Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Wednesday, August 26, 2009

AKAD ( 'AQD )

AKAD ( 'AQD )

Akad berasal dari bahasa Arab 'aqd yang berarti simpulan, perikatan, perjanjian, dan permufakatan (ittifaq). Pertalian antara ijab (penyerahan) dan kabul (ucapan penerimaan) menurut bentuk yang ditetapkan syariat yang berpengaruh pada objek yang dijanjikan. Artinya, meniadakan segala bentuk perikatan yang tidak dibenarkan dalam oleh hukum Islam, seperti kesepakatan untuk mencuri barang orang lain dan membunuh seseorang. Adapun ungkapan "berpengaruh pada objek" maksudnya perpindahan milik dari orang yang melakukan ijab kepada yang melakukan kabul.

Menurut jumhur ulama fiqih, rukun akad ada tiga, yaitu :

1) Sigat 'aqd (bentuk akad), yaitu ijab dan kabul (serah dan terima).

Rukun pertama ini merupakan rukun akad yang terpenting dan pada dasarnya dapat mengambil bentuk ucapan, perbuatan, isyarat atau tulisan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab. Dalam bidang muamalah, menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, akad dianggap sah meskipun dilakukan hanya dengan perbuatan saja. Dalam fikih hal ini dikenal dengan sebutan mu'atah, yaitu saling menyerahkan barang dan harga yang ditetapkan tanpa mengucapkan ijab dan kabul. Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, az-Zahiri, dan Syiah, akad tidak dapat dianggap sah jika hanya menggunakan mu'atah. Dengan alasan, mu'atah itu tidak cukup kuat untuk menunjukkan kerelaan masing-masing pihak dalam melakukan akad, karena kerelaan itu merupakan syarat mutlak dalam setiap akad. Oleh karena itu, mereka mensyaratkan sigat 'aqd dalam bentuk lisan atau ungkapan lain yang sepadan seperti isyarat dan tulisan.

Walaupun demikian, para fukaha' sepakat bahwa akad nikah tidak dianggap sah apabila dilakukan hanya dengan perbuatan (mu'atah) saja. Oleh karena itu, dalam akad nikah terkandung unsur sakral serta mempunyai dampak yang berkepanjangan bagi wanita yang dinikahi. Oleh sebab itu, setiap orang perlu bersikap hati-hati dalam melaksanakan akad nikah demi terpeliharanya kehormatan serta masa depan keluarga. Dalam pernikahan harus ada saksi. Adapun kesaksian tersebut tidak mungkin terwujud tanpa mendengarkan ucapan ijab dan kabul para pihak yang melakukan akad.

Tentang ijab dan kabul, mayoritas ulama' tidak mengharuskan agar kabul dilakukan dengan fauriyah (segera) dan berkesinambungan dengan pengucapan ijab. Alasannya, pihak yang mengucapkan kabul memerlukan kesempatan untuk berpikir. Apabila diharuskan segera melakukan kabul, berarti tidak memberikan kesempatan berpikir kepadanya. Kesempatan berpikir dan menimbang-nimbang ini berlangsung selama masih dalam majelis akad. Apabila sudah berpaling badan, maka habislah kesempatan untuk menyampaikan kabul. Imam Ramli, Ulama Mazhab Syafi'iyah mengharuskan agar kabul diucapkan segera setelah ijab. Apabila antara ijab dan kabul terselip ucapan lain yang tidak ada kaitannya, maka ijab dan kabul dianggap terputus dan tidak berkesinambungan. Dengan demikian, maka akad dianggap batal. Pemikiran ini dianggap sejalan dengan prinsip dalam kabul, bahwa kabul harus dilakukan dengan segera dan berkesinambungan dengan ijab.

Namun demikian, untuk memperlonggar prinsip ini maka ulama Mazhab Syafi'i menetapkan konsep khiyar majlis (khiar di tempat terjadinya akad) untuk masing-masing pihak. Artinya, sepanjang kedua belah pihak masih berada dalam satu majelis akad atau belum berpisah badan, mereka masih memiliki kesempatan berpikir; apakah akan tetap melangsungkan akad atau membatalkannya.

2) 'Aqid atau pihak yang melakukan akad, dalam bentuk jamak 'aqidaian yaitu para pihak yang melakukan akad.

Dalam rukun akad ini, orang yang melakukan akad disyaratkan harus telah akil baligh. Artinya, ia memiliki kecakapan untuk melakukan akad, tidak dungu, idiot ataupun gila. Apabila si pelaku akad belum baligh, maka kelangsungan akad yang dilakukannya itu tergantung pada walinya. Seseorang dianggap akil baligh jika laki-laki telah bermimpi bersetubuh dan keluar mani, sedangkan untuk perempuan telah haid atau apabila sudah mencapai usia lima belas tahun menurut jumhur ulama dan tujuh belas tahun menurut Mazhab Hanafi. Seorang anak yang masih berumur antara tujuh tahun sampai lima belas tahun dianggap sebagai anak yang mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan memilih mana yang baik dan mana yang buruk). Apabila anak mumayyiz melakukan transaksi akad, maka kelangsungan akad tersebut tergantung pada izin walinya. Namun, jika anak yang belum mumayyiz melakukan akad, maka akad tersebut dianggap batal dan tidak berpengaruh terhadap pemindahan milik barang atau objek.

3) Ma'qud alaih (barang yang dijanjikan) adalah harga, barang atau objek yang dijanjikan.

Dalam rukun ini barang yang dijanjikan wujudnya dapat berupa komiditi, seperti dalam akad jual beli, gadai dan hibah. Dapat pula berupa manfaat atau jasa, seperti dalam akad perburuhan atau ijarah. Para ulama menetapkan beberapa syarat bagi barang atau manfaat yang akan dijadikan ma'qud 'alaihi, yakni sebagai berikut :

a) Barang yang akan dijanjikan itu harus sudah ada (maujud) ketika dilakukannya akad. Dengan demikian, maka tidak sah melakukan akad atas barang yang belum ada (ma'dum), seperti menjual tanaman (padi) yang belum tumbuh, karena ada kemungkinan tumbuhan tersebut tidak tumbuh atau rusak, dan dilarang menjual janin binatang yang masih dalam kandungan karena mungkin saja terjadi kematian dalam kelahirannya.

Menurut fukaha, kaidah atau ketentuan di atas tidak berlaku terhadap 'aqd salam (indent), perburuhan (ijarah), dan memesan barang (istisna)

b) Barang yang akan dijanjikan haruslah dibenarkan oleh syariat. Ketentuan ini disepakati oleh fukaha. Mereka mensyaratkan agar barang yang akan dijanjikan haruslah berupa harta yang dimiliki dan berharga (bermanfaat). Apabila barang tersebut belum dimiliki, maka sah untuk melakukan akad, seperti melakukan akad terhadap ikan di laut yang belum ditangkap dan burung di udara. Demikian pula jika barang itu tidak berharga, seperti khamar dan babi bagi orang Islam, maka kedua benda itu tidak dapat dijadikan objek akad. Dengan demikian, sesutu yang bukan harta seperti bangkai dan darah tidak pula dapat diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan atau diwakafkan. Hal ini disebabkan sesuatu yang bukan harta tidak dapat menerima pemilikan sama sekali.

Sementara itu, Ulama Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali membolehkan seorang wanita yang sedang menyusui untuk menjual air susunya kepada orang lain, karena hal ini memang diperlukan dan sangat bermanfaat. Mazhab Hanbali juga memperbolehkan untuk menjual bagian tubuh tertentu untuk kepentingan medis, seperti menjual mata atau sekerat daging untuk menambal atau mengobati orang lain yang sedang membutuhkan. Atas dasar inilah, maka menjual darah yang lazim terjadi sekarang ini diperbolehkan karena untuk keperluan medis dan sangat bermanfaat bagi orang lain.

c) Barang tersebut dapat diserahkan ketika dilaksanakan akad. Atas dasar kesepakatan fukaha tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dapat diserahkan, sekalipun barang itu telah ada dan dimiliki oleh penjual, seperti menjual binatang yang lepas.

d) Barang yang diperjualbelikan harus jelas dan diketahui oleh pihak-pihak yang mengadakan akad agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Ketentuan ini didasarkan atas larangan yang terdapat dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya : "Rasulullah SAW melarang jual beli gharar, yang mengandung unsur penipuan, dan jual beli benda-benda yang tidak diketahui wujudnya (HR Muslim, Abu Dawud, at Tarmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, ad Darimi, Malik dan Ahmad).

e) Para ulama kecuali Ulama Mazhab Hanafi menetapkan bahwa barang yang dijanjikan harus barang yang suci, bukan barang najis atau yang terkena najis. Sementara ulama Mazhab Hanafi memperbolehkan menjual barang-barang najis seperti bulu babi, kulit bangkai, dan barang-barang najis lainnya yang dapat dimanfaatkan, kecuali barang-barang yang sudah jelas larangannya seperti khamar, ( daging ) babi, bangkai dan darah. Yang menjadi pedoman mereka adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara syar'i diperbolehkan untuk menjualnya. Oleh karena itu segala sesuatu itu pada dasarnya diciptakan untuk kepentingan manusia.

Sementara itu, rukun akad menurut mazhab Hanafi hanya ada satu, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan unsur-unsur lainnya seperti 'aqid, ma'qud alaihi, dan tempat akad hanya keharusan yang mesti ada (konsekuensi logis) yang timbul dari ijab dan kabul itu sendiri.

SASARAN ( TUJUAN AKAD )

Bagian yang cukup penting dalam masalah akad adalah tujuan mengapa dilakukan akad. Adapun tujuan akad itu terkandung dalam tiap-tiap akad itu sendiri. Beberapa bentuk akad yang dibenarkan oleh syara' (hukum Islam), misalnya akad jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik kepada pembeli dengan membayar sejumlah harga ('iwadh); akad sewa-menyewa (ijarah) bertujuan untuk pemilikan atas manfaat atau jasa dengan membayar hara sewa yang telah disepakati; akad hibah bertujuan untuk pemilikan barang yang dihibahkan, tanpa adanya pembayaran atas harga; akad pinjaman bertujuan untuk pemilikan atas manfaat barang tanpa kewajiban membayar 'iwadh; dan akad pernikahan bertujuan untuk menghalalkan hubungan (senggama) antara dua belah pihak dengan membayar sejumlah mahar.

Adapun bentuk dari tujuan akad yang dibenarkan oleh syara' inilah yang seharusnya menjadi motifasi bagi kedua belah pihak yang mengadakan akad. Dengan demikian, apabila kedua belah pihak memiliki motifasi lain yang tidak dapat dibenarkan dalam syara', maka akadnya dianggap batal. Itupun jika niatnya dinyatakan secara jelas dalam akad. Tetapi jika niatnya itu tidak dinyatakan secara jelas dalam akad, maka akadnya dianggap sah, hanya saja pelaku mendapat dosa karena menyimpan niat yang berlawanan dengan kehendak syara'. Ada beberapa bentuk akad yang menjadi ikhtilaf para ulama, contoh :

1) Jual beli inah, yaitu suatu akad yang zahirnya adalah jual beli, tetapi pada hakikatnya mengandung unsur riba. Contoh : A menjual barang kepada B dengan harga Rp. 120.000,- dengan tenggang waktu satu tahun. Kemudian A membeli kembali barang tersebut dengan harga Rp. 100.000,- secara kontan. Si B menerima pembelian kembali ini karena memerlukan uang, sekalipun tahun depan ia harus membayar dengan harga pertama yaitu Rp. 120.000,-

2) Menjual anggur kepada pembuat khamar atau kepada orang yang dianggap telah membuat khamar.

3) Perkawinan penghalal atau nikah tahlil, yaitu seseorang yang menikahi wanita yang telah di talak tiga (ba'in kubra) dengan maksud agar nanti ia dapat dikawini kembali oleh suami pertama yang telah menceraikannya.

Bentuk-bentuk akad di atas dianggap sah karena telah memenuhi rukun-rukunnya, yaitu ijab dan kabul, 'aqidain, dan ma'qud alaihi. Adapun niat pelakunya diserahkan kepada Allah, asalkan niat tersebut tidak dinyatakan dalam akad secara jelas. Menurut Mazhab Syafi'i ketiga akad di atas hukumnya haram, dan menurut Mazhab Hanafi hukumnya makruh tahrim. Pandangan ini dikenal dengan teori material (nazariyyat zatiyah) karena yang menjadi pertimbangan adalah materi akadnya bukan esensi dari akadnya.

Sedangkan menurut ulama Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali, dan Syiah, bentuk-bentuk akad di atas dianggap batal karena dilatarbelakangi oleh niat yang berlawanan dengan tujuan akad yang dibenarkan syara' (maqasidus syar'i). Menurut mereka, akad yang demikian dianggap tidak sah, meskipun telah memenuhi rukun ijab dan kabul. Pandangan ini dikenal dengan teori esensial (nazariyat maddiyah).

0 comments:

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP