Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Wednesday, August 26, 2009

AKAD ( 'AQD )

AKAD ( 'AQD )

Akad berasal dari bahasa Arab 'aqd yang berarti simpulan, perikatan, perjanjian, dan permufakatan (ittifaq). Pertalian antara ijab (penyerahan) dan kabul (ucapan penerimaan) menurut bentuk yang ditetapkan syariat yang berpengaruh pada objek yang dijanjikan. Artinya, meniadakan segala bentuk perikatan yang tidak dibenarkan dalam oleh hukum Islam, seperti kesepakatan untuk mencuri barang orang lain dan membunuh seseorang. Adapun ungkapan "berpengaruh pada objek" maksudnya perpindahan milik dari orang yang melakukan ijab kepada yang melakukan kabul.

Menurut jumhur ulama fiqih, rukun akad ada tiga, yaitu :

1) Sigat 'aqd (bentuk akad), yaitu ijab dan kabul (serah dan terima).

Rukun pertama ini merupakan rukun akad yang terpenting dan pada dasarnya dapat mengambil bentuk ucapan, perbuatan, isyarat atau tulisan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab. Dalam bidang muamalah, menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, akad dianggap sah meskipun dilakukan hanya dengan perbuatan saja. Dalam fikih hal ini dikenal dengan sebutan mu'atah, yaitu saling menyerahkan barang dan harga yang ditetapkan tanpa mengucapkan ijab dan kabul. Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, az-Zahiri, dan Syiah, akad tidak dapat dianggap sah jika hanya menggunakan mu'atah. Dengan alasan, mu'atah itu tidak cukup kuat untuk menunjukkan kerelaan masing-masing pihak dalam melakukan akad, karena kerelaan itu merupakan syarat mutlak dalam setiap akad. Oleh karena itu, mereka mensyaratkan sigat 'aqd dalam bentuk lisan atau ungkapan lain yang sepadan seperti isyarat dan tulisan.

Walaupun demikian, para fukaha' sepakat bahwa akad nikah tidak dianggap sah apabila dilakukan hanya dengan perbuatan (mu'atah) saja. Oleh karena itu, dalam akad nikah terkandung unsur sakral serta mempunyai dampak yang berkepanjangan bagi wanita yang dinikahi. Oleh sebab itu, setiap orang perlu bersikap hati-hati dalam melaksanakan akad nikah demi terpeliharanya kehormatan serta masa depan keluarga. Dalam pernikahan harus ada saksi. Adapun kesaksian tersebut tidak mungkin terwujud tanpa mendengarkan ucapan ijab dan kabul para pihak yang melakukan akad.

Tentang ijab dan kabul, mayoritas ulama' tidak mengharuskan agar kabul dilakukan dengan fauriyah (segera) dan berkesinambungan dengan pengucapan ijab. Alasannya, pihak yang mengucapkan kabul memerlukan kesempatan untuk berpikir. Apabila diharuskan segera melakukan kabul, berarti tidak memberikan kesempatan berpikir kepadanya. Kesempatan berpikir dan menimbang-nimbang ini berlangsung selama masih dalam majelis akad. Apabila sudah berpaling badan, maka habislah kesempatan untuk menyampaikan kabul. Imam Ramli, Ulama Mazhab Syafi'iyah mengharuskan agar kabul diucapkan segera setelah ijab. Apabila antara ijab dan kabul terselip ucapan lain yang tidak ada kaitannya, maka ijab dan kabul dianggap terputus dan tidak berkesinambungan. Dengan demikian, maka akad dianggap batal. Pemikiran ini dianggap sejalan dengan prinsip dalam kabul, bahwa kabul harus dilakukan dengan segera dan berkesinambungan dengan ijab.

Namun demikian, untuk memperlonggar prinsip ini maka ulama Mazhab Syafi'i menetapkan konsep khiyar majlis (khiar di tempat terjadinya akad) untuk masing-masing pihak. Artinya, sepanjang kedua belah pihak masih berada dalam satu majelis akad atau belum berpisah badan, mereka masih memiliki kesempatan berpikir; apakah akan tetap melangsungkan akad atau membatalkannya.

2) 'Aqid atau pihak yang melakukan akad, dalam bentuk jamak 'aqidaian yaitu para pihak yang melakukan akad.

Dalam rukun akad ini, orang yang melakukan akad disyaratkan harus telah akil baligh. Artinya, ia memiliki kecakapan untuk melakukan akad, tidak dungu, idiot ataupun gila. Apabila si pelaku akad belum baligh, maka kelangsungan akad yang dilakukannya itu tergantung pada walinya. Seseorang dianggap akil baligh jika laki-laki telah bermimpi bersetubuh dan keluar mani, sedangkan untuk perempuan telah haid atau apabila sudah mencapai usia lima belas tahun menurut jumhur ulama dan tujuh belas tahun menurut Mazhab Hanafi. Seorang anak yang masih berumur antara tujuh tahun sampai lima belas tahun dianggap sebagai anak yang mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan memilih mana yang baik dan mana yang buruk). Apabila anak mumayyiz melakukan transaksi akad, maka kelangsungan akad tersebut tergantung pada izin walinya. Namun, jika anak yang belum mumayyiz melakukan akad, maka akad tersebut dianggap batal dan tidak berpengaruh terhadap pemindahan milik barang atau objek.

3) Ma'qud alaih (barang yang dijanjikan) adalah harga, barang atau objek yang dijanjikan.

Dalam rukun ini barang yang dijanjikan wujudnya dapat berupa komiditi, seperti dalam akad jual beli, gadai dan hibah. Dapat pula berupa manfaat atau jasa, seperti dalam akad perburuhan atau ijarah. Para ulama menetapkan beberapa syarat bagi barang atau manfaat yang akan dijadikan ma'qud 'alaihi, yakni sebagai berikut :

a) Barang yang akan dijanjikan itu harus sudah ada (maujud) ketika dilakukannya akad. Dengan demikian, maka tidak sah melakukan akad atas barang yang belum ada (ma'dum), seperti menjual tanaman (padi) yang belum tumbuh, karena ada kemungkinan tumbuhan tersebut tidak tumbuh atau rusak, dan dilarang menjual janin binatang yang masih dalam kandungan karena mungkin saja terjadi kematian dalam kelahirannya.

Menurut fukaha, kaidah atau ketentuan di atas tidak berlaku terhadap 'aqd salam (indent), perburuhan (ijarah), dan memesan barang (istisna)

b) Barang yang akan dijanjikan haruslah dibenarkan oleh syariat. Ketentuan ini disepakati oleh fukaha. Mereka mensyaratkan agar barang yang akan dijanjikan haruslah berupa harta yang dimiliki dan berharga (bermanfaat). Apabila barang tersebut belum dimiliki, maka sah untuk melakukan akad, seperti melakukan akad terhadap ikan di laut yang belum ditangkap dan burung di udara. Demikian pula jika barang itu tidak berharga, seperti khamar dan babi bagi orang Islam, maka kedua benda itu tidak dapat dijadikan objek akad. Dengan demikian, sesutu yang bukan harta seperti bangkai dan darah tidak pula dapat diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan atau diwakafkan. Hal ini disebabkan sesuatu yang bukan harta tidak dapat menerima pemilikan sama sekali.

Sementara itu, Ulama Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali membolehkan seorang wanita yang sedang menyusui untuk menjual air susunya kepada orang lain, karena hal ini memang diperlukan dan sangat bermanfaat. Mazhab Hanbali juga memperbolehkan untuk menjual bagian tubuh tertentu untuk kepentingan medis, seperti menjual mata atau sekerat daging untuk menambal atau mengobati orang lain yang sedang membutuhkan. Atas dasar inilah, maka menjual darah yang lazim terjadi sekarang ini diperbolehkan karena untuk keperluan medis dan sangat bermanfaat bagi orang lain.

c) Barang tersebut dapat diserahkan ketika dilaksanakan akad. Atas dasar kesepakatan fukaha tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dapat diserahkan, sekalipun barang itu telah ada dan dimiliki oleh penjual, seperti menjual binatang yang lepas.

d) Barang yang diperjualbelikan harus jelas dan diketahui oleh pihak-pihak yang mengadakan akad agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Ketentuan ini didasarkan atas larangan yang terdapat dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya : "Rasulullah SAW melarang jual beli gharar, yang mengandung unsur penipuan, dan jual beli benda-benda yang tidak diketahui wujudnya (HR Muslim, Abu Dawud, at Tarmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, ad Darimi, Malik dan Ahmad).

e) Para ulama kecuali Ulama Mazhab Hanafi menetapkan bahwa barang yang dijanjikan harus barang yang suci, bukan barang najis atau yang terkena najis. Sementara ulama Mazhab Hanafi memperbolehkan menjual barang-barang najis seperti bulu babi, kulit bangkai, dan barang-barang najis lainnya yang dapat dimanfaatkan, kecuali barang-barang yang sudah jelas larangannya seperti khamar, ( daging ) babi, bangkai dan darah. Yang menjadi pedoman mereka adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara syar'i diperbolehkan untuk menjualnya. Oleh karena itu segala sesuatu itu pada dasarnya diciptakan untuk kepentingan manusia.

Sementara itu, rukun akad menurut mazhab Hanafi hanya ada satu, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan unsur-unsur lainnya seperti 'aqid, ma'qud alaihi, dan tempat akad hanya keharusan yang mesti ada (konsekuensi logis) yang timbul dari ijab dan kabul itu sendiri.

SASARAN ( TUJUAN AKAD )

Bagian yang cukup penting dalam masalah akad adalah tujuan mengapa dilakukan akad. Adapun tujuan akad itu terkandung dalam tiap-tiap akad itu sendiri. Beberapa bentuk akad yang dibenarkan oleh syara' (hukum Islam), misalnya akad jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik kepada pembeli dengan membayar sejumlah harga ('iwadh); akad sewa-menyewa (ijarah) bertujuan untuk pemilikan atas manfaat atau jasa dengan membayar hara sewa yang telah disepakati; akad hibah bertujuan untuk pemilikan barang yang dihibahkan, tanpa adanya pembayaran atas harga; akad pinjaman bertujuan untuk pemilikan atas manfaat barang tanpa kewajiban membayar 'iwadh; dan akad pernikahan bertujuan untuk menghalalkan hubungan (senggama) antara dua belah pihak dengan membayar sejumlah mahar.

Adapun bentuk dari tujuan akad yang dibenarkan oleh syara' inilah yang seharusnya menjadi motifasi bagi kedua belah pihak yang mengadakan akad. Dengan demikian, apabila kedua belah pihak memiliki motifasi lain yang tidak dapat dibenarkan dalam syara', maka akadnya dianggap batal. Itupun jika niatnya dinyatakan secara jelas dalam akad. Tetapi jika niatnya itu tidak dinyatakan secara jelas dalam akad, maka akadnya dianggap sah, hanya saja pelaku mendapat dosa karena menyimpan niat yang berlawanan dengan kehendak syara'. Ada beberapa bentuk akad yang menjadi ikhtilaf para ulama, contoh :

1) Jual beli inah, yaitu suatu akad yang zahirnya adalah jual beli, tetapi pada hakikatnya mengandung unsur riba. Contoh : A menjual barang kepada B dengan harga Rp. 120.000,- dengan tenggang waktu satu tahun. Kemudian A membeli kembali barang tersebut dengan harga Rp. 100.000,- secara kontan. Si B menerima pembelian kembali ini karena memerlukan uang, sekalipun tahun depan ia harus membayar dengan harga pertama yaitu Rp. 120.000,-

2) Menjual anggur kepada pembuat khamar atau kepada orang yang dianggap telah membuat khamar.

3) Perkawinan penghalal atau nikah tahlil, yaitu seseorang yang menikahi wanita yang telah di talak tiga (ba'in kubra) dengan maksud agar nanti ia dapat dikawini kembali oleh suami pertama yang telah menceraikannya.

Bentuk-bentuk akad di atas dianggap sah karena telah memenuhi rukun-rukunnya, yaitu ijab dan kabul, 'aqidain, dan ma'qud alaihi. Adapun niat pelakunya diserahkan kepada Allah, asalkan niat tersebut tidak dinyatakan dalam akad secara jelas. Menurut Mazhab Syafi'i ketiga akad di atas hukumnya haram, dan menurut Mazhab Hanafi hukumnya makruh tahrim. Pandangan ini dikenal dengan teori material (nazariyyat zatiyah) karena yang menjadi pertimbangan adalah materi akadnya bukan esensi dari akadnya.

Sedangkan menurut ulama Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali, dan Syiah, bentuk-bentuk akad di atas dianggap batal karena dilatarbelakangi oleh niat yang berlawanan dengan tujuan akad yang dibenarkan syara' (maqasidus syar'i). Menurut mereka, akad yang demikian dianggap tidak sah, meskipun telah memenuhi rukun ijab dan kabul. Pandangan ini dikenal dengan teori esensial (nazariyat maddiyah).

Read more...

Tuesday, August 25, 2009

Hukum Internasional

Al-Ahkam Ad-Dauliyah ( Hukum Internasional )

Al-ahkam ad-dauliyah dapat didefinisikan sebagai hukum antar negara atau hukum internasional, yaitu segala bentuk tata aturan atau teori-teori mengenai sistem tata hukum internasional dan hubungan hukum antar bangsa. Ad-Dauliyah merupakah bentuk sifat dari kata ad-Daulah yang berarti negara atau hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan. Teori hukum Islam kontemporer memperkenalkan konsepsi al-ahkam ad-dauliyah dalam dua bagian, yaitu al-ahkam ad-dauliyah al-ammah (hukum internasional yang berhubungan dengan masalah-masalah makro) dan al-ahkam ad-dauliyah al-khassah (hukum-hukum yang mengenai masalah-masalah mikro atau hukum perdata internasional).

Pada awalnya, Islam memperkenalkan hanya satu sistem kekuasaan politik negara kesatuan, yaitu kekuasaan di bawah risalah Nabi Muhammad SAW dan selanjutnya berkembang menjadi khilafah. Dalam sistem ini, dunia internasional dipisahkan ke dalam tiga kelompok kenegaraa, yaitu :

a. dar as-salam, yaitu negara Islam atau negara yang ditegakkan atas dasar dan untuk memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam seluruh bidang kehidupannya.

b. dar al-harbi ( darul harbi ), yaitu negara non Islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan negara Islam serta bermusuhan terhadap warga negaranya yang menganut agama Islam.

c. dar as-sulh, yaitu negara non Islam yang menjalin persahabatan dengan negara-negara Islam dan eksistensinya melindungi warga negaranya yang memeluk agama Islam.

Antara dar as-salam dan dar as-sulh terdapat persepsi yang sama tentang batas-batas kedaulatannya, untuk saling menghormati dan bahkan untuk menjalin kerjasama dengan dunia internasional. Keduanya juga terikat konvensi untuk tidak saling menyerang dan untuk hidup bertetangga secara damai. Sementara itu hubungan antara dar as-salam dan dar al-harbi selalu tampak diwarnai oleh perjalanan sejarah yang hitam. Masing-masing senantiasa memperhitungkan kemungkinan terjadinya konflik terbuka secara militer atau konflik laten secara kultural. Meskipun demikian, Islam diyakini telah meletakkan dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang. Perang dalam hal ini hanyalah untuk mempertahankan diri atau sebagai tindakan balasan. Sejarah juga mencatat bahwa "menang" berarti memperkuat sekaligus memperluas kekuasaan. Dan sebaliknya "kalah" berarti memperlemah, mempersempit dan bahkan menagakhiri kekuasaan. Perang dalam rangka menghadapi lawan memperoleh pengakuan yang sah secara hukum Islam, yakni termasuk dalam kategori jihad. Meskipun jihad dalam bentuk perang dibenarkan dalam Islam, pembenaran tersebut disamping terbatas dalam mempertahankan diri dan tindakan balasan, juga terbatas dalam rangka menaklukkan (melumpuhkan kekuatan) lawan, bukan untuk membinasakan (pembantaian dan permusuhan). Karena itu mereka yang menyerah, tawanan, perempuan dan anak-anak, orang-orang yang cacat, tempat-tempat ibadah, dan sarana serta prasarana ekonomi rakyat secara umum harus dijaga dan dilindungi.

Kekuasaan politik Islam berikutnya mengalami perubahan, tidak hanya mengakui satu sistem khilafah, tetapi telah mengakui keragaman persepsi tentang khilafah. Selain itu juga memberi pengakuan atas otonomi negara-negara bagian keamiran dan kesultanan dari Andalusia hingga Asia Tenggara.

Setelah hampir seluruh wilayah dunia Islam jatuh di bawah kekuasaan imperialis bangsa-bangsa Eropa, ide-ide modernisasi yang di bawa kaum imperialis Barat pelan-pelan tetapi pasti mempengaruhi pemikiran dan konsepsi politik umat Islam mengenai negara dan dunia internasional secara umum. Kondisi demikian memaksa para negarawan di dunia Islam mengadakan penyesuaian cara pandang tentang dunia Islam dan dunia internasional dalam dominasi ide-ide Barat itu. Konsepsi tentang negara tidak lagi berpusat pada postulat perbedaan atau persamaan agama yang dianut, tetapi beralih kepada postulat ideologis yang dipengaruhi oleh paham-paham dunia mengenai demokrasi serta sosialisme.

Terlepas dari perkembangan tersebut, bagian yang dianggap penting dalam konteks kerangka umum hukum antar golongan, bangsa, dan negara-negara, yang dianggap mencerminkan pikiran dunia Islam, antara lain adalah prinsip kedaulatan. Prinsip ini ditegakkan atas dasar satu ikatan aspirasi untuk memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam bernegara dan bermasyarakat atau setidaknya tiap penganut agama, khususnya umat Islam, terlindung untuk menjalankan syariat Islam secara bebas.

Tiap negara yang berdaulat berhak untuk mengatur sendiri negaranya dan mempertahankan diri dari ancaman stabititas dari dalam atauintervensi bangsa lain. Setiap konflik hukum yang menyangkut kepentingan antar bangsa harus diselesaikan secara adil berdasarkan hukum yang disepakati keberlakuannya secara internasional dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tiap negara juga berhak menjalin kerja sama keamanan, ekonomi, tenaga ahli, ilmu pengetahuan, maupun alih teknologi atas dasar kemaslahatan menurut ukuran-ukuran yang dapat dibenarkan oleh syara' (hukum Islam).

Dalam konteks umat, seluruh bangsa yang menganut agama Islam di berbagai negara adalah bersaudara. Sedangkan dalam konteks global, setiap manusia di seluruh dunia memiliki hak dan tanggung jawab yang asasi untuk meningkatkan taraf hidup dan untuk mengabdikan hidupnya bagi bangsa, negara, dan agamanya dalam satu taman dunia yang utuh dan padu.

Read more...

Tuesday, August 18, 2009

TA'AWUN, TANAASUR DAN TARAAHUM

TOLONG MENOLONG, SALING MENDUKUNG DAN SALING BERKASIH SAYANG ( TA'AWUN, TANAASUR DAN TARAAHUM )[i]

Ta'awun (saling tolong menolong), tanaashur (saling mendukung) dan taraahum (saling berkasih sayang) adalah merupakan buah dari ukhuwah. Karena apalah artinya berukhuwah jika kamu tidak membantu saudaramu ketika memerlukan dan menolongnya ketika dia ditimpa oleh cobaan, serta belas kasihan kepadanya ketika ia dalam keadaan yang lemah.

Rasulullah SAW telah menggambarkan tuiuan saling tolong menolong dan keterikatan antara kaum Muslimin dalam bermasyarakat antara yang satu dengan lain dengan gambaran yang mantap. Sebagaimana dalam sabdanya:

"Mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. (Rasulullah SAW sambil memasukkan jari-jari tangan ke sela jari jari lainnya) (HR. Muttafaqun 'alaih)

Satu batu merah tentu saja lemah, meskipun terlihat kuat. Dan seribu batu bata yang berserakan (tidak teratur), tidak mampu berbuat apa-apa yang tidak bisa berbentuk bangunan. Akan terbentuk bangunan yang kuat manakala batu bata itu disusun dengan teratur dalam susunan yang rapi dan kokoh sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketika itulah akan terbentuk dari batu-batu tersebut dinding yang kokoh dan dari dinding-dinding itu akan terbentuk rumah yang kuat pula, yang tidak mudah dirobohkan oleh tangan-tangan yang merusak.

Rasulullah SAW dalam hadits lainnya juga menggambarkan keterikatan masyarakat Islam antara yang satu dengan yang lainnya dalam bentuk cinta dan kasih sayang sebagai berikut:

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam (menjalin) cinta dan kasih sayang di antara mereka bagaikan tubuh yang satu, apabila ada anggota (tubuh) yang merasa sakit, maka seluruh anggota yang lainnya merasa demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)

Anggota tubuh yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan tidak bisa terpisah serta tidak akan bisa hidup sendiri-sendiri. Maka tidak bisa terpisah antara alat pernafasan dengan alat pencernaan, atau keduanya dengan tekanan darah. Masing-masing saling menyempurnakan satu dengan yang lainnya. Maka dengan kerjasama antar bagian tubuh dan saling membantu, seluruhnya akan hidup dan akan terus berkembang dan bisa berperan aktif. Rasulullah SAW juga bersabda:

"Orang-orang Muslim itu darahnya saling menyuplai, yang lemah di antara mereka akan berusaha membebaskan tanggungannya dan yang kuat di antara mereka berusaha menyelamatkan yang lemah, mereka adalah satu tangan (kekuatan) untuk menghadapi pihak-pihak selain mereka (musuh-musuh mereka), yang kuat membantu yang lemah dan yang cepat menolong yang lambat." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Rasulullah SAW juga memasukkan unsur (pemahaman) baru dalam menolong Muslim terhadap Muslim lainnya, yaitu dengan sabdanya:

"Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi,"

Nabi ditanya, "Kalau yang dizhalimi kami bisa menolong, bagaimana dengan orang yang menzhalimi wahai Rasulullah? Nabi SAW bersabda, "kamu pegang kedua tangannya atau kamu cegah dia dan kezhaliman, itulah cara kita menolongnya." (HR. Bukhari)

Al Qur'an Al Karim mewajibkan saling menolong dan memerintahkannya dengan syarat dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Ia mengharamkan dan melarang saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al Maidaah: 2)

Al Qur'an juga memerintahkan agar orang-orang yang benman antara sebagian dengan sebagian lainnya saling berwalat (mendukung), itulah salah satu konsekuensi keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perernpuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf mencegah dari yang munkar." (At-Taubah: 71)

Ini sebagai kebalikan dari sifat-sifat orang munafik yang juga berbuat demikian, sebagaimana firman Allah SWT:

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ

"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma'ruf." (At Taubah: 67)

Sebagaimana dilakukan juga oleh para sahabat, Allah SWT berfirman tentang mereka sebagai berikut:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (Al Fath: 29)

Maksud dari ayat di atas adalah agar yang kuat itu membantu yang lemah, yang kaya mengulurkan tangan kepada yang miskin. Hendaknya seorang yang alim mengajari yang bodoh, yang tua mengasihi yang muda, begitu pun yang muda menghormati yang tua, dan hendaknya yang bodoh itu mengetahui kewajibannya terhadap yang alim, dan hendaknya seluruh kaum Muslimin berada dalan satu shaf untuk menghadapi tantangan dan konspirasi (persekongkolan) musuh baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam keadaan berbaris (bershaf-shaf), seakan-akan mereka bagaikan bangunan yang tersusun kokoh."(As-Shaf: 4)



[i] Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah

(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Cetakan Pertama Januari 1997

Citra Islami Press

Read more...

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP