PERNIKAHAN LINTAS AGAMA ( PERNIKAHAN BEDA AGAMA )
PERNIKAHAN LINTAS AGAMA
( Masâilul Fiqhiyyah )
A. Pendahuluan
Sebagai agama yang paripurna Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu mendapatkan berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman terhadap tujuan dari pernikahan itu sendiri.
Menikah hendaknya bertujuan untuk mengikuti sunnah Rasullullah SAW., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat lahirnya kader-kader perjuangan dakwah di masa yang akan datang.
Selain tujuan dan semangat yang begitu mulia dari sebuah pernikahan, kita telah mengetahui bersama bahwa hukum asal dari pernikahan itu adalah mubah¸ dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi dari individu yang akan menjalani pernikahan tersebut, terkadang nikah dapat dihukumkan menjadi wajib dan terkadang penikahan itu dapat menjadi haram.
Kelenturan hukum Islam terhadap nikah bukan berarti dapat dianalogikan terhadap individu-individu yang akan menikah, terlebih dalam permasalahan aqidah dari mempelai yang akan menikah. Bagaimana Islam menjawab pernikahan lintas agama? Insya Allah dalam makalah ini, kami akan mencoba memberikan penjelasan sesuai dengan kemampuan kami tentang permasalahan-permasalahan kontemporer yang memerlukan jawaban fiqh sesuai dengan kemampuan kami berdua tentang permasalahan yang menyangkut dengan pernihakahan lintas agama. Amin ya Rabbal 'Alamin.
Dasar-dasar Pemikiran Pelarangan Menikahi wanita non Muslim
Di antara tujuan pernikahan dalam konteks kehidupan sosial adalah agar pernikahan tersebut dapat memperbaiki moral, membersihkan masyarakat dari perbuatan-perbuatan keji seperti terpelihara dari perbuatan zina dan tetap komitmen kepada ajaran Islam. Namun tujuan itu sulit tercapai bila tidak menikahi wanita-wanita shalihah yang berpegang teguh kepada agama dan memelihara kehormatan. Kebolehan menikahi wanita ahli kitab mengandung banyak resiko dan memberikan dampak negatif.
Untuk itu agar tidak terjadi kondisi yang tidak diinginkan maka pernikahan dengan wanita non muslim tersebut harus ditutup (dilarang). Hikmah yang dipetik dari pelarangan tersebut antara lain :
Pertama : pengaruh terhadap kondisi keluarga Menikahi wanita ahli kitab akan mendatangkan situasi tidak menguntungkan pada ke-Islaman seseorang, karena mereka memiliki aroma kemusyrikan ditambah bila suami tidak mempunyai kepribadian yang kuat dan tidak mempunyai pengaruh dalam keluarga ternyata dalam keluarga isteri tetap kukuh terhadap agamanya maka tidak tertutup kemungkinan ia akan membawa anak-anak ke gereja.[i]
Di samping itu larangan perkawinan dengan non muslim dilatarbelakangi oleh harapan terciptanya keluarga sakinah. Perkawinan baru akan harmonis bila terdapat kesamaan pandangan hidup antara suami isteri, karena jangankan perbedaan agama perbedaan status sosial seperti budaya dan tingkat pendidikan antara suami isteri justru mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Ditambahkan lagi bahwa kalau seorang wanita muslim dilarang kawin dengan laki-laki non muslim karena kekhawatiran ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam.[ii]
Kedua : pengaruh terhadap masyarakat
Wanita-wanita ahli kitab yang terdapat dalam masyarakat Islam akan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat Islam, lebih fatal lagi bila keberadaan mereka dalam masyarakat Islam telah terprogram untuk fungsi sebagai duta untuk menyusupkan pemikiran ke dalam umat Islam disertai dengan pengaruh-pengaruh politis yang sudah dikemas sedemikian rupa untuk menghancurkan umat Islam itu sendiri dari dalam.[iii]
Kebolehan menikahi wanita non muslim adalah berdasarkan kaedah syari’ah yang normal, di mana suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap isteri serta memiliki kewenangan untuk mengarahkan keluarga dan anak-anak dengan akhlak Islam. Laki-laki muslim dibolehkan mengawini non muslimah yang ahli kitab, supaya perkawinan itu untuk membawa misi kasih sayang dan harmonis. Sehingga terkikis dari hati isterinya rasa tidak senang terhadap Islam sehingga dengan perlakuan suaminya yang baik, yang pada akhirnya suami dapat mengenalkan keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliyah praktis sehingga ia merasakan perlakuan yang baik dan mendapatkan ketenangan, kebebasan beragama bilamana kondisi tersebut di atas tidak terwujud maka ulama sepakat melarang perkawinan tersebut.
Secara teoritis, pernikahan antara orang Muslim dengan ahli kitab memang pernah terjadi. Pada zaman sahabat misalnya, Utsman bin Affan menikah dengan Bailah binti Qaraqashah al Kalbiyah beragama Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Hudzaifah menikah dengan wanita Yahudi di Madinah. Demikian halnya dengan para sahabat lainnya seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka'bah bin Malik, Al-Mughirah bin Sya'bah pernah menikah dengan wanita ahli kitab. Bahkan Nabi sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam.
Toeri historis di atas sebenarnya tidak relevan. Sebelum pernikahan Rasulullah dengan Shafiyyah binti Hayy bin Akhtab dan Mariah Qibtiyah, keduanya sudah terlebih dahulu memeluk Islam.[iv] Sementara tentang pernikahan Hudzaifah dan Thalhah, ini dilarang oleh Umar bin Khatab dengan alasan khawatir akan diikuti oleh kaum Muslimin yang lain. Umar juga memerintahkan keduanya untuk menceraikan isteri mereka.[v] Menurut Abdul Muta'al Al-Jabri, pernikahan para sahabat dengan wanita-wanita ahli kitab ini tidak dapat dijadikan landasan untuk membolehkan pernikahan pria Muslim dengan wanita ahli kitab atau non-Muslim, karena pernikahan tersebut ditentang oleh sebagian sahabat yang lain.
Ulama bersepakat bahwa ucapan sahabat (qaul shahabiy) dan perilaku sahabat atau madzhab shahabiy yang bersumber dari Rasulullah atau yang sudah menjadi kesepakatan di kalangan sahabat merupakan dalil syar'i. Namun ulama berbeda pendapat tentang ucapan sahabat (qaul shahabiy) atau perilaku sahabat atau madzhab shahabiy yang tidak bersumber dari Rasulullah atau hasil ijtihad mereka sendiri dan tidak ada kesepakatan di antara sahabat. Ada dua pendapat ulama, yaitu pertama, ulama yang mengatakan bahwa ucapan atau perbuatan sahabat tersebut merupakan dalil syar'i,[vi] karena jarang sekali terjadi kesalahan ketika sahabat melakukan ijtihad. Hal ini karena mereka mengetahui langsung proses turunnya Al-Quran, asbab al-nuzul paham akan makna dan kandungannya. Kedua, pendapat yang mengatakan[vii] bahwa ucapan atau perbuatan sahabat yang tidak bersumber dari Al-Quran atau dari Rasulullah atau tidak ada kesepakatan di antara mereka, tidak dapat dijadikan dalil syar'i, karena sahabat merupakan manusia biasa yang juga dapat melakukan kesalahan.[viii]
Umar bin Khatab pernah melarang Thalhah dengan Yahudi dan Hadzaifah bin al-Yaman dengan wanita Nasrani,[ix] yang mengatakan :
ان حل طلا قهن فقد حل نكاحهن ولكن انتزعهن منكم
Artinya : Bahwasanya halal menceraikannya juga halal menikahinya akan tetapi jauhilah mereka dari kamu.
Di lain riwayat Umar pernah berkata :
المسلم يتزوج النصرنية ولايتزوج النصرنية المسلمة
“Laki-laki muslim (boleh) mengawini perempuan Nasrani dan (sebaliknya) laki-laki Nasrani tidak (boleh) mengawini perempuan Muslim”
Adapun sikap Umar yang tidak menyukai Thalhah dan Hazaifah yang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani ialah karena khawatir diikuti oleh orang-orang muslim lainnya sehingga mereka akan menjauhi perempuan-perempuan muslim atau kemungkinan ada maksud tertentu sehingga Umar menyuruh menceraikannya. Muhammad Ali al-Sabuny memandang pendapat Umar itu demi kemaslahatan umat khususnya umat Islam.[x]
Kesan yang dapat ditarik dari pernyataan Umar tersebut adalah bahwa bilamana pembolehan menikahi wanita non muslim (ahli kitab) secara bebas akan menumbuhkan efek di kemudian hari, baik terhadap keluarga maupun umat Islam secara umum. Karena bila tidak dilarang tentu akan banyak wanita-wanita muslim tidak mendapatkan suami dan sesuai dengan kecendrungan laki-laki untuk mencari wanita yang cantik baik dari kalangan muslimah maupun bukan muslimah, sehingga lambat laun akan mengurangi nilai-nilai keberagaman umat Islam. Jadi langkah Umar merupakan langkah preventif untuk masa mendatang.
Kontroversi Syari’ah dengan Kompilasi Hukum Islam tentang Masalah Menikahi Wanita Non Muslim
Pendapat mayoritas ulama mulai dari Sahabat Tabi’in, ulama-ulama masa awal dan kontemporer mengatakan bahwa kawin dengan wanita ahli kitab hukumnya boleh berdasarkan firman Allah surat al-Maidah ayat 5.[xi]
Al-Thabathab’i menyatakan, larangan mengawini laki-laki dan perempuan musyrik dalam surat. al-Baqarah ayat 221 ditujukan kepada laki-laki dan perempuan dan kalangan penyembah berhala, dan tidak termasuk ahli kitab,[xii] karena kawin dengan ahli kitab tidak dilarang.
Bila dibandingkan antara surat al-Maidah ayat 5 dengan surat al-Baqarah ayat 221, maka tampaklah adanya perbedaan antara status musyrik dengan ahli kitab. Masing-masing mempunyai ketentuan sendiri, yakni haram menikahi musyrik dan boleh menikahi ahli kitab. Ini disebabkan karena perbedaan antara ahli kitab dengan musyrik ketika dua kata penghubung “waw” seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 105, yakni :
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (105)
Orang-orang kafir dari ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Jadi ayat di atas jelas menunjukkan adanya perbedaan antara ahli kitab dengan musyrik, karena dibatasi oleh kata penghubung “waw”. Karenanya wajar menurut mayoritas ulama antara ahli kitab dengan musyrik berbeda.
Sekalipun mayoritas ulama pada dasarnya sepakat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab, namun dalam kebolehan tersebut juga terjadi perbedaan pendapat :
1. Menurut sebagian mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang bahwa hukum perkawinan tersebut makruh.
2. Menurut pandangan sebagian mazhab Maliki, Ibn Qasim dan Khalil, menyatakan bahwa perkawinan tersebut diperbolehkan secara mutlak.
3. Az-Zarkasyi (mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa perkawinan tersebut disunatkan apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam, seperti perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah.
Menurut hemat penulis terjadinya perbedaan pandangan dalam kebolehan menikahi wanita ahli kitab tersebut adalah sebagai ihtiathi (kehati-hatian) dalam melaksanakan syari’at Islam.
Adapun golongan yang tidak membolehkan laki-laki non muslim kawin dengan ahli kitab di antaranya golongan Syi’ah Imamiyah, mereka berargumentasi dengan firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Menurut golongan ini ahli kitab termasuk ke dalam golongan musyrik berdasarkan riwayat Ibnu Umar ketika beliau ditanya tentang hukum mengawini wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Beliau menjawab dengan ayat di atas dan menambahkan, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan pada anggapan seorang wanita (Nasrani), bahwa Tuhannya Isa pada hal Isa hanya seorang manusia dan hamba Allah.[xiii]
Kemudian mereka beralasan dengan Q.S. al-Munthahanah ayat 10
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”.
Karena ahli kitab termasuk kepada golongan kafir maka Allah melarang kaum muslim berpegang kepada tali perkawinan wanita-wanita kafir.[xiv]
Al-Thabarsi memahami makna Q.S. al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada perempuan ahli kitab yang telah memeluk Islam. Atas dasar pemahaman demikian ia berpendapat bahwa melakukan akad nikah dengan ahli kitab hukumnya terlarang secara mutlak.[xv] Pendapat tersebut didasarkan kepada firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat sahabat Abdullah bin Umar yang secara tegas melarang perkawinan seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab dengan alasan mereka adalah orang musyrik. Ia mengatakan “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang wanita yang berkata Tuhannya adalah Isa. Di samping itu berargumentasi dengan perintah Tuhan dalam Q.S. al-Mumthahanah ayat 1 yang melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai wali.[xvi]
Menurut hemat penulis pendapat Ibn Umar ini didorong oleh kehati-hatian yang sangat akan kemungkinan timbulnya fitnah bagi suami atau anak-anaknya, jika kawin dengan wanita ahli kitab, sebab kehidupan suami isteri akan membawa konsentrasi logis berupa timbulnya cinta kasih di antara mereka, dan hal tersebut dapat membawa suami condong kepada agama isterinya. Di samping itu, kebanyakan anak lebih cenderung kepada ibunya.
Senada dengan pendapat Syi’ah di atas Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c menyatakan, “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; … c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Sejalan dengan KHI, fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1 Juni 1980 menyatakan :
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya
2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim
Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar dari pada maslahatnya. Majelis Ulama Indonesia menfatwakan bahwa perkawinan tersebut haram hukumnya.[xvii]
Dari uraian di atas penulis lebih cenderung kepada pendapat jumhur yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Karena sekalipun ahli kitab pada masa Rasulullah sudah berada dalam keadaan musyrik namun al-Qur’an dalam hal ini tetap membolehkan untuk menikahi ahli kitab, sedang ahli kitab yang penulis maksud adalah ahli kitab yang muhsanat, yaitu perempuan yang memelihara kehormatannya. Dengan pengertian seperti itu dapat dipahami bahwa perempuan ahli kitab yang ditunjuk al-Qur’an adalah perempuan yang berperangai baik.
Melihat kepada analisis kebahasaan, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membedakan antara ahlul kitab dengan musyrik yang dibatasi oleh huruf athaf “ waw ”. Selain surat al-Baqarah ayat 105 yang dikemukakan jumhur di atas, di antaranya :
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (82)
Artinya : "Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami Ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan Karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri". ( QS. Al- Maidah : 82 )
Dari ayat di atas tampak bahwa secara kebahasaan al-Qur’an membedakan antara ahlul kitab dengan musyrik. Kalau memang sama antara ahlul kitab dengan musyrik maka tidak mungkin al-Qur’an membedakannya dalam penyebutannya. Sedangkan dalam hal ini al-Qur’an tidak mungkin salah dan keliru dalam susunan redaksinya.
Adanya kebolehan menikahi ahlul kitab bagi laki-laki muslim dengan dalil tersendiri (surat al-Maidah ayat 5) sebenarnya mempunyai hikmah dan rahasia tersendiri. Hikmah tersebut antara lain adalah untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya antara orang muslim dengan ahlul kitab mempunyai persamaan dalam hal prinsip-prinsip pokok (al-mabadi’ al-asasiyah) keimanan, seperti masalah ke-Tuhanan, kepercayaan tentang adanya hari kemudian, perhitungan pahala dan dosa dan lain-lain. Titik persamaan tersebut merupakan jembatan dalam rangka mewujudkan kelanggengan dan kebahagiaan kehidupan berumah tangga. Sehingga dengan adanya kebolehan laki - laki muslim menikahi perempuan ahlul kitab, diharapkan perempuan ahlul kitab tersebut akan memeluk agama Islam setelah bergaul dan mengetahui kelebihan-kelebihan Islam. Hikmah besar ini tentu kecil sekali kemungkinannya terwujud bila antara suami isteri berbeda jauh keimanan.
Di samping itu hikmah lain yang dapat dilihat adalah, boleh jadi seorang laki-laki muslim menetap di suatu daerah yang di situ tidak ada seorangpun wanita muslimah kecuali wanita ahlul kitab, sehingga dikhawatirkan akhlaknya lama-kelamaan akan menjadi rusak bila ia harus membujang. Maka dalam keadaan seperti ini kebolehan menikahi ahlul kitab sesuai dengan ketentuan ayat 4 surat al-Maidah tentu mempunyai hikmah tersendiri ketika itu dengan tetap melihat segi kemaslahatan.
