan sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide atau gagasan, kelakuan sosial dan benda-benda kebudayaan. Tulisan ini melihat kebudayaan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan oleh pendukungnya atau pelakunya untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang di hadapinya, dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang di hadapi. oleh karena itu, pengertian kebudayaan hal ini adalah pedoman menyeluruh bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebudayaan-kebudayaan adalah milik masyarakat, sedangkan individu-individu yang menjadi warga masyarakat tersebut mempunyai pengetahuan kebudayaan.

B. Pengertian Permisif

Secara harfiah permisif bersifat terbuka atau longgar atau serba boleh seperti masyarakat kita sekarang sudah lebih “terbuka” (menerima, membolehkan, mengizinkan), terhadap hal-hal yang dahulu dianggap tabu.

Peradaban modern merupakan buah dari berkembang pesatnya ilmu membuat segalanya mungkin, teknologi menjadikan segalanya menjadi mudah dan dunia terasa menjadi kecil. Kenyataan ini membuat hampir semua segi kehidupan menjadi terbuka, boleh dan serba boleh dimungkinkan (permisif). Inilah barangkali problema besar yang dihadapi oleh umat manusia pada masa sekarang ini.

Dibalik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban yang maju untuk dirinya sendiri. Tetapi pada saat yang sama, kita juga melihat umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil ciptaannya itu. Sejak manusia mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, agaknya pada saat itu ia telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran mistis yang irasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia. Akan tetapi, di dunia modern ini manusia tidak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan pada dirinya sendiri, bahwa dirinyalah yang menjadi penentu dan sentral segalanya, dan tolak ukur boleh atau tidak boleh adalah ukuran rasionalisme yang bebas terhadap ikatan nilai-nilai transedental. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah kebudayaan barat yang berkembang dari satu ekstrim ke ekstrim yang lainnya, yaitu dari alam fikiran barat jaman pertengahan yang berakar pada mitologi Yunani yang seolah-olah Tuhan membelenggu manusia ke alam humanisme secara revolusioner yang beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan atau Dewa tetapi pada manusia.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa di dunia barat dan dunia modern pada umumnya telah terjadi pergeseran konsepsi tentang manusia. Budayanya telah banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh mekanisme mesin, yang pada gilirannya membentuk budaya yang serba boleh, terbuka, dan apa yang selama ini dianggap tabu, sekarang dianggap sesuatu yang biasa.

C. Contoh Budaya Permisif

Salah satu budaya permisif misalnya kalau dulu di masyarakat kita, berjalan bersama antara wanita dan pria merupakan hal yang terlarang. Wanita hamil di luar nikah merupakan aib keluarga dan aib desa sehingga ada istilah “cuci kampung“ dengan menyembelih hewan dan sanksi sosial lainnya. Tetapi sekarang agaknya masyarakat telah menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan kecil saja. Demikian halnya, seperti budaya barat yang memberikan nasihat kepada anak mereka yang akan berangkat ke kampus. Misalnya dengan pesan “jangan lupa membawa pil KB”, maksudnya agar hubungan kelamin yang dilakukan menjadi save (aman). Di barat, kotak-kotak yang berisi kondom tersedia di kamar mandi umum, yang setiap orang bebas untuk mengambilnya. Di kampus-kampus juga sering dibagikan kondom, agar hubungang sex yang dilakukan para mahasiswa menjadi aman dari resiko kehamilan dan penyakit kelamin serta bahaya HIV AIDS. Inilah suatu gambaran budaya permisif yang telah melanda masyarakat industri di barat, yang sekarang sedang melangkah menuju negara kita, walaupun lambat, tetapi ada gejala menuju ke arah itu. Perilaku manusia telah condong mengikuti alam keterbukaan dan meninggalkan nilai-nilai etika moral dan moral agama.

D. Pandangan menurut Islam

Memformat budaya Islam berarti mewujudkan nilai-nilai Islam ke dalam prilaku sehari-hari. Yaitu menjadikan nilai Islam sebagai bagian inheren bagi kehidupan seseorang, keluarga, masyarakat atau bangsa di nusantara. Dan upaya mewujudkan nilai-nilai Islam ke dalam prilaku ini, idealnya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama lewat pendidikan: pendidikan adalah instrumen paling handal untuk melakukan internalisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai Islam. Kedua lewat proses pergaulan dalam keluarga: pergaulan semacam ini juga dapat menjadi instrumen paling handal untuk melakukan sosialisasi nilai-nilai termasuk nilai-nilai Islam. Ketiga lewat proses institusionalisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai Islam yang terjadi di masyarakat: masyarakat cukup handal sebagai instrumen institusionalisasi nilai-nilai, atau pelembagaan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai Islam. Keempat untuk melengkapi upaya memberi format budaya islam ini diperlukan upaya yang disebut infrastrukturisasi nilai-nilai. Upaya ke empat ini dilakukan dan berlangsung dalam lingkup bangsa dan negara. Jika dan seandainya ke empat instrumen itu bekerja dengan baik, singkron, sinergis dan berada dalam situasi normal, maka upaya untuk menformat budaya islam sehingga nilai-nilai islam terwujud dalam perilaku sehari-sehari umat islam dapat dilakukan.

E. Kesimpulan

Dalam konteks masyarakat serba boleh ini, segala kemungkinan dapat terjadi. Memudarnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terkikisnya semangat pruralisme, semakin tipisnya antara kebaikan dan keburukan, serta hilangnya identitas dan jati diri seseorang merupakan beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setiap saat. Dalam hal ini ada dua komponen dasar yang harus dijadikan sandaran utama, sehingga kita mampu membentengi diri di tengah kondisi masyarakat permisif yang semakin hari semakin jelas. Dua komponen tersebut adalah agama dan pendidikan.

Dalam pandangan penulis, merebaknya berbagai problematika sosial, sebagai imbas dari kondisi masyarakat permisif akhir-akhir ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan dalam setiap individu. Padahal, semua agama pasti mengajarkan seperangkat nilai moral kepada para pemeluknya demi terciptanya manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur dan kepribadian mulia. Dapat dipastikan, tidak ada satu agamapun di dunia ini yang menuntut pemeluknya untuk berbuat kejahatan, seperti : membunuh, mencuri, berzina, serta tindak kejahatan kemanusiaan lainnya. Dengan demikian agama sebagai naluri fitrah manusia, jika dipahami dan diaktualisasikan dalam kehidupan real merupakan pondasi utama bagi seseorang untuk membentengi diri dari perangai buruk dan perilaku tercela.

Selanjutnya, setelah agama menjadi pondasi awal untuk membentengi diri dari tindakan amoral dan asusila, komponen berikutnya adalah pendidikan. Pendidikan, seperti diungkapkan para pakar, sejatinya merupakan sarana pembentukan manusia sempurna yang mengedepankan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran dan keadilan.

Pendidikan yang baik bukan hanya sekedar transfer of knowledge (memindahkan pengetahuan). Menjejali anak didik dengan serangkaian ilmu pengetahuan semata, tanpa didasari oleh seperangkat nilai-nilai pendidikan yang substansial, seperti penanaman aspek keperibadian dan pembentukan sikap pendidikan yang sesungguhnya, selain sebagai sarana aktifitas belajar mengajar, seharusnya juga sebagai wadah penanaman nilai humanisme (kemanusiaan), pruralisme (kebersamaan), inklusivisme (tidak egois). Menurut penulis, pendidikan seperti inilah yang merupakan sarana efektif bagi anak-anak didik untuk menjalani kehidupan sosial di tengah masyarakat yang heterogen ini dengan penuh dengan toleransi dan kedamaian.

Dua komponen mendasar tersebut, yaitu agama dan pendidikan, jika dapat berjalan secara beriringan dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya, niscaya budaya serba boleh yang begitu gencar meliputi kehidupan kita dewasa ini, dapat kita antisipasi dengan baik. Sehingga, meskipun terpaan angin permisifisme begitu kencang, karena kita punya sandaran yang kokoh, maka nilai-nilai humanisme, pruralisme, inklusivisme tetap kita pegang teguh.

Read more...

Gender Dalam Perspektif Islam

ILMU KALAM
Gender Dalam Perspektif Islam
Oleh : Isma’il

I. Pendahuluan
Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan." ( HR. Bukhari ).
Hadits di atas merupakan landasan dari beberapa ulama’ yang melarang wanita untuk menjadi khalifah atau pemimpin suatu negara. Hal ini pulalah yang telah mengakibatkan beberapa pemikir-pemikir yang berasal dari barat untuk menyerang Islam lewat isu gender. Menurut pandangan penulis, perempuan yang dimaksud oleh Rasulullah SAW merupakan sifat seorang perempuan pada umumnya ketika Nabi SAW masih hidup. Perempuan yang disebut dalam hadits ini merupakan gambaran kelemahan dan ketergantungan seorang perempuan terhadap laki-laki. Hal inilah yang mengakibatkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa tidak akan bahagia suatu kaum yang di pimpin oleh seorang perempuan yang tergantung terhadap laki-laki. Nah, pada makalah ini saya tidak terlalu membicarakan tentang kepemimpinan seorang perempuan dalam Islam, tapi peranan seorang perempuan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum lelaki dalam persoalan amaliyah dan sosial kemasyarakatan.
Isu gender dalam persepektif Islam merupakan isu yang menarik dibicarakan di kalangan akademisi, karena banyak hal yang dapat kita gali dan kita pelajari untuk lebih mengetahui nilai-nilai serta kandungan di balik isu yang berkembang tersebut lewat kacamata Al-Qur’anul Karim dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam benak kita adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadap mereka. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang menanggap bahwa Islam adalah agama yang memicu kehadiran isu gender tersebut di dunia ini. Tentunya para orientalis yang berbasis misionarisme ini ingin mendiskreditkan umat Islam dengan mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak tentang islam dan gender.
Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban yang ada pada anatomi manusia, hak dan kewajiban itu selalu sama di mata Islam bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam mengedepankan konsep keadilan bagi siapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis kelamin mereka. Islam adalah agama yang telah membebaskan belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan tidak pernah mengedapankan dan menonjolkan salah satu komunitas anatomi saja. Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih sayang bagi siapa saja.
Rasulullah telah memberikan nasehat kepada para muslim agar mengormati dan menghargai perempuan seperti sabdanya : “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak tahu budi”. ( HR. Abu Asakir ).

II. Pengertian Gender
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan Gender.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan Gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine creation.
Engels memandang masyarakat primitiv lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan antara anak dan orang tua, istri dengan suami, yunior dengan senior dan sebagainya.


III. Gender Dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kudratnya masing-masing.
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49).
Para pemikir Islam mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1 :
”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..............”
Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan pasangannya adalah istrinya yaitu Siti Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.
Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195


” Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Maksud dari sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain adalah sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan:
” Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kotab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.

IV. Sintesa Teori dan Kendala Perjuangan Gender
Teori dan konsep Gender memang mudah nampaknya, namun aplikasinya bukan perkara gampang, butuh proses dan dukungan penuh serta partisipasi langsung dari masyarakat dunia, jika Gender memang menjadi pilihan utama untuk menyeimbangkan peran-peran individu dalam masyarakat global.
Berpijak pada kasus diatas sebagai contoh paling mutakhir kesetaraan gender belum berjalan optimal di tengah-tengah masyarakat”Indonesia”, betapa indahnya gagasan ini jika telah berjalan optimal, tentu akan berimbas positif pada pembangunan mental individu-individu, elemen terpenting bangsa Indonesia. Di mulai dari lingkup diri pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.
Menurut penulis ada dua faktor yang menghambat perjuangan gender
1. faktor internal yang merupakan faktor dari dalam diri perempuan itu sendiri, misalnya perempuan selalu mempersepsikan status dirinya berada di bawah status laki-laki, sehingga tidak mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk maju
2. faktor ekternal yaitu faktor yang berada diluar diri perempuan itu sendiri, dan hal yang paling dominan adalah terdapatnya nilai-nilai budaya patriarki yang mendominasi segala kehidupan di dalam keluarga masyarakat, sehingga menomor duakan peran perempuan

Selain itu, juga interprestasi agama yang bias gender, kebijakan umum, peraturan perundang-undangan dan sistem serta aparatur hukum yang dikriminatif serta bias gender, baik di pusat maupun daerah. Di samping itu juga masih kuatnya budaya sebagian besar masyarakat yang menganggap perempuan kurang berkiprah di ruang publik, ditambah dengan adanya ajaran agama yang dipahami secara keliru, membuat perjuangan perempuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender semakin sulit tercapai.

V. KESIMPULAN
Ketimpangan peran gender sebagai suatu permasalahan, serta sisi gelap perilaku-perilaku yang di kaitkan dengan maskulin tidak bisa hanya didekati melalui prespektif perempuan saja, namun juga harus secara empati melihatnya dari sisi pria.
Menurut teori dan paradigma konflik peran gender, sosialisasi yang berlebihan dalam hal norma-norma maskulin, di tengah lingkungan yang seksis dan patrichitlah yang berperan dalam hal peran gender, diskriminasi terhadap wanita serta timbulnya sisi gelap perilaku yang di kaitkan dengan maskulin seperti kekerasan terhadap wanita, perkosaan, pelecehan seksual dan lain-lain.
Konflik peran gender merupakan implikasi dari permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidak sadaran atau perilaku yang disebabkan oleh peran-peran gender yang dipelajari pada masyarakat yang seksis dan patriarchal.


“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.


Read more...

Kebebasan Menurut Perspektif Jabariyah dan Qadariyah

ILMU KALAM

Kebebasan Menurut Perspektif Jabariyah dan Qadariyah

A. Pengertian Kebebasan

Wacana kebebasan menemukan momentum pengikraran, sekaligus juga meretas ketidakpastian makna kebebasan itu sendiri. Jika merujuk kepada pengertian sederhananya, dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, seperti: lepas sama sekali, lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut, tidak di kenakan hukuman, tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dan merdeka (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud,1990,90). Pengertian etimologi ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena jika itu terjadi maka akan melahirkan ketidak bebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, etika maupun budaya keterikatan makna bebas dangan konsepsi keagamaan, etika dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan subyetif. Karena setiap agama dan budaya memiliki atuaran dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang di reduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu.

Agama islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan ( hurriyah ). Dalam kitab al- Mausu’ah al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefinisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meningalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem islam, baik akidah maupun moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan :

1. Kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan

2. Kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah) bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga :

a. al-Tabi’iyah yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat.

b. al-Siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undagan

c. al-Diniyah, kemampuan atas keyakina terhadap berbagai mazhab keagamaan.

Dari sini jelas sudah, bahwa kebebasan yang sedang berkeliaran dinegeri ini terserabut dari definisi keagamaan.

B. Ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang kebebasan

Ayat-ayat yang membawa kepada paham Qadariah

Artiya : “Bahwasanya Allah tidak bias merubah nasib suatu kaum, kalau tidak mereka sendiri merubahnya” (Ar-Ra’d:11)

Perhatikanlah ayat diatas, kata mereka Tuhan tidak biasa atau tidak kuasa merubah nasib manusia kecuali mereka sendiri yang merubah nasibnya. Kekusaan Tuhan dalam masalah ini tak ada lagi, karena sudah diberikan nya kepada manusia, menurut kaum Qadariah.

Dikemukan lagi sebuah ayat:

Artinya: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menganiyaya Dirinya sendiri, kemudian ia minta ampun kepada Tuhan, nicaya akan diperolehnya, bahwasannya Tuhan itu pengampun dan penyayang”(An Nisa:110)

Jelas dalam ayat ini, kata mereka bahwa orang-orang itu sendirilah yang membuat dosanya, bukan Tuhan. Kalau Tuhan yang membuat dosa hamba-Nya tentulah Ia menganiaya hamba-Nya itu, ini mustahil karena tuhan tidak menganiaya hamba-Nya.

Ayat-ayat yang membawa kepada paham Jabariyah


Artinya: “bagi manusia (upah) apa yang di usahakannya dan atas manusia (hukuman) apa yang diusahakannya”. (Al Baqarah: 286).

Ayat di atas menjelaskan manusia akan dapat pahala kalau ia mengusahakan pekerjaan yang baik dan akan diberi azab (hukuman) kalau ia mengusahakan yang buruk.

Di kemukakan lagi ayat:

Artinya: “pada hari itu (hari akhirat) setiap diri menerima balasan menurut yang diusahakannya. Tidak ada ketidakadilan pada hari itu. Sesungguhnya Tuhan amat cepat membuat perhitungan” (Al Mu’min : 17 )

Melihat pada ayat-ayat seperti yang tersebut di atas, tidak mengherankan kalau paham Qadariah dan paham Jabariyah, walaupun penganjur-penganjurnya yang pertama telah meninggal dunia,masih tetap terdapat di dalam kalangan umat Islam.

C. Pandangan Kaum Jabariyah Tentang Kebebasan Manusia

Kehendak dan perbutannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak Kaum Jabariyah berpendapat, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan mutlak Tuhan. Dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada’ dan kodar Tuhan.

Menurut Jahm yang merupakan penganut paham Jabariyah ini mengatakan: manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbutan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan di ciptakan Tuhan di dalam diri manusia tak ubahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu, manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya,tetapi dalam arti majasi / kiasan: tak ubahnya sebagaimana disebut, air mengalir, batu bergerak matahari terbit dan terbemam dan sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya masuk didalamnya perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban, menerima pahala, dan menerima siksaan.

D. Pandangan kaum Qadariah tentang kebebasan manusia

Kaum Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Menurut Ghailan yang merupakan penganut paham Qadariah ini mengatakan, bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya : Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-pebuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan / menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Disini tak terdapat paham yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatan-pebuatannya hanya betindak menurut nasibnya yang telah di tentukan semejak ajal.

Mereka bependapat, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan manusia dan apa yang di perbuat manusia tidak diketahui oleh Allah sebelumnya, tetapi tuhan mengetahui setelah diperbuat oleh manusia.Jadi,pada waktu sekarang tidak bekerja lagi karena kodratnya diberikannya kepada manusia dan ia hanya melihat dan memperhatikan saja. Kalau manusia mengerjakan perbuatan yang baik maka ia akan diberi pahala oleh Tuhan karena ia telah memakai kodrat yang di berikan tuhan sebaik-baiknya, tetapi ia akan di hokum kalau kodrat yang diberikan Tuhan kepadanya tidak dipakai.

E. Kesimpulan

Menurut pandangan saya bahwa kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak – bebasan itu sendiri. Karena, tidak satupun prilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifit ilahiyah ( ketuhanan ) maupun insaniyah (kemanusiaan ). Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan “pengikat “ yang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq (lepas) tapi muqayyad (terbatas)

Kaum qadariah adalah kaum yang memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh daya mereka sendiri bukan oleh Tuhan; lain halnya dengan kaum jabariah, kaum jabariyah adalah kaum yang memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh Tuhan bukan manusia.

Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasn manusia sebenarnya,hanyalah memilih hukum alam mana yang akan di tempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan karena paham Qadariah biasa di salah artikan mengandung paham,bahwa manusia adalah bebas sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.

Daftar Pustaka :

Ali, A. Mukti dkk (Ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988.

Al-Qur’an Digital_(http://www.alquran-digital.com)

K.H ‘Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlu Sunah Wal Jama’ah, Bandung : Karya Nusantara, 1987

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta : Universitas Indonesia ( UI Press ), 2007.

Read more...

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP