Tasawwuf
Kata Pengantar
Alhamdulillah, Segala Puji bagi Allah yang ditanganNya segala kekuasaan dan hanya kepadaNya kita layak meminta pertolongan. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dengan mengucapkan syukur Al-hamdulillah akhirnya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan, semoga ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya dan bermanfaat bagi seluruh rekan mahasiswa. Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada Dosen Pengampu yang telah memberikan kesempatan untuk mempresentasikan makalah ini kepada rekan-rekan mahasiswa sekalian.
Semoga Allah memberikan ilmu kepada kita semua, sebagaimana Allah memberikan ilmu tersebut kepada hamba-hambaNya yang terdahulu. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Pendahuluan
Di dunia modernisasi, pendekatan tasawuf menjadi alternatif dalam memasuki wilayah religius. Melihat dan merasakan sejauh mana potensi hati dan keutuhan jiwa untuk masuk kedalam dunia sufisme. Ketika kita mengkaitkan Tasawuf Irfani dengan metodologi klasik dalam bertasawuf seolah mendapat “imbangan” dalam mempraktikkan tasawuf untuk lebih masuk pada wilayah syar’i. Meski tidak dapat dipungkiri, wilayah akhlaki dan falsafi juga harus memiliki peran penting untuk membungkus itu semua. Membiarkan seluruh tubuh secara lahir dan batin untuk masuk pada penghambaan yang sempurna di sisi Allah SWT.
Penalaran Irfani
Setelah dunia Islam mengalami kontak kebudayaan dengan budaya luar dan mulai mengadopsi khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuno), khususnya dari tradisi Persia, maka nalarpun mulai berkembang dalam diskursus intelektual Islam dan melahirkan epistemologi irfani. Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu kepada pengalaman batiniyyah; misalnya intuisi.
Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual dengan daya-daya rohaniah samawi dan menganggap rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa manusia dengan Tuhan, bukan rasio yang mampu menerima pengetahuan dari sumber aslinya (Tuhan) melainkan hati (intuisi) yang telah mengalami kondisi kasyf.
Pendekatan irfani ini biasanya digunakan oleh ahli tasawuf. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ini memang tidak boleh dinafikan sama sekali. Namun, penggunaannya secara berlebihan juga akan menimbulkan masalah pada masyarakat awam yang mungkin tidak memahaminya secara mendalam. Hal ini memang telah diterapkan sepenuhnya oleh Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin, di mana beliau menggangap bidang fiqh perlu dikaitkan dengan elemen sufisme untuk mendapatkan intisari ketakutan terhadap akhirat kepada masyarakat Islam awam secara umum.
Orang-orang suci yang telah mencapai maqam walāyah dan nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tersebut sehingga terjaga dari kesalahan (`ishmah). Jenis pengetahuan semacam ini dianggap berada pada posisi paling tinggi dan prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Hasil dari penalaran ini adalah ilmu-ilmu intuitif, seperti akhlak dan tasawuf.
Irfan dan Tasawuf Islam
Tentang halnya menyebut dan mengkaji satu per satu manzil dan maqâm yang dirumuskan oleh ahli irfan, tentu bukan tempatnya dalam tulisan ini. Oleh sebab itu kita cukup mengutip bebarapa paragraf kalimat dari ulasan mukaddimah Kitab “Syarh Manazil Sairin”. Ketahuilah bahwa orang-orang yang sair (berjalan) dalam maqâm-maqâm ini sangat berbeda-beda, dan tidak ada urutan tertib secara pasti untuk mereka semua dan demikian pula tidak ada akhir yang berlaku secara menyeluruh bagi mereka. Sebab potensi-potensi mereka berbeda-beda semua, maka konklusi suluk mereka juga berbeda-beda.
Jadi irfan adalah tasawuf itu sendiri menurut pendekatan tersebut, meskipun dari sisi pendengkatan Ustad Syahid Muthahhari Ra setiap kali ahli irfan ditinjau secara akademis maka hal tersebut dialamatkan pada ‘urafa, tetapi setiap kali ditinjau secara sosial dan kemasrakatan maka hal ini dialamatkan pada mutasawwifah. Berbeda lagi dengan imam Khomeni Qs, beliau berpendapat irfan yakni berhubungan dengan makrifat irfani, tetapi tasawuf berhubungan dengan aspek sair suluk (riyâdhâh) seorang sufi.
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan sair suluk (riyâdhâh) seorang hamba kepada Allah Swt akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Para sufi adalah urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh pengetahuan hakiki ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs yang kemudian menyampaikan kepada makrifat Rabb (Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu ).
Oleh sebab itu pengetahuan seorang sufi diperoleh setelah melewati stasiun-stasiun perjalanan kepada Allah, dan telah sampai (wushul ) pada hakikat wujud yakni Allah Swt. Dan pada tataran ini ia telah mencapai derajat fana fillah serta pengetahuan sempurna, dimana pengatahuan ini adalah pengetahuan hakiki terhadap wujud dan realitas.
Selayang Pandang Sejarah Irfan dan Tasawuf
Sejarah irfan dan tasawuf melewati perjalanan dan perubahan dalam beberapa tahap, pada awal kemunculannya berusaha dan berupaya membuka jalan bagi dirinya di antara mazhab- mazhab pemikiran Islam (mazhab Fiqih, Kalam, Hadits, Tafsir, dan Filsafat). Yakni berusaha mendapatkan hak hidup di antara mazhab-mazhab pemikiran Islam.
Tahap lainnya adalah tahap dimana tasawuf berusaha mensingkronkan thariqah-nya dengan syariat, sehingga ia dapat lepas dari persangkaan buruk dan tuduhan orang-orang yang memandangya menjauhi dan menyalahi syariat. Dan tahap akhir dari perjalanan perubahan tersebut, membangun dan mengembangkan silsilah (dalam tasawuf terdapat silsilah mursyid atau syekh yang berfungsi pembimbing spritual), khaneqâh-khaneqâh (tempat ibadah, zikir, dan menjalankan ajaran-ajaran thariqah), serta membangun dan mengembangkan bentuk pengajaran yang sangat bernilai tinggi.
Pada akhirnya irfan dan tasawuf mengalami kemunduran dan kemerosotan secara berangsur-angsur disebabkan pengulangan dan taklid yang permanen, serta dominasi para mutasyabbih dan mutasawwifah (orang-orang yang hanya secara lahiriah sufi, tetapi tidak menjalankan irfan dan tasawuf secara hakiki). Tetapi irfan dan tasawuf mempunyai warisan yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat Islam dan kebudayaan Islam, serta masa penyebaran dan perkembangan irfan tersebut merupakan suatu masa kemekaran dalam makrifat-makrifat Islami.
Sumber-sumber Irfan Islam
Pandangan sebagian pemikiran Barat ahli ketimuran (orientalis) yang menisbahkan tasawuf Islam pada sumber non-Islami, bersandar atas persangkaan mereka bahwa ajaran Islam sendiri tidak memiliki potensi untuk pengembangan dan pengajaran tasawuf. Tapi ini suatu bentuk persanggkaan yang tidak benar, sebab sebagaimana kita ketahui agama islam penuh dengan ajakan hidup zuhud dan tidak mencintai dunia, bahkan untuk menjalani hidup demikian cukuplah umat Islam mengikuti dan meneladani sunnah dan sirah Nabi Muhammad Saw, serta Imam Ali As. Dan juga kita temukan riwayat hidup zuhud yang dilakukan oleh sebagian sahabat-sahabat Nabi Saw seperti ahli shuffah.
itab suci al-Qur'an dan kitab hadits sendiri banyak mengisyaratkan kerendahan dan kehinaan harta dunia dan memperingatkan tentang adanya hisab hari akhirat, serta menganjurkan membersihkan batin dari kecintaan terhadap alam materi beserta hal-hal yang melingkupinya. “Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan dirinya, dan mengingat nama Tuhannya, maka ia shalat, tetapi kamu mendahulukan kehidupan dunia, padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”.
Adapun pembicaraan al-Qur’an tentang tauhid dan menjadi landasan pandangan tauhid ahli irfan di antaranya: “Dimana saja kamu menghadap maka disitu wajah Allah”, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,dan Dialah Yang Zahir dan Yang Batin, “Allah adalah cahaya langit dan bumi”.
Menurut ustad Syahid Muthahhari jelas ayat-ayat ini mengandung pemikiran dan perenungan pada tauhid yang lebih tinggi daripada tauhid orang-orang awam. Dan terdapat dalam kitab hadits al-Kâfi bahwa Tuhan mengetahui di akhir zaman akan datang orang-orang yang dalam pamahamannya tentang tauhid, untuk itu ayat-ayat surah al-Hadid dan surah “Qul huwallahu Ahad” (al-Ikhlas) diturunkan. Juga diriwayatkan dalam hadits qudsi bahwa Allah berfirman: “Hambaku mendatangi Aku dimalam hari dengan melakukan amal-amal sunnah, dan Aku mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, Aku adalah telinganya sehingga dia mendengar dengan Aku, dan Aku adalah matanya sehingga dia melihat dengan Aku, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan Aku, dan Aku adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan Aku.”
Tentang sair suluk dan melewati tahap-tahap kedekatan pada Tuhan sampai pada manâzil (terminal) paling akhir, cukuplah pandangan irfan ini ditinjau dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan “Liqaullah”, “Ridwanullah”, dan ayat-ayat yang berhubungan dengan wahyu, ilham, pembicaraan malaikat dengan selain nabi (seperti kepada Hadhrat Maryam), serta lebih khusus lagi ayat yang berhubungan dengan “Mi’raj” Nabi suci Muhammad Saw.
Para sufi sendiri menyandarkan seluruh maqam-maqam dan stasiun-stasiun dirinya atas ayat dan riwayat, serta menjadikan Rasulullah Saw sebagai “Uswatun hasanah” dan meniscayakan “Sirah” beliau dalam sair suluk mereka, yakni menjauhi penistaan dunia dan penampakan kerahiban semata, dan bentuk ini apa yang mereka sebut sebagai “faqr Muhammadi”, dalam berhadapan dengan “Faqr Isawi”.
Oleh sebab itu dari penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa sumber irfan Islam adalah ajaran Islam itu sendiri, yakni dari kitab suci al-Qur’an, kitab hadits, sunah dan sirah Rasulullah saaw.
Pembagian Irfan Pada Amali dan Nazari
Sebagaimana kita ketahui bahwa jalan irfan dan tasawuf adalah jalan kasyf dan syuhud hakikat ontologis dan menghubungkan manusia pada hakikat tersebut bukan berdasar akal dan istidlâl, bahkan berdasar atas dzauq (pengalaman spiritual), isyrâqi (iluminasi), wusul (sampai) dan penyatuan pada hakikat. Dan untuk sampai pada tingkatan ini pesuluk harus menjalankan disiplin-disiplin serta amal-amal khusus.[12]
Jadi maktab irfan tidak hanya bertumpu pada ilmu, tetapi amal yang menjadi asas dan dasar keaktualannya, dan bahkan ilmu itu sendiri hasil dari aktualisasi amal. Dan untuk mencapai pengetahuan (ilmu) irfani harus terlebih dahulu melewati tahap-tahap, yakni menjalankan sair suluk dan menempuh stasiun-stasiun serta tingkatan-tingkatan maqam. Oleh sebab itu irfan Islam terbagi atas dua bagian; irfan amali dan irfan nazari.
Irfan amali adalah menjalankan program sair suluk dan melewati tahap-tahap, stasiun-stasiun, serta mencapai kondisi-kondisi dan maqam-maqam untuk memperoleh pengetahuan irfani, sampai pada tauhid, serta fana, dimana semua proses itu disebut sebagai “thariqah”. Sedangkan irfan nazari adalah keseluruhan ta’bir-ta’bir urafa tentang makrifat-makrifat, hasil kasyf dan syuhud sufi pada hakikat, realitas alam dan manusia, yang menurut ustad Syahid Muthahhari, irfan dalam konteks ini seperti hikmah Ilahi, yakni dalam konteks menafsirkan dan menjelaskan hakikat eksistensi.
Oleh sebab itu irfan nazari sendiri adalah suatu bentuk pandangan dunia khusus yang memiliki landasan, mukadimah, dan permasalahan khusus. Bentuk irfan ini dibangun oleh arif dan sufi besar Islam Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi (560-638 H), dan irfan dalam hal ini memasuki babak baru.
Maqam dan Manzil Irfan
Para urafa meyakini bahwa untuk memperoleh maqam irfan hakiki, harus terlebih dahulu melalui stasiun-stasiun dan maqam-maqam, dimana tanpa melalui itu semua tidak mungkin sampai pada irfan hakiki.
Manzil dan maqâm dalam terminologi irfan mempunyai makna yang saling berdekatan, perbedaannya hanya pada tataran tinjauan saja. Jika suluknya pesalik (pelaku salik) ditinjau dari segi ia jalan dan safar, maka kondisinya ini disebut sebagai manzil, tetapi jika ia dalam keadaan berhenti dan menetap, maka kondisinya ini disebut sebagai maqam.
Tentang halnya menyebut dan mengkaji satu per satu manzil dan maqâm yang dirumuskan oleh ahli irfan, tentu bukan tempatnya dalam tulisan ini. Oleh sebab itu kita cukup mengutip bebarapa paragraf kalimat dari ulasan mukaddimah Kitab “Syarh Manazil Sairin”. Ketahuilah bahwa orang-orang yang sair (berjalan) dalam maqâm-maqâm ini sangat berbeda-beda, dan tidak ada urutan tertib secara pasti untuk mereka semua dan demikian pula tidak ada akhir yang berlaku secara menyeluruh bagi mereka. Sebab potensi-potensi mereka berbeda-beda semua, maka konklusi suluk mereka juga berbeda-beda.
Sebagai contoh “Mahbub Murâd”, sebelum ia memulai jalan suluk ia telah ditarik oleh “Jadzabeh”, dan hasilnya ia berada pada “Nihâyah”(akhir) sebelum “Bidâyah” (awal), dan kebalikan dari ini adalah “Muhib Murid”. Dan sebagian lagi dikarenakan kekhususan yang ada padanya, maka ia tidak melakukan sebagian dari maqâm-maqâm, dan atau ia tidak berhenti di maqâm tersebut.
Adapun urutan tertib yang disebutkan pada kitab Manâzil Sâirin, sesuai dengan kondisi “Muhibb” (pencinta), dimana ia mempunyai potensi secara menengah dan secara fitrah ia sempurna”.
“...Sebahagian dari ‘urafa mengisyaratkan maqâm dan manzil ini secara prinsip dan universal saja, dan tidak menjelaskannya secara partikuler dan detail, sebab itu terdapat poin-poin yang sifatnya ambigu. Sebagian lagi menuliskannya dalam bentuk kisah atau cerita, tetapi ia tidak merumuskannya dalam bentuk yang menarik sesuai dengan minat pembaca. Dan sebagian lagi tidak memisahkan maqâm- maqâm khusus dari keniscayaan-keniscayaan umum. (Adapun perbedaan antara keniscayaan umum dengan maqâm khusus, seperti zuhud misalnya, jika ia dinisbahkan kepada pemula umum, maka zuhud adalah dharuri (niscaya) baginya, dan zuhudnya adalah zuhud dari kelezatan-kelezatan dunia. Tetapi zuhud khusus adalah zuhud dalam zuhud yang merupakan suatu maqâm tinggi. Dalam maqâm ini, hamba secara asasi melihat bahwa dunia tidak mempunyai kadar dan nilai, sehingga menjauh dari kelezatan dunia bukanlah suatu maqâm baginya. Dan hamba seperti ini, punya dan tidak punya, sakit dan sehat, baginya semuanya adalah sama.
“...Ketahuilah ! Pada umumnya ulama irfan dan mereka yang memiliki isyârah (petunjuk) dalam thariqat ini sepakat bahwa seseorang tidak akan benar pada “Nihâyah” kecuali jika benar pada “Bidâyah” (sebab jika ia datang pada titik-mula [bidâyah] tidak benar, maka ia tidak akan memperoleh derajat Nihâyah), sebagaimana bangunan, selain dengan pondasi-pondasi yang kokoh, ia tidak akan berdiri. Dan benarnya menjalankan bidayah-bidayah adalah merealisasikan perintah Tuhan sesuai dengan syari’at Nabi Muhammad Saw dengan penyaksian ikhlas (yakni tanpa melihat amal dan tanpa perhatian sedikitpun pada balasan dan tujuan, serta melihat amal semata-mata “Liwajhillâh”), dan mengikuti sunah Nabi Saw, memandang sangat besar larangan Tuhan (dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya serta menjauhi larangan tersebut) diiringi dengan rasa takut (dari azab Tuhan), menjaga kesucian hukum-hukum syari’at dan apa yang terdapat dalam kitab dan sunnah, kasih sayang terhadap manusia, dermawan dan pemberi nasehat, serta tidak membiarkan bebannya dipundak mereka, menjauhi duduk-duduk bersama orang yang membuat waktu berlalu dengan percuma, serta menjauhi setiap sebab yang membuat hati terpengaruh dengan fitnah.
Manusia dalam perkara (sair suluk) ini terdiri atas tiga: Sebagian beramal antara takut dan harapan, dengan perhatian pada kecintaan yang disertai dengan haya’ (malu), orang seperti ini disebut dengan murid. Sebagian dari wâdi terpisah-pisah terserap pada wâdi jam’ (terhimpun), dan ia disebut murâd. Dan selain dua tersebut adalah pendakwah yang tertipu dan tergoda. Seluruh maqâm-maqâm berkumpul pada tiga tingkatan:
Pertama: Qâsid (orang yang bermaksud) memulai sair suluk. Kedua: Masuk dalam pengasingan.
Ketiga: Mendapatkan musyahadah, dimana hamba ditarik pada realitas tauhid di jalan fana.
Dalam kitab ini (Syarh Manazil Sairin) penulisnya menyebutkan sepuluh bagian inti, yaitu;
1. Bidayât
2. Abwâb
3. Mu’amalât
4. Akhlâq
5. Usul
6. Audiyah
7. Ahwal
8. Wilayât
9. Haqâiq
10. Nihâyat
Tentu jika kita ingin memahami maqâm dan manzil yang terdapat dalam konsep-konsep irfan tersebut, minimal kita harus mengkaji dan mempelajari kitab-kitab yang membahas khusus tentang hal ini, dan salah satu kitab yang membahas tema tersebut secara luas dan terperinci adalah kitab “Syarh Manazil Sairin”, yang di Hauzah Ilmiyah merupakan salah satu kitab pelajaran dan rujukan dalam masalah irfan amali.
Adapun pembahasan yang terdapat dalam irfan nazari (teori) seperti; Wahdatul Wujud, Faidh Aqdas dan Faidh Muqaddas, Insân Kâmil, A’yanu Tsâbitat. Hadhrat Ahadiyyah dan Wahîdiyyah, tema-tema bahasan tersebut memerlukan tulisan terpisah secara sendiri.
Tokoh-tokoh Tasawuf 'Irfani
a. Rabi'ah al-Adawiyah
b. al-Junayd al-Baghdadi
c. Dzu al-Nun al-Misri
d. Abu Yazid al-Bustami
e. al-Hallaj
f. al-Sulami
BIOGRAFI
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412 H/1012 M.[2] Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).
PEMIKIRAN
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah).
Karena, kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.
CORAK PEMIKIRAN
al-Sulami mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil (w. 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu, otomatis warna dan corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf teoritis. Al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.
al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.
KARYA-KARYA AL-SULAMI
Diantara karya-karyanya, yaitu :
a. Adab al-Mutasawwafah
b. Thabaqah al-Sufiyun
c. Risalah al-Malamatiyyah
d. Ghalathah al-Sufiyah
e. al-Futuwwa
f. Adab al-Suhba wa Husn al-'Ushra
g. al-Sama'
h. al-Arba'in fi al-Hadith
i. al-Farq Bayna al-Syari'ah wa al-Haqiqah
j. Jawami' Adab al-Sufiyah
k. Manahij al-'Irfan
l. Maqamat al-Awliya'
m. Al-Ikhwah wa al-Akhawat min al-Sufiyah
KESIMPULAN
Menurut al-Sulami, manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah). Dia juga berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian.
Penutup
Demikianlah Makalah yang singkat ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami berdua.
Daftar Pustaka :
Islâm: Pagushesyi Tarikhi wa Farhanggi, Zire Nadzar : Kadzim Musawi Bojnurdi, Markaz Dairatul Maarif Buzurge Islami, Tehran
Asynâi bo Ulume Islâmi Uztad Syahid Muthahhari, Penerbit Sadra
Syarh Manzumah Sabzwâri jld.2 (Imam Khomeni Qs.), Muassasah tanzim wa Nasyr-e Atsar Hadhrat Imam Khomeni Qs.
Islam: Pagushesyi tarikhi wa farhanggi, zire nadzar : Kadzim Musawi Bojnurdi, penerbit Markas Dairatul Maarif Buzurge islami, Tehran
Syarh Manazil Sairin Khojah Abdullah Anshari, bar asase syarh Abdurrazzaq Qosyoni, Negorasy Ali Syirwani
Alhamdulillah, Segala Puji bagi Allah yang ditanganNya segala kekuasaan dan hanya kepadaNya kita layak meminta pertolongan. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dengan mengucapkan syukur Al-hamdulillah akhirnya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan, semoga ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya dan bermanfaat bagi seluruh rekan mahasiswa. Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada Dosen Pengampu yang telah memberikan kesempatan untuk mempresentasikan makalah ini kepada rekan-rekan mahasiswa sekalian.
Semoga Allah memberikan ilmu kepada kita semua, sebagaimana Allah memberikan ilmu tersebut kepada hamba-hambaNya yang terdahulu. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Pendahuluan
Di dunia modernisasi, pendekatan tasawuf menjadi alternatif dalam memasuki wilayah religius. Melihat dan merasakan sejauh mana potensi hati dan keutuhan jiwa untuk masuk kedalam dunia sufisme. Ketika kita mengkaitkan Tasawuf Irfani dengan metodologi klasik dalam bertasawuf seolah mendapat “imbangan” dalam mempraktikkan tasawuf untuk lebih masuk pada wilayah syar’i. Meski tidak dapat dipungkiri, wilayah akhlaki dan falsafi juga harus memiliki peran penting untuk membungkus itu semua. Membiarkan seluruh tubuh secara lahir dan batin untuk masuk pada penghambaan yang sempurna di sisi Allah SWT.
Penalaran Irfani
Setelah dunia Islam mengalami kontak kebudayaan dengan budaya luar dan mulai mengadopsi khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuno), khususnya dari tradisi Persia, maka nalarpun mulai berkembang dalam diskursus intelektual Islam dan melahirkan epistemologi irfani. Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu kepada pengalaman batiniyyah; misalnya intuisi.
Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual dengan daya-daya rohaniah samawi dan menganggap rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa manusia dengan Tuhan, bukan rasio yang mampu menerima pengetahuan dari sumber aslinya (Tuhan) melainkan hati (intuisi) yang telah mengalami kondisi kasyf.
Pendekatan irfani ini biasanya digunakan oleh ahli tasawuf. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ini memang tidak boleh dinafikan sama sekali. Namun, penggunaannya secara berlebihan juga akan menimbulkan masalah pada masyarakat awam yang mungkin tidak memahaminya secara mendalam. Hal ini memang telah diterapkan sepenuhnya oleh Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin, di mana beliau menggangap bidang fiqh perlu dikaitkan dengan elemen sufisme untuk mendapatkan intisari ketakutan terhadap akhirat kepada masyarakat Islam awam secara umum.
Orang-orang suci yang telah mencapai maqam walāyah dan nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tersebut sehingga terjaga dari kesalahan (`ishmah). Jenis pengetahuan semacam ini dianggap berada pada posisi paling tinggi dan prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Hasil dari penalaran ini adalah ilmu-ilmu intuitif, seperti akhlak dan tasawuf.
Irfan dan Tasawuf Islam
Tentang halnya menyebut dan mengkaji satu per satu manzil dan maqâm yang dirumuskan oleh ahli irfan, tentu bukan tempatnya dalam tulisan ini. Oleh sebab itu kita cukup mengutip bebarapa paragraf kalimat dari ulasan mukaddimah Kitab “Syarh Manazil Sairin”. Ketahuilah bahwa orang-orang yang sair (berjalan) dalam maqâm-maqâm ini sangat berbeda-beda, dan tidak ada urutan tertib secara pasti untuk mereka semua dan demikian pula tidak ada akhir yang berlaku secara menyeluruh bagi mereka. Sebab potensi-potensi mereka berbeda-beda semua, maka konklusi suluk mereka juga berbeda-beda.
Jadi irfan adalah tasawuf itu sendiri menurut pendekatan tersebut, meskipun dari sisi pendengkatan Ustad Syahid Muthahhari Ra setiap kali ahli irfan ditinjau secara akademis maka hal tersebut dialamatkan pada ‘urafa, tetapi setiap kali ditinjau secara sosial dan kemasrakatan maka hal ini dialamatkan pada mutasawwifah. Berbeda lagi dengan imam Khomeni Qs, beliau berpendapat irfan yakni berhubungan dengan makrifat irfani, tetapi tasawuf berhubungan dengan aspek sair suluk (riyâdhâh) seorang sufi.
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan sair suluk (riyâdhâh) seorang hamba kepada Allah Swt akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Para sufi adalah urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh pengetahuan hakiki ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs yang kemudian menyampaikan kepada makrifat Rabb (Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu ).
Oleh sebab itu pengetahuan seorang sufi diperoleh setelah melewati stasiun-stasiun perjalanan kepada Allah, dan telah sampai (wushul ) pada hakikat wujud yakni Allah Swt. Dan pada tataran ini ia telah mencapai derajat fana fillah serta pengetahuan sempurna, dimana pengatahuan ini adalah pengetahuan hakiki terhadap wujud dan realitas.
Selayang Pandang Sejarah Irfan dan Tasawuf
Sejarah irfan dan tasawuf melewati perjalanan dan perubahan dalam beberapa tahap, pada awal kemunculannya berusaha dan berupaya membuka jalan bagi dirinya di antara mazhab- mazhab pemikiran Islam (mazhab Fiqih, Kalam, Hadits, Tafsir, dan Filsafat). Yakni berusaha mendapatkan hak hidup di antara mazhab-mazhab pemikiran Islam.
Tahap lainnya adalah tahap dimana tasawuf berusaha mensingkronkan thariqah-nya dengan syariat, sehingga ia dapat lepas dari persangkaan buruk dan tuduhan orang-orang yang memandangya menjauhi dan menyalahi syariat. Dan tahap akhir dari perjalanan perubahan tersebut, membangun dan mengembangkan silsilah (dalam tasawuf terdapat silsilah mursyid atau syekh yang berfungsi pembimbing spritual), khaneqâh-khaneqâh (tempat ibadah, zikir, dan menjalankan ajaran-ajaran thariqah), serta membangun dan mengembangkan bentuk pengajaran yang sangat bernilai tinggi.
Pada akhirnya irfan dan tasawuf mengalami kemunduran dan kemerosotan secara berangsur-angsur disebabkan pengulangan dan taklid yang permanen, serta dominasi para mutasyabbih dan mutasawwifah (orang-orang yang hanya secara lahiriah sufi, tetapi tidak menjalankan irfan dan tasawuf secara hakiki). Tetapi irfan dan tasawuf mempunyai warisan yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat Islam dan kebudayaan Islam, serta masa penyebaran dan perkembangan irfan tersebut merupakan suatu masa kemekaran dalam makrifat-makrifat Islami.
Sumber-sumber Irfan Islam
Pandangan sebagian pemikiran Barat ahli ketimuran (orientalis) yang menisbahkan tasawuf Islam pada sumber non-Islami, bersandar atas persangkaan mereka bahwa ajaran Islam sendiri tidak memiliki potensi untuk pengembangan dan pengajaran tasawuf. Tapi ini suatu bentuk persanggkaan yang tidak benar, sebab sebagaimana kita ketahui agama islam penuh dengan ajakan hidup zuhud dan tidak mencintai dunia, bahkan untuk menjalani hidup demikian cukuplah umat Islam mengikuti dan meneladani sunnah dan sirah Nabi Muhammad Saw, serta Imam Ali As. Dan juga kita temukan riwayat hidup zuhud yang dilakukan oleh sebagian sahabat-sahabat Nabi Saw seperti ahli shuffah.
itab suci al-Qur'an dan kitab hadits sendiri banyak mengisyaratkan kerendahan dan kehinaan harta dunia dan memperingatkan tentang adanya hisab hari akhirat, serta menganjurkan membersihkan batin dari kecintaan terhadap alam materi beserta hal-hal yang melingkupinya. “Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan dirinya, dan mengingat nama Tuhannya, maka ia shalat, tetapi kamu mendahulukan kehidupan dunia, padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”.
Adapun pembicaraan al-Qur’an tentang tauhid dan menjadi landasan pandangan tauhid ahli irfan di antaranya: “Dimana saja kamu menghadap maka disitu wajah Allah”, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,dan Dialah Yang Zahir dan Yang Batin, “Allah adalah cahaya langit dan bumi”.
Menurut ustad Syahid Muthahhari jelas ayat-ayat ini mengandung pemikiran dan perenungan pada tauhid yang lebih tinggi daripada tauhid orang-orang awam. Dan terdapat dalam kitab hadits al-Kâfi bahwa Tuhan mengetahui di akhir zaman akan datang orang-orang yang dalam pamahamannya tentang tauhid, untuk itu ayat-ayat surah al-Hadid dan surah “Qul huwallahu Ahad” (al-Ikhlas) diturunkan. Juga diriwayatkan dalam hadits qudsi bahwa Allah berfirman: “Hambaku mendatangi Aku dimalam hari dengan melakukan amal-amal sunnah, dan Aku mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, Aku adalah telinganya sehingga dia mendengar dengan Aku, dan Aku adalah matanya sehingga dia melihat dengan Aku, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan Aku, dan Aku adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan Aku.”
Tentang sair suluk dan melewati tahap-tahap kedekatan pada Tuhan sampai pada manâzil (terminal) paling akhir, cukuplah pandangan irfan ini ditinjau dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan “Liqaullah”, “Ridwanullah”, dan ayat-ayat yang berhubungan dengan wahyu, ilham, pembicaraan malaikat dengan selain nabi (seperti kepada Hadhrat Maryam), serta lebih khusus lagi ayat yang berhubungan dengan “Mi’raj” Nabi suci Muhammad Saw.
Para sufi sendiri menyandarkan seluruh maqam-maqam dan stasiun-stasiun dirinya atas ayat dan riwayat, serta menjadikan Rasulullah Saw sebagai “Uswatun hasanah” dan meniscayakan “Sirah” beliau dalam sair suluk mereka, yakni menjauhi penistaan dunia dan penampakan kerahiban semata, dan bentuk ini apa yang mereka sebut sebagai “faqr Muhammadi”, dalam berhadapan dengan “Faqr Isawi”.
Oleh sebab itu dari penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa sumber irfan Islam adalah ajaran Islam itu sendiri, yakni dari kitab suci al-Qur’an, kitab hadits, sunah dan sirah Rasulullah saaw.
Pembagian Irfan Pada Amali dan Nazari
Sebagaimana kita ketahui bahwa jalan irfan dan tasawuf adalah jalan kasyf dan syuhud hakikat ontologis dan menghubungkan manusia pada hakikat tersebut bukan berdasar akal dan istidlâl, bahkan berdasar atas dzauq (pengalaman spiritual), isyrâqi (iluminasi), wusul (sampai) dan penyatuan pada hakikat. Dan untuk sampai pada tingkatan ini pesuluk harus menjalankan disiplin-disiplin serta amal-amal khusus.[12]
Jadi maktab irfan tidak hanya bertumpu pada ilmu, tetapi amal yang menjadi asas dan dasar keaktualannya, dan bahkan ilmu itu sendiri hasil dari aktualisasi amal. Dan untuk mencapai pengetahuan (ilmu) irfani harus terlebih dahulu melewati tahap-tahap, yakni menjalankan sair suluk dan menempuh stasiun-stasiun serta tingkatan-tingkatan maqam. Oleh sebab itu irfan Islam terbagi atas dua bagian; irfan amali dan irfan nazari.
Irfan amali adalah menjalankan program sair suluk dan melewati tahap-tahap, stasiun-stasiun, serta mencapai kondisi-kondisi dan maqam-maqam untuk memperoleh pengetahuan irfani, sampai pada tauhid, serta fana, dimana semua proses itu disebut sebagai “thariqah”. Sedangkan irfan nazari adalah keseluruhan ta’bir-ta’bir urafa tentang makrifat-makrifat, hasil kasyf dan syuhud sufi pada hakikat, realitas alam dan manusia, yang menurut ustad Syahid Muthahhari, irfan dalam konteks ini seperti hikmah Ilahi, yakni dalam konteks menafsirkan dan menjelaskan hakikat eksistensi.
Oleh sebab itu irfan nazari sendiri adalah suatu bentuk pandangan dunia khusus yang memiliki landasan, mukadimah, dan permasalahan khusus. Bentuk irfan ini dibangun oleh arif dan sufi besar Islam Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi (560-638 H), dan irfan dalam hal ini memasuki babak baru.
Maqam dan Manzil Irfan
Para urafa meyakini bahwa untuk memperoleh maqam irfan hakiki, harus terlebih dahulu melalui stasiun-stasiun dan maqam-maqam, dimana tanpa melalui itu semua tidak mungkin sampai pada irfan hakiki.
Manzil dan maqâm dalam terminologi irfan mempunyai makna yang saling berdekatan, perbedaannya hanya pada tataran tinjauan saja. Jika suluknya pesalik (pelaku salik) ditinjau dari segi ia jalan dan safar, maka kondisinya ini disebut sebagai manzil, tetapi jika ia dalam keadaan berhenti dan menetap, maka kondisinya ini disebut sebagai maqam.
Tentang halnya menyebut dan mengkaji satu per satu manzil dan maqâm yang dirumuskan oleh ahli irfan, tentu bukan tempatnya dalam tulisan ini. Oleh sebab itu kita cukup mengutip bebarapa paragraf kalimat dari ulasan mukaddimah Kitab “Syarh Manazil Sairin”. Ketahuilah bahwa orang-orang yang sair (berjalan) dalam maqâm-maqâm ini sangat berbeda-beda, dan tidak ada urutan tertib secara pasti untuk mereka semua dan demikian pula tidak ada akhir yang berlaku secara menyeluruh bagi mereka. Sebab potensi-potensi mereka berbeda-beda semua, maka konklusi suluk mereka juga berbeda-beda.
Sebagai contoh “Mahbub Murâd”, sebelum ia memulai jalan suluk ia telah ditarik oleh “Jadzabeh”, dan hasilnya ia berada pada “Nihâyah”(akhir) sebelum “Bidâyah” (awal), dan kebalikan dari ini adalah “Muhib Murid”. Dan sebagian lagi dikarenakan kekhususan yang ada padanya, maka ia tidak melakukan sebagian dari maqâm-maqâm, dan atau ia tidak berhenti di maqâm tersebut.
Adapun urutan tertib yang disebutkan pada kitab Manâzil Sâirin, sesuai dengan kondisi “Muhibb” (pencinta), dimana ia mempunyai potensi secara menengah dan secara fitrah ia sempurna”.
“...Sebahagian dari ‘urafa mengisyaratkan maqâm dan manzil ini secara prinsip dan universal saja, dan tidak menjelaskannya secara partikuler dan detail, sebab itu terdapat poin-poin yang sifatnya ambigu. Sebagian lagi menuliskannya dalam bentuk kisah atau cerita, tetapi ia tidak merumuskannya dalam bentuk yang menarik sesuai dengan minat pembaca. Dan sebagian lagi tidak memisahkan maqâm- maqâm khusus dari keniscayaan-keniscayaan umum. (Adapun perbedaan antara keniscayaan umum dengan maqâm khusus, seperti zuhud misalnya, jika ia dinisbahkan kepada pemula umum, maka zuhud adalah dharuri (niscaya) baginya, dan zuhudnya adalah zuhud dari kelezatan-kelezatan dunia. Tetapi zuhud khusus adalah zuhud dalam zuhud yang merupakan suatu maqâm tinggi. Dalam maqâm ini, hamba secara asasi melihat bahwa dunia tidak mempunyai kadar dan nilai, sehingga menjauh dari kelezatan dunia bukanlah suatu maqâm baginya. Dan hamba seperti ini, punya dan tidak punya, sakit dan sehat, baginya semuanya adalah sama.
“...Ketahuilah ! Pada umumnya ulama irfan dan mereka yang memiliki isyârah (petunjuk) dalam thariqat ini sepakat bahwa seseorang tidak akan benar pada “Nihâyah” kecuali jika benar pada “Bidâyah” (sebab jika ia datang pada titik-mula [bidâyah] tidak benar, maka ia tidak akan memperoleh derajat Nihâyah), sebagaimana bangunan, selain dengan pondasi-pondasi yang kokoh, ia tidak akan berdiri. Dan benarnya menjalankan bidayah-bidayah adalah merealisasikan perintah Tuhan sesuai dengan syari’at Nabi Muhammad Saw dengan penyaksian ikhlas (yakni tanpa melihat amal dan tanpa perhatian sedikitpun pada balasan dan tujuan, serta melihat amal semata-mata “Liwajhillâh”), dan mengikuti sunah Nabi Saw, memandang sangat besar larangan Tuhan (dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya serta menjauhi larangan tersebut) diiringi dengan rasa takut (dari azab Tuhan), menjaga kesucian hukum-hukum syari’at dan apa yang terdapat dalam kitab dan sunnah, kasih sayang terhadap manusia, dermawan dan pemberi nasehat, serta tidak membiarkan bebannya dipundak mereka, menjauhi duduk-duduk bersama orang yang membuat waktu berlalu dengan percuma, serta menjauhi setiap sebab yang membuat hati terpengaruh dengan fitnah.
Manusia dalam perkara (sair suluk) ini terdiri atas tiga: Sebagian beramal antara takut dan harapan, dengan perhatian pada kecintaan yang disertai dengan haya’ (malu), orang seperti ini disebut dengan murid. Sebagian dari wâdi terpisah-pisah terserap pada wâdi jam’ (terhimpun), dan ia disebut murâd. Dan selain dua tersebut adalah pendakwah yang tertipu dan tergoda. Seluruh maqâm-maqâm berkumpul pada tiga tingkatan:
Pertama: Qâsid (orang yang bermaksud) memulai sair suluk. Kedua: Masuk dalam pengasingan.
Ketiga: Mendapatkan musyahadah, dimana hamba ditarik pada realitas tauhid di jalan fana.
Dalam kitab ini (Syarh Manazil Sairin) penulisnya menyebutkan sepuluh bagian inti, yaitu;
1. Bidayât
2. Abwâb
3. Mu’amalât
4. Akhlâq
5. Usul
6. Audiyah
7. Ahwal
8. Wilayât
9. Haqâiq
10. Nihâyat
Tentu jika kita ingin memahami maqâm dan manzil yang terdapat dalam konsep-konsep irfan tersebut, minimal kita harus mengkaji dan mempelajari kitab-kitab yang membahas khusus tentang hal ini, dan salah satu kitab yang membahas tema tersebut secara luas dan terperinci adalah kitab “Syarh Manazil Sairin”, yang di Hauzah Ilmiyah merupakan salah satu kitab pelajaran dan rujukan dalam masalah irfan amali.
Adapun pembahasan yang terdapat dalam irfan nazari (teori) seperti; Wahdatul Wujud, Faidh Aqdas dan Faidh Muqaddas, Insân Kâmil, A’yanu Tsâbitat. Hadhrat Ahadiyyah dan Wahîdiyyah, tema-tema bahasan tersebut memerlukan tulisan terpisah secara sendiri.
Tokoh-tokoh Tasawuf 'Irfani
a. Rabi'ah al-Adawiyah
b. al-Junayd al-Baghdadi
c. Dzu al-Nun al-Misri
d. Abu Yazid al-Bustami
e. al-Hallaj
f. al-Sulami
BIOGRAFI
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412 H/1012 M.[2] Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).
PEMIKIRAN
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah).
Karena, kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.
CORAK PEMIKIRAN
al-Sulami mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil (w. 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu, otomatis warna dan corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf teoritis. Al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.
al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.
KARYA-KARYA AL-SULAMI
Diantara karya-karyanya, yaitu :
a. Adab al-Mutasawwafah
b. Thabaqah al-Sufiyun
c. Risalah al-Malamatiyyah
d. Ghalathah al-Sufiyah
e. al-Futuwwa
f. Adab al-Suhba wa Husn al-'Ushra
g. al-Sama'
h. al-Arba'in fi al-Hadith
i. al-Farq Bayna al-Syari'ah wa al-Haqiqah
j. Jawami' Adab al-Sufiyah
k. Manahij al-'Irfan
l. Maqamat al-Awliya'
m. Al-Ikhwah wa al-Akhawat min al-Sufiyah
KESIMPULAN
Menurut al-Sulami, manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah). Dia juga berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian.
Penutup
Demikianlah Makalah yang singkat ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami berdua.
Daftar Pustaka :
Islâm: Pagushesyi Tarikhi wa Farhanggi, Zire Nadzar : Kadzim Musawi Bojnurdi, Markaz Dairatul Maarif Buzurge Islami, Tehran
Asynâi bo Ulume Islâmi Uztad Syahid Muthahhari, Penerbit Sadra
Syarh Manzumah Sabzwâri jld.2 (Imam Khomeni Qs.), Muassasah tanzim wa Nasyr-e Atsar Hadhrat Imam Khomeni Qs.
Islam: Pagushesyi tarikhi wa farhanggi, zire nadzar : Kadzim Musawi Bojnurdi, penerbit Markas Dairatul Maarif Buzurge islami, Tehran
Syarh Manazil Sairin Khojah Abdullah Anshari, bar asase syarh Abdurrazzaq Qosyoni, Negorasy Ali Syirwani
0 comments:
Post a Comment