Memperhatikan hukum kebolehan menikahi ahlul kitab secara mubah bagi laki-laki muslim, hendaklah dipertimbangkan secara mendalam dan cermat terutama pada zaman sekarang. Tidak selayaknya mereka memahami sesuatu yang mubah ini dengan mencakup semua ahlul kitab secara mutlak. Sebab yang dimaksud dengan wanita ahlul kitab di sini adalah mereka yang menjaga kehormatannya dan tidak sembarang wanita yang ditegaskan al-Qur’an dalam surat al-Maidah ayat 5 tersebut :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang diberi kitab sebelum kamu (QS. al-Maidah : 5)
Dalam melaksanakan sesuatu yang mubah ini, seorang laki-laki muslim harus meneliti mental dan akhlak wanita ahlul kitab tersebut. Kita lihat sendiri di samping kemurnian agama mereka sudah tidak terjamin lagi, akhlak mereka pun sudah banyak yang terbawa kepada corak kehidupan bebas dan permisivisme. Sehingga sangat janggal bila dihubungkan dengan nilai-nilai Islami yang dikehendaki Islam dalam membina rumah tangga.
Menurut penulis, hukum mubah harus dihubungkan dengan alasan mengapa pernikahan tersebut dibolehkan. Salah satu hikmahnya sebagaimana yang telah penulis ungkapkan di atas adalah dalam rangka berdakwah kepada mereka dengan harapan mereka bisa memeluk agama suaminya (Islam). Tetapi apabila sebaliknya yang terjadi di mana justru laki-laki muslim yang terbawa kepada agama si isteri maka hukum mubah dalam hal ini dapat berubah menjadi haram. Maka dalam hal ini menurut pendapat penulis kita dapat mempergunakan metode سد الذريعة.
Menurut hemat penulis bahwa tujuan digunakannya metode ini adalah untuk menghindari kemudharatan yang mungkin timbul sebagai akibat dilakukannya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab. Dengan demikian lebih berorientasi kepada akibat perubahan yang dilakukan seseorang.
Berbicara tentang kemudharatan yang harus diperhatikan ketika akan menetapkan hukum berdasarkan metode سد الذريعة , maka perlu dipahami bahwa zariah yang akan membawa kepada kemafsadatan itu harus ditetapkan berdasarkan penelitian yang seksama. Dalam kaitan ini penulis akan mencoba mengemukakan berbagai bukti akibat dilangsungkannya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab. Setidak-tidaknya ada dua akibat negatif dari dilangsungkannya perkawinan tersebut : pertama, beralihnya agama suami kepada agama yang dianut oleh isteri, dan kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anak-anak dari perkawinan tersebut mengikut kepada agama ibunya.
Hal ini menurut hemat penulis adalah kemudharatan yang asasi, karena suami tidak dapat menjaga agamanya dan agama anak-anaknya. Pada hal menjaga agama termasuk kepada unsur maslahat yang menempati peringkat dharuriyat. Dengan kata lain kemaslahatan menghendaki agar perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab yang diperbolehkan al-Qur’an, dilarang.
Di samping, sebagaimana diketahui bahwa tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa sebagaimana dimaksud surat ar-Rum ayat 21. Tetapi berkenaan dengan hal demikian, apakah tujuan demikian dapat dicapai sedangkan antara suami dan isteri berbeda akidah.
Dalam hal ini kita membuat pengandaian, apabila si suami memiliki kepribadian yang kuat dan tegar serta berpengaruh kepada isterinya, maka ada kemungkinan keluarga ini masih mampu memelihara warna Islam. Tetapi tidak sedikit yang terjadi sebaliknya, justru isteri yang lebih berpengaruh dari pada suami. Yang lebih parah lagi apabila isteri tetap kokoh dengan keyakinannya maka keyakinan tersebut akan ditanamkannya pada anak-anaknya sebagaimana tersebut di atas. Hal ini mungkin saja terjadi karena memang ibulah yang mempunyai waktu luas dalam bergaul dengan anak-anaknya bila dibandingkan dengan sang ayah.
Kemudian apabila kita kaitkan dengan pendidikan sang anak yang dididik oleh ibu bapak yang berbeda akidah, sudah jelas akan memberikan kerancuan dan keraguan bagi sang anak.
Karena itu menurut hemat penulis jalan yang lebih aman adalah menghindar dari persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas arahannya, yaitu kawin dengan sesama muslim. Dengan demikian resiko yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga. Prinsip inilah yang dikandung oleh metode سد الذريعة seperti yang telah disinggung di atas.
Disadari atau tidak, ternyata bahwa kemaslahatan pada suatu saat harus didahulukan dari pada nash. Al-Qur’an dan Hadis secara eksplisit telah membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab, namun kemaslahatan menghendaki lain. Dengan menggunakan metode sadd al-dzari’ah kebolehan menikahi wanita ahlul kitab berubah menjadi haram. Haram di sini bukan haram lidzatihi tetapi haram lisaddi al-dzari’ah. Metode ini sebenarnya merupakan pengejewantahan dari kaidah yang terkenal :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“menghindari mafsadat lebih didahulukan daripada menarik Kemaslahatan”
Dari sisi maqashid al-syari’ah metode ini dimaksudkan untuk merealisasikan kemaslahatan yang dijadikan tujuan utama disyari’atkannya hukum Islam. Salah satu aspek yang esensial ( dharuriyah ) dalam kasus ini adalah memelihara agama (hifzu al-din). Inilah mungkin yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya ketika beliau mengajarkan tentang bagaimana memilih calon isteri :
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبعٍ : لِمالِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَلِجَمَالِهَا ، ولِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك
“Nikahilah perempuan karena empat perkara, karena hartanya, dan karena keturunannya, dan karena kecantikannya, karena keturunannya, dank arena agamanya, pilihlah yang beragama (dalam hal ini sudah tentu yang seiman) agar selamat (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pendapat ini tampaknya selaras dengan pandangan yang dianut oleh Kompilasi Hukum Islam seperti yang terdapat dalam pasal 40 ayat (c) yang menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang yang tidak beragama Islam dan pasal 44 yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Menurut hemat penulis ketentuan yang terdapat dalam KHI tersebut telah tepat dan keputusan yang bijaksana dalam memelihara kemuliaan agama Islam.
[i] Humaidi bin Abdul Aziz al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syari’at Islam, penerjemah Kathur Suhardi, judul asli “Ahkam Nikah al-Kuffur ‘ala Mazahib al-Arba’ah” (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 1992) h. 28
[ii] M. Quraisy, Shihab, Wawasan al-Qur'an, (
[iii] Humaidy bin Abdul Aziz, op.cit ., h. 28-29
[iv] Abdul Muta' Muhammad al-Jabry. pernikahan Campuran menurut Pandangan Islam.(Surabaya: Risalah Gusti., 1992), 150-154.
[v] Al-Thabariy. Tafsir al-Thabariy. (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1999).
[vi] Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.
[vii] Di antara yang mengatakan pendapat ini adalah Imam Al-Syafi'i. Al-Syafi'i mengatakan bahwa tidak boleh menetapkan hukum atau berfatwa kecuali datang dari sumber yang jelas, yaitu Al-Quran dan Hadis dan pendapat ulama yang sudah disepakati atau yang telah diqiyaskan kepada tiga hal itu. Abdul Wahab Khalaf.. '11m ushul AI-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da'wah Al-Islamiyah, 1965).. 94-96
[viii] Abdul Wahab Khalaf, 'Ilm Ushul Al-Fiqh; Abdul Karim Zidan.. A'-Wajiz fi Ushulal-Fi h. (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1990),. 260-262
[ix] Syamsuddin M.bin M. al-Khatib al-Syarbiny, Mugni al-Muhtaj , (
[x] M. Ali al-Sabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an , (Beirut: Dar al- Qur’an al-Karim, 1999), Juz. I, h. 204-205
[xi] Syekh al-Islam Abi Yahya Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahab , (Mekah: al-Haramaini, t.th), Jil. II, h. 45
[xii] M. Husain al-Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an , (Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Mathbu’ah, 1403.H/1983), Juz.II, h. 203
[xiii] Ibnu Katsir al-Qusy ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim , (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jil. II, h. 28
[xiv] Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, Ahkam Nikah al-Kufah ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah , terjemahan, Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992), h. 25
[xv] Abu al-Fadl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim wa al-Sab al-Matsani , (
[xvi] Muhammad ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an , (
[xvii] Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama