KONSEP TAUHID DALAM ISLAM
· ILMU TAUHID
a. Muqaddimah
Tauhid sebagai ilmu, sebetulnya belum ada di zaman Rasulullah SAW, walaupun seluruh ulama sependapat, bahwa TAUHID adalah dasar yang paling pokok dalam ajaran Islam.
Sebagai ilmu, TAUHID tumbuh lama sesudah Rasulullah wafat. Semasa hidup Rasulullah SAW, beliau mendidikkan sikap dan watak bertauhid ini dengan memberikan contoh teladan kepada para sahabat-sahabat beliau di dalam kehidupan sehari-hari.
Pribadi Muhammad sebagai Rasulullah memanglah pribadi manusia yang sempurna (insan kamil). Dengan kata lain, beliau adalah manusia bertauhid secara istiqamah (consistent) dan paripurna, karena itu sikap, watak, ucapan dan tindak-tanduk beliau sebagai Rasulullah, terutama di bidang ibadah merupakan rujukan bagi setiap mu'min.
Sebagaimana yang difirmankan Allah sendiri di dalam kitab-Nya:
Artinya : “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab : 21).
Karena itu pulalah beberapa tahun sesudah Rasulullah wafat, ketika Siti 'Aisyah RA ditanyai orang tentang akhlaq Rasulullah, Siti 'Aisyah bertanya kembali dan menegaskan: "Tidakkah kau baca Al-Qur'an? Itulah gambaran akhlaq (budi pekerti) Rasulullah!" Jadi tepatlah kalau ada yang mengatakan Rasulullah itu "Qur'an yang hidup".
Sesudah Islam berkembang ke segala penjuru dunia, dan umat Islam telah mampu menaklukkan para maharaja (super power) ketika itu, seperti Parsi di Timur dan Romawi di Barat, maka ummat Islam mendapat kesempatan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Memang menuntut ilmu ini diwajibkan oleh Allah bagi setiap Muslim, maka sangatlah digalakkan oleh Rasulullah SAW bagi setiap laki-laki maupun perempuan dari buaian sampai ke liang lahad, bahkan kalau perlu dengan pergi merantau sejauh-jauhnya ke negeri Cina sekalipun.
Maka, semua buku-buku yang mereka jumpai di dalam setiap perpustakaan lama di negeri-negeri Parsi, Yunani dan lain-lain mereka suruh terjemahkan dan isi buku-buku itu mereka mamah selahap-lahapnya. Pikiran-pikiran ahli falsafah kuno seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Pythagoras dan lain-lain semuanya dipelajari mereka dengan bergairah.
Tentu ilmu-ilmu baru ini turut merangsang pengembangan daya pikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka pun menjadi pemikir-pemikir baru yang mampu melahirkan idea-idea baru pula. Namun tidak semua ilmu-ilmu baru ini bersifat positif. Di antaranya ada pula yang bisa menyesatkan, namun dengan semangat kebebasan berfikir yang telah diajarkan oleh Rasul Allah, para intelektual Muslim ketika itu terus maju dan meruak pemikiran-pemikiran baru yang orisinal dan cemerlang.
Perkembangan sesuatu penafsiran tidak lagi tergantung kepada kebenaran objektif dari penafsiran tersebut, tetapi lebih banyak tergantung kepada kedudukan politis dari penafsir. Penanding sesuatu pendapat yang tidak beruntung dalam mendapatkan dukungan politik dari penguasa yang sudah tidak Islami akan menanggung resiko yang sangat mengerikan. Banyak di antara 'ilmuwan yang berani istiqamah (consistent) dengan pendapat mereka terpaksa mengalami penyiksaan yang luar biasa, seperti Abu Hanifah sendiri, misalnya, harus mengalami penjara selama sembilan tahun dan setiap harinya menderita sepuluh kali cambukan. Sebahagian dari 'ilmuwan Muslim, yang dikhawatirkan pengaruhnya oleh penguasa yang zhalim, sampai dicabut hak menyatakan pendapat mereka secara tidak berprikemanusiaan.
Ketika ummat Islam mencapai titik kelemahan mereka yang terendah akibat perpecahan dan perang saudara yang berkepanjangan, maka mulailah satu persatu negeri dan ummat jatuh ke bawah kekuasaan penjajahan negeri-negeri Kristen dan Barat. Dominasi dari luar yang tidak mungkin tertahankan lagi ini tidak hanya menghisap kehidupan materiel ummat, tetapi lebih parah lagi, karena ia sekaligus bercorak penjajahan mental dan moral. Akibat penjjahan ini terhadap mental dan moral ummat sedemikian parahnya, sehingga mayoritas ummat kehilangan harga diri dan kepercayaan akan diri sendiri.
Ummat yang semula berwatak pemimpin kemanusiaan, khalifah Allah, yang berwibawa serta kreatif, sehingga dijuluki Allah sebagai "Ummat terbaik di tengah-tengah kemanusiaan" (Khaira ummatin ukhrijat linnasi, Q. 3:110) telah berubah menjadi manusia-manusia berwatak hamba yang hina dina (asfala sa-fili-na, Q. 95:5), karena ruh Tawhid telah sirna dari kalbu-kalbu mereka.
b. Kepercayaan kepada Tuhan dan Mentauhidkan Tuhan
Sekedar percaya akan wujudnya Tuhan belumlah cukup untuk menjadikan seseorang Islam, karena kepercayaan akan wujud Tuhan bukan merupakan suatu prestasi. Lagi pula, kepercayaan ini sudah ada dengan sendirinya tertanam di dalam hati sanubari setiap manusia sejak lahir. Walaupun, kadang-kadang kepercayaan ini seolah-olah tertutupi dan tidak ternyatakan, namun dalam keadaan tertentu ia muncul dengan tiba-tiba. Misalnya, di dalam keadaan gembira ria orang sering melupakan Tuhan, bahkan sebagian orang dengan sombong berani mengatakan: "tidak ada Tuhan", namun dalam keadaan yang kritis, ketika sedang diancam bahaya maut, atau sedang berlayar di tengah lautan yang dilanda badai dan topan orang ini dengan khusyu'nya lantas berdo'a memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Watak manusia seperti ini pun digambarkan di dalam Al-Quran di dalam beberapa
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka Telah terkepung (bahaya), Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, Pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".
Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, Kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu kami kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. ( QS. Yunus : 22-23 )
Bahkan di dalam ayat-ayat yang lain al-Quran menyatakan dengan lebih tegas, bahwa manusia itu dengan sendirinya memang sudah mcngakui akan wujud dan kekuasaan Allah SWT, misalnya:
“ Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS. Al ‘Ankabut : 61)
Maka watak pengabdi atau penyembah itu sudah inherent dengan setiap diri manusia. Hanyalah pengungkapannya yang mungkin berbeda di antara manusia yang satu dengan yang lain, tergantung kepada tingkat kwalitas pribadi manusia itu masing-masing. Manusia yang canggih (sophisticated) tentu pengungkapannya canggih pula. Yang aneh dan terasa lucu sekali ialah kalau manusia terpelajar yang canggih lagi modern mempunyai cara pengungkapan pengabdian kepada Tuhan yang primitive, konon pula bila diiringi atau berdasarkan kepercayaan yang tidak masuk 'akal, seperti klenik dan tahayul. Sayangnya, manusia-manusia seperti ini masih banyak sekali di zaman yang dikatakan modern ini. Ini, antara lain, disebabkan oleh kurang mampunya ummat Islam menerangkan nilai-nilai Islam kepada dunia. Ditambah pula oleh karena pemahaman dan penghayatan tawhid di kalangan ummat Islam sendiri masih belum sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu mentauhidkan Allah jauh lebih sukar dari sekadar mempercayai akan wujud Allah. Mentauhidkan Allah membutuhkan suatu perjuangan berat, dan kemampuan menghayati sikap bertauhid secara tetap (consistent) merupakan suatu prestasi yang paling mulia, karena itu pula pantas mendapat ganjaran yang paling tinggi.
Mentauhidkan Allah pada hakekatnya merupakan kebutuhan manusia di dalam menjalani hidupnya di dunia ini, baik secara pribadi maupun demi kebahagiaan hidup manusia di dalam hubungannya dengan manusia yang lain
· TAUHID DAN KEMERDEKAAN
Mentauhidkan Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan oleh setiap Nabi dan Rasul, yang diutus oleh Allah sejak awal sejarah kemanusiaan. Namun sejarah kemanusiaan penuh dengan kegagalan-kegagalan manusia dalam menghayati ajaran tauhid ini, sehingga setiap kali ajaran yang murni dan exact ini perlu diperbaharui atau dikoreksi oleh Rasul-rasul berikutnya sesudah mengalami beberapa distorsi yang membahayakan nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan manusia sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia. Dengan perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia atau tidak lagi berfungsi sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan manusia itu.
Secara individu setiap manusia dilahirkan merdeka. Untuk memperoleh kemerdekaan dalam bertauhid memang sangat sulit dan memerlukan latihan berat, serta disiplin pribadi yang ketat.
a. Peranan Akal dan Rasa
Rasa takut maupun rasa hormat dan kagum serta rasa ketergantungan yang berlebih-lebihan ini akan mudah dikontrol, bahkan bisa dicegah, jika manusia mau dan mampu memanfa'atkan dua fasilitas lain yang hanya dikaruniakan oleh Allah sebagai ni'mat-Nya yang tertinggi kepada manusia. Oleh karena itu kedua fasilitas ini sangatlah penting artinya bagi manusia. Keduanya dikaruniakan Allah kepada manusia dengan percuma, justru sebagai penunjang karunia-Nya yang berupa kemerdekaan tadi.
Kedua fasilitas ini ialah 'akal dan rasa. Dengan 'akal ini manusia bisa menimbang, menganalisa, memahami, dan akhirnya membuat atau menentukan pilihan yang paling baik untuknya. Sedangkan dengan fasilitas rasa, manusia akan mampu meresapkan dan/atau menciptakan keindahan, menghayati dan/atau menggubah kesenian. Dengan mengembangkan nikmat rasa, manusia akhirnya bisa menjadi pencinta kebenaran, keindahan atau kesucian, dan keadilan; bukan sekedar menjadi penuntut kebenaran (hak) dan keadilan.
Nikmat rasa, jika berkembang subur, juga akan menjadikan manusia mampu menghargai (appreciate) keseimbangan dan keharmonian, bahkan akan meningkatkan watak manusia yang sungguh-sungguh mengembangkannya (baca: mensyukurinya) menjadi manusia pengasih, penyayang, pencinta yang senantiasa rindu dan terikat (committed) kepada kebenaran, keseimbangan, keserasian dan ke'adilan. Kerinduan dan keterikatan (commitment) kepada kebenaran dan ke'adilan ini bisa sedemikian rupa kuatnya, sehingga ia siap berkorban, kalau perlu, untuk memperjuangkan dan mempertahankannya. Inilah pula landasan daripada iman, serta penyebab utama tumbuhnya watak khusyu' atau 'asyik (rindu) akan "Kebenaran Mutlak" (Al-Haq).
Oleh karena itu, kedua ni'mat Allah yang paling penting ini wajib disyukuri manusia. Cara mensyukuri keduanya ialah dengan mempergunakan dan mengembangkan kemampuan (potensi) keduanya secara maksimal dan seimbang, dengan mengasah keduanya sampai menjadi alat yang paling ampuh di dalam mempertahankan kemerdekaan tadi. Manusia yang ber'akal cerdas dan sarat 'ilmu serta berwatak cinta akan ke'adilan dan kebenaran (Ulul 'ilmi Qaaiman bil-Qisthi, Q.3:18), pasti akan menolak mentah-mentah setiap macam bentuk perbudakan dan penindasan, walaupun bagaimana halusnya bentuk perbudakan itu, karena ia hanya kenal tunduk kepada Yang Mutlak.
Mensyukuri nikmat akal berarti mengasahnya atau melatihnya untuk memecahkan masalah-masalah ilmu pengetahuan semahir-mahirnya. Mengasah rasa ialah dengan melatihnya menghadapi tantangan-tantangan hidup, mendidiknya menjadi cinta, bahkan rindu akan kebenaran dan keadilan, sehingga ia berani dan siap berkorban, jika perlu, apabila ia dihadapkan kepada kenyataan, bahwa kebenaran dan keadilan itu sedang terancam atau diperkosa oleh siapapun. Masyarakat yang anggota-anggotanya cerdas, berilmu dan terdidik cinta akan kebenaran dan keadilan tidak akan pernah bersikap "nrimo". Di kalangan masyarakat yang berilmu dan berpendidikan tinggi, manusia-manusia yang kejangkitan penyakit iblis --yang berwatak "kibir" atau sombong-tadi biasanya tidak mendapat pasaran.
Kepada manusia yang berkwalitas cerdas, berilmu dan terdidik cinta dan merasa terikat (committed) akan kebenaran dan keadilan inilah, nimat Allah yang tertinggi, yakni hidayah iman akan dianugerahkan. Memang, nimat hidayah iman dalam arti kata yang sesungguhnya akan diberikan hanya kepada manusia yang berkwalitas tersebut. Tanpa kwalitas seperti itu Allah tidak pernah menjamin akan mengkaruniakannya. Sedangkan seorang jauhari tidak akan memasangkan intan di atas cincin tembaga, konon pula Allah Yang Maha 'Arif. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya: "Barang siapa ditunjuki Allah, ia mendapat petunjuk (hidayah); barangsiapa yang sesat mereka menderita kerugian." (Q. 7:178).
Ayat ini membuktikan, bahwa nikmat hidayah (iman dan 'ilmu) tidak pernah diberikan Allah secara percuma (gratis). Perbedaan nikmat iman dan ilmu dengan nikmat kehidupan dan kemerdekaan, justru dalam hal ini. Nikmat kehidupan dan kemerdekaan diberikan percuma oleh Allah kepada setiap orang, bahkan prasarana dan alat bantu untuk mempertahankan dan memperkembangkannya diberikan Allah dengan percuma pula. Prasarana untuk menunjang kehidupan ini ialah instinct dan nafsu. Tanpa kedua penunjang ini manusia tidak akan dapat mempertahankan hidupnya, oleh karena itu nikmat instinct dan nafsu diberikan Allah gratis dan keduanya berkembang bersama dan sebanding dengan tingkat kehidupan itu.
Bagi mereka yang enggan berjuang, Allah tidak pernah menjamin akan menganugerahi mereka hidayah iman dan 'ilmu. Yang dimaksud dengan: "barangsiapa yang sesat" di dalam ayat (Q.7:178) di atas, tiada lain ialah mereka yang tidak dengan sungguh-sungguh mensyukuri (baca: mengembangkan secara maksimal) potensi akal dan rasa mereka. Padahal anugerah yang lain, yang lebih rendah nilainya, misalnya rizki, tetap dijamin Allah bagi setiap makhluk-Nya yang sudah diberinya kehidupan, bahkan binatang sekalipun. Inilah yang dimaksudkan-Nya dengan ayat-Nya:
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan dia Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. Al Ankabut : 60)
Manusia yang beriman akan ayat-ayat ini pasti akan menjadi manusia yang berwatak optimis di dalam menghadapi kebutuhan materielnya; ia tidak akan pernah terlalu risau akan rezeki, yang diyakininya pasti akan diperolehnya selama hayat dikandung badan. Yang menjadi fokus perhatiannya di dalam menjalani hidup di dunia ini, ialah bagaimana mempertahankan kemerdekaannya sebagai manusia yang punya harga diri serta bagaimana mempertebal imannya, sehingga betul-betul menjadi manusia bertaqwa yang diredhai Allah Maha Pencipta yang dikasihinya.
Ia merasa tidak perlu menuntut hak-hak istimewa terhadap masyarakat sekitarnya, karena ia yakin bahwa manusia ini sama dan semuanya hamba Allah, dan ia merasa tidak perlu berendah diri terhadap orang lain, karena perbedaan derajat antara manusia di sisi Allah hanyalah diukur oleh mutu ketaqwaan seseorang terhadap Allah SWT. Oleh karena itu pula manusia yang berwatak begini tidak akan pernah bersemangat "nrimo" seperti diterangkan di atas, konon pula berwatak budak terhadap orang lain.
Sebaliknya, manusia seperti ini dalam kesempatan yang bagaimanapun tidak akan menjadi seorang yang otoriter, konon pula seorang tiran, karena ia yakin, bahwa tirani berarti memperkosa hak asasi manusia lain sesama hamba Allah SWT. Dengan kata lain ia yakin, bahwa otoriterisme dan tirani bertentangan dengan kemanusiaan yang 'adil dan beradab.
b. Definisi Tuhan
Demi untuk memudahkan kaji, sebaiknya kita mulai dengan memberikan definisi tuhan, supaya pengertian kita sama. Tentu definisi yang paling tepat ialah yang diambil dari pemahaman akan pengertian tuhan menurut yang dijabarkan di dalam al-Qur'an. Untuk itu, perlu kita sadari dua kenyataan terpenting, yang pasti akan kita peroleh apabila kita kaji dengan sungguh-sungguh kandungan al-Qur'an.
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominir) olehnya (sesuatu itu).
Perkataan "dipentingkan" hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan definisi al ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo'a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (Dr. Yusuf Qardawi: "Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, (Haqiqat Al-Tauhid) terjemahan H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul Hikmah, Bima, hal. 26 - 27).
Berdasarkan definisi ini dapatlah difahami, bahwa tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheist, tidak mungkin tidak bertuhan. Berdasarkan logika al-Qur'an bagi setiap manusia mesti ada sesuatu yang dipcrtuhankannya. Dengan demikian, maka orang-orang komunis itu pun pada hakikatnya bertuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideology atau angan-angan (Utopia) mereka, yaitu terciptanya "masyarakat komunis, di mana setiap orang boleh bekerja menurut kemampuan masing-masing dan mendapatkan penghasilan sesuai dengan kebutuhan masing-masing", sebagai yang dirumuskan dengan jelas oleh pemimpin mereka, Lenin, di dalam manifesto communisme-nya: "From everyone according to his ability, and for everyone according to his need." Ungkapan inilah yang diterjemahkan oleh para pemimpin mendiang PKI (Partai Komunis
Sebahagian orang ada yang menganggap dirinya sedemikiran pintarnya, sehingga ia merasa tak perlu bcrtuhan. Mereka mengatakan, bahwa mereka tidak perlu kepada sesuatu yang tak dapat dibuktikan. Merekapun menolak jika dikatakan atheist. Mereka menamakan diri mereka agnostic. Salah seorang tokoh orang-orang agnostic ini yang terkemuka ialah mendiang Bertrand Russel, ahli falsafah dari Inggris, yang pernah diundang dengan hormatnya untuk memberikan kuliah pada beberapa universitas di Amerika Serikat di awal tahun empat-puluhan. Kuliah-kuliah yang disampaikannya telah sempat menimbulkan kemarahan tokoh-tokoh Kristen Amerika, terutama Bishop Manning dari Gereja Episcopal, karena dianggap "sangat bertentangan dengan agama dan nilai-nilai moral". Memang Russel berpendirian, bahwa "semua agama yang ada didunia ini Budha, Hindu, Kristen, Islam, dan Komunisme " adalah palsu dan berbahaya" ("I think all the great religions of the world --Buddhism, Hinduism, Christianity, Islam, and Communism-- both untrue and harmfull"), karena itu ia menentang semua agama.
Sangat menarik perhatian kita ialah, sama dengan Toynbee, Russel pun menganggap komunisme sebagai agama. Kalau kita baca bukunya yang terkenal: "Why I Am Not a Christian" (Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen), maka dapat kita simpulkan, bahwa ia tokoh bertuhan juga. Russel, pada hakikatnya, telah mempertuhankan 'aqalnya. Selama ia bisa konsisten, sebenarnya masih lumayan, terutama jika dibandingkan dengan orang yang bertuhankan hawa nafsunya. Tetapi, mungkinkah seseorang senantiasa consistent .?
Berdasarkan pengertian "ilah" atau tuhan yang telah diberikan definisinya di atas, maka dapat pula secara logika dibuktikan, bahwa tidak ada manusia yang mampu berfikir logis, yang tidak punya tuhan. Bahkan bisa dibuktikan, bahwa tidak mungkin bagi manusia tidak punya sesuatu kepercayaan. Apabila seseorang mengatakan: "saya tidak percaya kepada sesuatu apa pun," maka ia akan dihadapkan kepada suatu kontradiksi, karena pernyataan tersebut mengandung pembatalan diri. Jika benar ia tak pcrcaya kepada sesuatu apapun, maka kalimat itupun ia harus sangkal kebenarannya. Jika tidak, maka terbukti ia tokh masih punya satu kepercayaan, yaitu kebenaran pernyataan tersebut, maka sikap itu bertentangan pula dengan arti kalimat itu. Jadi kalimat itu tidak logis, dan tidak mungkin terucapkan oleh seseorang yang mampu dan mau berfikir logis.
· SYIRIK dan MUSYRIK
Dalam kenyataannya, kebanyakan manusia di dunia ini bertuhan lebih dari satu. Al-Qur'an menamakan mereka ini musyrik, yaitu orang yang syirik. Kata syirik ini berasal dari kata "syaraka" yang berarti "mencampurkan dua atau lebih benda/hal yang tidak sama menjadi seolah-olah sama", misalnya mencampurkan beras kelas dua ke dalam beras kelas satu. Campuran itu dinamakan beras isyrak. Orang yang mencampurkannya disebut musyrik.
Lawan "syaraka" ialah "khalasha" artinya memurnikan. Beras kelas satu yang masih murni, tidak bercampur sebutir pun dengan beras jenis lain disebut beras yang "Khalish". Jadi orang yang ikhlash bertuhankan hanya Allah ialah orang yang benar-benar bertawhid. Inilah konsep yang paling sentral di dalam ajaran Islam.
Mentawhidkan Allah ini tidaklah semudah percaya akan wujudnya Allah. Mentawhidkan Allah dengan ikhlash menghendaki suatu perjuangan yang sangat berat.Mentawhidkan Allah adalah suatu jihad yang terbesar di dalam hidup ini.
Kenyataannya, orang-orang yang sudah mengaku Islam pun, bahkan mereka yang sudah rajin bershalat, berpuasa dan ber'ibadah yang lain pun, di dalam kehidupan mereka sehari-hari masih bersikap, bahkan bertingkah laku seolah-olah mereka masih syirik (bertuhan lain di samping Tuhan Yang Sebenarnya). Mereka masih mencampurkan (mensyirikkan) pengabdian mereka kepada Allah itu dengan pengabdian kepada sesuatu "ilah" yang lain. Pengabdian sampingan itu biasanya ialah di dalam bentuk "rasa ketergantungan" kepada ilah yang lain itu. Oleh karena itu, al-Qur'an mengingatkan setiap Muslim, bahwa dosa terbesar yang tak akan terampunkan oleh Allah ialah syirik .
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisaa : 48)
Rasulullah pun pernah mengatakan, bahwa pokok pangkal setiap dosa ialah syirik ini, jadi senada dengan peringatan yang disampaikan al-Qur'an. Dapat difahami, bahwa setiap orang yang akan melakukan sesuatu dosa, apalagi buat pertama kali, akan merasakan, bahwa hati nuraninya akan memberontak. Detak jantungnya akan bertambah cepat, timbul rasa malu kalau-kalau perbuatannya itu akan dilihat orang lain, terutama kenalannya, maka pada saat itu ia lebih takut (malu) kepada orang (ilah lain) dari pada kepada Allah, Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Maka pada saat itu ia sudah syirik sebelum melaksanakan keinginan hawa nafsunya itu.
Peringatan al-Qur'an dan ucapan Rasul itu disampaikan karena Allah sendiri tahu, bahwa memang tidak mudah mencapai tingkat tawhid yang ikhlash itu. Sangat banyak kendala dan halangan yang harus diatasi jika orang ingin mencapai tingkat tawhid yang murni ini.
a. Tuhan-Tuhan Yang Populer
· Harta atau Uang Sebagai Ilah
Tuhan lain atau "tuhan tandingan", yang paling populer di zaman modern ini ialah uang, karena ternyata memang uang ini termasuk "ilah" yang paling berkuasa di dunia ini. Di kalangan orang Amerika terkenal istilah "The Almighty Dollar" (Dollar yang maha kuasa). Memang telah terbukti di dunia ini, bahwa hampir semua yang ada di dalam hidup ini dapat diperoleh dengan uang, bahkan dalam banyak hal harga diri manusia pun bisa dibeli dengan uang.
Pada mulanya manusia menciptakan uang hanyalah sebagai alat tukar untuk memudahkan serta mempercepat terjadinya perniagaan. Maka uang bisa ditukarkan dengan barang-barang atau jasa dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, uang juga disebut sebagai "harta cair" (liquid commodity). Kemudian, fungsi uang sebagai alat tukar ini menjadi demikian efektifnya, sehingga di zaman ini, terutama di negeri-negeri yang berlandaskan materialisme dan kapitalisme, uang juga dipakai sebagai alat ukur bagi status seseorang di dalam masyarakat.
· Takhta Sebagai Ilah
"Tuhan tandingan" kedua yang paling populer ialah pangkat atau takhta, karena pangkat ini erat sekali hubungannya dengan duit tadi, terutama di negeri-negeri yang sedang berkembang. Pangkat atau takhta bisa dengan mudah dipakai sebagai alat untuk mendapat duit atau harta, terutama di negeri-negeri di mana kebanyakan rakyatnya masih berwatak "nrimo", karena belum terdidik dan belum cerdas. Apalagi, kalau di negeri itu kadar kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, masih rendah.
Di negeri-negeri yang rakyatnya sudah cerdas, dan kebebasan mengeluarkan pendapat terjamin penuh oleh undang-undang, memang peranan pangkat dan kedudukan tidak mudah, bahkan tidak mungkin dipakai untuk mendapatkan uang / harta. Oleh karena itu, orang-orang yang ikut aktif di dalam perebutan kedudukan yang bersifat politis di negeri- negeri yang sudah maju ini biasanya orang-orang yang sudah kaya lebih dahulu. Mendiang presiden Kennedy, umpamanya, menolak pembayaran gajinya sebagai presiden yang jumlahnya ketika itu 125 ribu dollar setahun, karena ia sudah jutawan sebelum jadi presiden. Ia merebut kedudukan kepresidenan dengan mengalahkan Nixon, ketika itu, karena dorongan rasa patriotiknya, atau mungkin juga demi menjunjung tinggi nama dan kehormatan keluarganya, namun bukan karena menginginkan kekayaan yang mungkin diperoleh dari kepresidenan itu.
Suatu hal yang sangat menarik, karena berhubungan dengan masalah ini, ialah, bahwa Al-Qur'an sudah mengajarkan kepada para Muslim yang benar-benar bertawhid (beriman) agar mereka memilih pemimpin, selain Allah dan Rasul-Nya, hanyalah "orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan membayarkan zakat seraya tundak hanya kepada Allah." Ayat selengkapnya berbunyi:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.(QS Al Maidah : 55)
Sungguh, sangat tinggi hikmah yang terkandung di dalam ayat ini, terutama mengenai masalah memilih atau menentukan pemimpin. Sangat sayang, bahwa kebanyakan ummat Islam pada saat ini belum sempat mencapai tingkat kecerdasan yang memadai untuk memahami dan menghayati kandungan ayat suci ini. Oleh karena itu, ummat ini belum juga berhasil memilih pemimpin mereka sesuai dengan kandungan ajaran Allah ini. Akibatnya, ummat Islam belum mampu mencapai tingkat kemerdekaan (tawhid) yang minimal menurut standard yang dikehendaki al-Qur'an. Benar juga kiranya, jika ada yang mengatakan, bahwa "al-Qur'an masih terlalu tinggi bagi kebanyakan ummat Islam pada masa ini". Dengan perkataan lain, ummat Islam pada masa ini masih terlalu rendah mutunya, sehingga belum pantas untuk menerima al-Qur'an yang mulia itu.
Oleh karena itu, kita tak perlu heran jika nilai-nilai dasar dan pokok yang diajarkan di dalam al-Qur'an masih lebih mudah terlihat dipraktekkan di negeri-negeri, yang justru mayoritas penduduknya resmi belum beragama Islam.
· Syahwat Sebagai Ilah
Tuhan ketiga yang paling populer pada setiap zaman ialah syahwat (sex). Demi memenuhi keinginan akan sex ini banyak orang yang tega melakukan apa saja yang dia rasa perlu. Orang yang sudah terlanjur mempertuhankan sex tidak akan bisa lagi melihat batas-batas kewajaran, sehingga ia akan melakukan apa saja demi kepuasan sex-nya.
Contoh-contoh dalam sejarah mengenai hal ini cukup banyak, sehingga Allah mewahyukan riwayat yang sangat rinci tentang nabi Yusuf yang telah berjaya menaklukkan godaan sex ini. Nabi Yusuf dipujikan dalam al-Qur'an sebagai seorang yang telah berhasil menentukan pilihan yang tepat ketika dihadapkan dengan alternatif: pilih hidayah iman atau kemerdekaan. Beliau memilih ni'mat Allah yang pertama, yaitu hidayah iman. Dengan mengorbankan kemerdekaannya beliau memilih masuk penjara daripada mengorbankan imannya dengan tunduk kepada godaan keinginan syahwat isteri menteri, majikan beliau.
“Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh."(QS. Yusuf :33)
Sajak "Aku" karya Chairil Anwar yang sudah dikoreksi kiranya dapat dipakai untuk melukiskan pribadi
AKU
Bila sampai waktuku
'Kumau tak seorang '
Tidak juga 'kau.
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini hamba Allah
Dari gumpalan darah
Merah
Biar peluru menembus kulitku
'Ku '
Mengabdi dan mengabdi
Hanya kepada-Mu
Ilahi Rabbi
b. Tauhid Seorang Muslim
Dengan bertuhan hanya kepada Allah SWT, yang kekuasaan-Nya memang muthlak dan benar-benar nyata, pada hakikatnya manusia akan mampu mcni'mati tingkat kemedekaan yang paling tinggi, yang mungkin tercapai oleh manusia. Inilah yang dituju oleh setiap Muslim di dalam hidupnya. Setiap Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang dari Allah Penciptanya. Ia menghargakan kemerdekaan itu sedemikian tingginya sehingga tanpa ragu-ragu, jika perlu, ia siap mengorbankan hidupnya sendiri demi mempertahankan kemerdekaan itu. Jika hal ini terjadi, maka ia akan mendapat kehormatan yang paling tinggi dari Allah sendiri. Demikian rupa tinggi kehormatan itu, sehingga ummat Islam dilarang Allah mengatakan orang ini mati, jika ia gugur di dalam mempertahankan haknya ini. Karena walaupun tubuhnya sudah menjadi mayat, namun dalam penilaian Allah SWT orang ini tetap hidup. Apanyakah yanghidup? Tiada lain melainkan KEMANUSIAAN-nya. Bukankah sudah diterangkan di atas, bahwa nilai kemanusiaan seseorang itu sebanding dengan kemerdekaan yang dihayatinya.
Kalau seseorang telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaannya, maka pada hakikatnya ia telah mempertahankan nilai kemanusiaannya yang sempurna, karena ia telah meletakkan hak kemerdekaannya, dus kemanusiaannya, lebih penting dari kehidupan jasmaninya. Apalah arti kehidupan jasmaniah jika nilai kemanusiaan sudah tiada. Apalah artinya kehidupan jasmani melulu, jika telah hampa akan nilai kemanusiaan yang mulia. Bukankah kehidupan hampa seperti ini oleh pepatah bangsa kita dinamakan: "bak hidup bercermin bangkai .?" Bunyi pepatah ini selengkapnya ialah: "Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai". Jelas sekali bahwa nilai Islam telah lama meresap ke dalam jiwa bangsa kita, sehingga pepatah kuno ini telah bernafaskan tawhid.
Kemerdekaanlah satu-satunya nilai, yang telah ditaqdirkan Allah berfungsi untuk membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Sungguhlah kehidupan orang yang tidak menghayati kemerdekaan, pada hakikatnya telah menempatkan kehadirannya di dunia yang fana ini serba salah. Dikatakan manusia ia tidak punya nilai kemanusiaan (kemerdekaan), dikatakan bukan manusia tubuh dan bentuknya menggambarkan dia tepat seperti manusia.
Oleh karena itulah, maka mereka yang telah berani membayar nilai kemerdekaannya dengan mengorbankan kelangsungan hidup jasmaniahnya dinilai Allah lebih hidup dari mereka yang sekadar "bercermin bangkai" tadi. Di dalam al-Qur'an mereka yang telah gugur karena mempertahankan kemerdekaannya ini dinamakan "syahid", karena ia telah berani menjadi "saksi" akan kebenaran ajaran Allah SWT, yang mengatakan bahwa nilai kemanusiaan, yang pada hakikatnya abadi itu lebih penting dari kehidupan jasmaniah yang temporer (sementara atau fana) ini. Allah melarang ummat Islam mengatakan mereka mati, karena pada hakikatnya mereka itu hidup. Apanyakah yang masih hidup, padahal batang tubuhnya sudah tergeletak tak bergerak lagi? Mereka tetap hidup di dalam nilai kemanusiaannya (kemerdekaannya) yang abadi. Dalam ayat Allah SWT dikatakan: "Jangan engkau katakan mereka yang telah terbunuh dalam jalan Allah itu mati, karena sesungguhnya mereka itu hidup, tapi engkau tiada mengerti". (Q. 2:154)
Kehidupan yang berma'na ialah kehidupan yang bebas dari segala macam keterikatan yang tak perlu. Namun bebas sepenuhnya tidaklah mungkin bagi setiap manusia. Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa setiap orang mesti memerlukan sesuatu yang dipentingkannya. Oleh karena sifat asli manusia itu haniif (cenderung kepada kebaikan/kebenaran), maka sesuatu yang dipentingkan oleh manusia itu senantiasa berupa sesuatu, yang menurut penilaiannya baik/benar. Dengan demikian maka dapat difahami, bahwa yang dipertuhankan manusia itu biasanya sesuatu yang menurut dia benar/baik.
Jadi, tuhan itu selamanya merupakan suatu kebenaran atau kebaikan bagi yang mempertuhankannya, walaupun relatif atau sementara. Di dalam pengalamannya manusia merasa terikat akan tuhan-tuhan ini sebelum tuhan-tuhan ini diperolehnya. Misalnya, orang yang bersedia bekerja keras belajar sampai kurang tidur, bahkan terlupa makan sebelum menempuh ujian untuk mendapatkan ijazah tertentu. Pada saat itu ijazah inilah yang menjadi tuhannya, karena ijazah ini telah mengatur irama hidupnya. Namun setelah ijazah berada di tangan, maka kcpcntingannya dan nilainya segera jatuh menjadi hampir nol.
c. Muhammad Sebagai Manifestasi Tauhid yang Paripurna
Dengan kupasan yang berdasarkan logika semata kita hanya mampu sampai kepada pengetahuan, bahwa yang pantas kita ilahkan hanyalah Allah, Yang punya sifat-sifat Mutlak, Unique (Maha Tunggal), dan Distinct (Beda dengan Semua - Muchalafatuhu lil hawadithi). Sifat-sifat ini penting, namun tidak akan memenuhi kebutuhan manusia yang lebih asasi. Manusia sebagai makhluq yang juga punya rasa di samping aqal menghendaki pula pemuasan fakultas rasa ini. Ketiga sifat Allah tersebut hanya memenuhi kepuasan aqal, mereka belum menyentuh hasrat rasa. Hasrat utama setiap manusia yang ingin hidup normal dan sehat bathiniah tidak terpenuhi hanya dengan mengetahui adanya Allah Yang Maha Mutlak, Maha Tunggal, dan Maha Berbeda dengan semua.
Demi memenuhi kebutuhan asasi manusia inilah, maka Allah dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk berdialog dengan manusia dan menerangkan sifat-sifat-Nya yang lain yang dibutuhkan manusia demi memuaskan hasrat aqal dan rasa secara seimbang. Salah satu ayat disampaikan Allah kepada manusia dalam rangka memperkenalkan Diri-Nya kepada manusia ialah: "Sesungguhnya ilah kamu Ilah Yang Satu, tiada ilah lain selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." (Q. 2:163).
Dengan ayat ini Allah telah memperkenalkan Diri kepada manusia sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sifat yang dua inilah yang sangat didambakan oleh manusia dalam hidupnya. Tidak ada manusia yang betah hidup di dunia ini tanpa mendapat dan merasakan kasih sayang yang murni, tanpa pamrih. Sebelum manusia mencapai umur 'aqil baligh, ia telah mendapat kasih sayang yang murni itu dari ibu dan bapaknya. Sebelum ia pandai membedakan mana yang baik dan buruk seyogianyalah manusia diperkenalkan kepada Allah Al Rahman Al Rahim melalui pendidikan yang penuh kasih sayang orangtuanya. Setiap hari sejak kecilnya ia telah dididik mengulang-ulang kedua sifat ini minimum tiga puluh empat kali (tujuh belas raka'at kali dua dalam setiap membaca al Fatihah) demi meyakinkan dirinya akan kasih sayang Allah ini.
Untuk dapat menerima ayat tersebut sebagai firman Allah, maka manusia haruslah mempercayai kerasulan Muhammad SAW sebagai pembawa firman Allah ini. Keyakinan yang bulat akan integritas Muhammad merupakan syarat mutlak untuk menerima al-Qur'an sebagai firman Allah. Oleh karena itu sesudah meyakini kalimat "Laa ilaha illa Allah" seorang Muslim harus pula meyakini "Muhammad Rasul Allah" sebagai commitment kedua.
Kedua kalimat ini dikenal dengan nama "Syahadatain" atau dua kalimah kesaksian. Kalimat kedua merupakan jembatan hati antara setiap Muslim dengan al-Qur'an sebagai firman Allah yang tak perlu diragukannya, karena mengandalkan sifat Muhammad yang terkenal "amanah" itu. Maka seluruh jalan hidupnya akan berpedoman kepada firman Allah yang dikumpulkan di dalam mushaf yang telah mulai dijilid sejak zaman Abu Bakar, shahabat terdekat Rasul, dan khalifah pertama sesudah wafatnya Rasulullah.
Kedua kalimat ini lebih berarti dari apapun di dunia ini, kalimat itu adalah kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan syahadatain merupakan kunci syurga yang merupakan idaman dan tujuan dari penghambaan seluruh makhluk yang mengabdi dengan segenap jiwa dan raga.
Tauhid adalah kebahagiaan bagi seorang muslim sejati yang telah terlepas dari berbagai ikatan dunia dan telah terbebas dari belenggu rasa takut dan gelisah, contoh paripurna dari tauhid adalah Baginda Rasulullah SAW, beliau adalah Al-Qur’an yang Hidup. Semoga Allah memberikan kita kekuatan dan hidayah agar mencapai derajat Tauhid dalam kehidupan kita dan terbebas dari takut dan gelisah dalam samudera kehidupan yang indah ini.
Laa Takhaf Wa Laa Tahzan
Wahai kau yang dibelenggu rantai takut dan gelisah
Pelajarilah mutu kata Nabawi: "Laa Tahzan"
Jangan takut tak berketentuan
Jika adalah padamu Tuhan Yang Maha Kuasa
Lemparkanlah jauh-jauh segala takut dan bimbang
Lemparkan cita untung dan rugi
Kuatkan iman sekuat tenaga
Dan kesankanlah berkali-kali dalam jiwamu: "La Khaufun 'Alaihim"
Tiada resah dan gentar pada mereka bagi zaman '
Bila Musa pergi kepada Fir'aun
Hatinya membaja oleh mutu kata:
"Laa Takhaf, janganlah takut dan bimbang"
Siapa yang telah mempunyai semangat al-Musthafa
Melihat syirik dalam setiap denyut dan luapan takut bimbang.
0 comments:
Post a Comment