Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Your Ad Here

Thursday, July 9, 2009

Ta'wil

KATA PENGANTAR
Teks-teks keagamaan bagaimanapun juga adalah teks-teks linguistik seperti juga teks-teks yang lain. Ia selalu terhubung dengan struktur kebudayaan di mana teks tersebut diturunkan. Dari perspektif lain teks-teks tersebut tidak selalu dapat dipahami menurut makna literalnya. Karena seringkali mempunyai makna ganda. Fakta-fakta hukum fiqh menunjukkan bahwa sebuah teks hukum tertentu diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh para ulama dan karena itu keputusan hukum yang dihasilkannya juga berbeda-beda atau tidak selalu sama. Pemaknaan teks secara tunggal hanya dapat dipahami berdasarkan kesepakatan pemakainya. Lebih jauh khalifah Islam ke empat, Ali bin Abi Thalib bahkan pernah mengatakan bahwa “al Qur-an hammal Aujuhin” (al Qur-an memiliki makna multidimensi).
Pernyataan ini mengandung arti bahwa teks-teks al Qur-an dapat dimaknai menurut perspektif yang berbeda-beda.
Pertanyaan penting yang perlu diajukan berkaitan dengan tafsir kontekstual adalah bagaimana sikap kita jika makna literal atau lahiriah sebuah teks bertentangan dengan akal?. Terhadap pertanyaan ini Ibnu Rusyd memberikan jawaban yang menarik. “Jika sebuah teks agama (syari’ah) menyatakan suatu hukum, maka ia bisa sesuai dengan akal dan bisa juga tidak. Apabila ia sesuai, maka kita tidak mempersoalkannya. Tetapi jika ia bertentangan, maka kata-kata itu harus dita’wil. Ta’wil adalah mengembalikan makna hakikat (lahir) kepada makna metaforis (majaz)”.
Ta’wil dengan begitu merupakan suatu cara (metode) yang cuba untuk menjelaskan makna suatu kata atau bahasa yang jika difahami secara literal akan menimbulkan pengertian yang sulit diterima oleh akal. Pada masa klasik (zaman awal Islam) bahkan sampai hari ini, teori ta’wil diperdebatkan secara hangat dan mendalam di kalangan para ulama.
Pandangan fiqh tekstual yang ketat (ahl hadits) jarang sekali menggunakan kaedah ini. Golongan ini lebih suka menggunakan kata tafsir, meskipun al Qur-an sendiri lebih banyak menyebutkan kata ta’wil dibandingkan tafsir. Menurut mereka menggunakan kaedah ini sama artinya dengan mendahulukan akal atas naql (teks).
Pandangan ini diikuti oleh kalangan ulama “salafi” (ortodoks). Hal ini berbeda dengan kaedah fiqh rasional (ahl al ra’yi). Golongan ini menjadikan logik rasional dan ta’wil sebagai kaedah mengaktualisasikan hukum Islam sehingga keberadaannya dapat menjawab konteks sosial baru. Para ulama kemudian membedakan pengertian antara tafsir dan ta’wil. Tafsir lebih banyak berhubungan dengan riwayat (sumber-sumber transmisi) naql (teks yang lain), sementara ta’wil selalu berkaitan dengan penggunaan akal dan ijtihad. Teori ta’wil sejatinya adalah sama dengan teori hermeneutik.
Demikianlah, maka pembacaan teks-teks keagamaan melalui pendekatan kontekstual merupakan cara yang paling sesuai untuk memahami teks-teks tersebut secara benar dan proporsional agar sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ah. Pendekatan ini juga sangat relevan untuk menjawab masalah-masalah kehidupan yang berkembang termasuk masalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang masih timpang (bias gender). Dengan cara ini, perumusan syari’ah Islam akan menjadikan aturan-aturan hukum syari’ah shalihah li kulli zaman wa makan (sesuai dengan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.



TA’WIL ( MUAWWAL )
1. Pengertian Ta’wil ( Muawwal )
Menurut Etimologi
Secara etimologi, takwil dirujuk dari kata awwala, yu-awwilu yang berarti At-Tafsir (penjelasan, uraian), Al-Marja’ , Al-Mashir (kembali atau tempat kembali) atau al-Jaza’ ( Balasan yang kembali kepadanya ).
Menurut Terminologi
Menurut Imam Saukhani Takwil ialah membelokkan kalimat dari zahirnya pada arti lain yang lebih sesuai dengan alasan yang kuat sehingga arti yang lain inilah yang dianggap lebih sesuai ( Khairul Uman, 1998, hal : 21 ).
Menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqih, beliau memberikan definisi dari Ta’wil dari beberapa tokoh, di bawah ini akan kami sampaikan :
a. Abd. Wahab memberikan definisi ta’wil adalah memalingkan lafadz dari zhahirnya berdasarkan adanya dalil.
b. Ibnu Jauzi berkata bahwa ta’wil adalah mengalihkan ucapan dari maudhu’nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkannya kepada dalil, yang kalau tidak demikian, maka zhahir lafaz tidak akan ditinggalkan.
c. Ibnu Atsir memberikan definisi bahwa ta’wil adalah mengalihkan zahit lafaz dari pemakaian asalnya kepada sesuatu yang diperlukan dalil.
d. Sedangkan menurut Abu Zahrah ta’wil adalah mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepaa makna yang lain yang ada kemungkinan untuk itu.
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh takwil bermakna mengeluarkan dari artinya yang zhahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zhahirnya.
2. Dalil Penunjang Takwil
Secara ringkas dalil-dalil yang digunakan dalam takwil seperi yang disebutkan oleh Rahmat Syafe’i dalam Ilmu Ushul Fiqih adalah sebagai berikut :
a. Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
b. Ijma’
c. Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah
d. Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syari’at memperhatikan hal-hal yang berdifat juz’i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para Imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad dengan ra’yu.
e. Hakikat kemaslahatan manusia
f. Adat yang diucapkan dan diamalkan
g. Hikmah syariat atau tujuan syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik dan akhlak.
h. Qiyas
i. Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu, yang menurut kaum ushuliyyin ini lebih dikenal dengan istilah takwil qarib.
j. Kecenderungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar umum dalam pembinaan syariat yang bersifat ijtihad.


3. Syarat Takwil
Para ulama mewajibakan agar mengamalkan syariat sesuai dengan zahir ayat sehingga terdapat isyarat untuk menggunakan takwil, sesungguhnya syarat-syarat takwil itu diambil dari teks pembinaan syariat yang ada dan maksud syara’. ( Rahmat Syafe’i, 1999 : hal. 176).
Menurut Amir syarifudin ada empat hal yang merupakan syarat dari ta’wil :
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhahit dan lafaz nash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena lafaz tersebut memilliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di ta’wil, serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal yang mendorong untuk ta’wil itu :
a. bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu. Contoh, suatu hadits menyalahi maksud hadits yang lain, sedangkan hadits itu ada kemungkinan untuk di ta’wilkan, maka hadits itu dita’wilkan saja ketimbang ditolak sma sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya. Contoh, suatu lafaz dalam bentuk zahir diperuntukkan untuk suatu objek, tetapi ada makna lain yang menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertantangan dengan dalil yang ada.
Sedangkan Rahmat Syafe’i lebih memperinci syarat-syarat tersebut dengan contoh-contoh yang akan lebih memudahkan kita dalam memahami arti dan makna dari ta’wil itu sendiri, dan nash seperti apa yang dapat di ta’wil. Berikut ini akan kami sampaikan syarat ta’wil dan beberapa contohnya :
a. Lafaz yang dita’wil harus memenuhi criteria dan masuk dalam kajiannya
Dalil yang telah ditafsirkan dan telah ditetapkan ketentuan hukumnya, maka nash atau dalil tersebut tidak dapat dita’wil. Namun, menurut Imam Hanafi, ta’wil itu boleh sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syari’at Islam. Karena dasar-dasar umum syari’at adalah sumber ta’wil, karena banyak nash yang arti zahirnya mengandung makna juz’i.
b. Ta’wil harus berdasarkan dalil yang shahih
Contoh ta’wil dari mash yang di dalamnya terdapat pertentangan antara zhahir nash yang mengandung arti juz’I dengan dasar umum syari’at, adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda :
اِنَّ الْمَيِّتَ يُعَقَّبُ بِبُكَاءِِ أهْلِهِ
“Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya”
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar syariat Islam yang ada pada Al-Qur’an yaitu firman Allah Ta’ala :
ولا تزر وازرة وزر اخرى
Sebagian mujtahid menakwilkan kemutlakan hadits tersebut, kemudian mereka menaqyid dengan jenazah ketika masa hidupnya. Sehingga tidak ada pertentangan antara kedua nash tersebut. Metode seperti inilah yang dianggap terbaik dari pada mencela atau membuang salah satunya.
- Ta’wil berdasarkan dalil adalah maslahat
Yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at harus dari nash tertentu, tetapi dalil yang menaksis dalil umum, atau mengistisna dari landasan umum, baik secara khas atau amm.
Taksis merupakan bagian dari ta’wil, contohnya seperti firman Allah :
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,…..( QS. Al- Baqarah : 233 )
Menurut imam malik pengertian ibu di atas bukan terhadap setiap ibu, tapi hanya kepada ibu-ibu yang tidak sakit.
Taksis pada permasalahan seperti ini bukanlah kemaslahatan dengan zatnya, tetapi dengan dalil-dalil yang berasal dari dasar-dasar umum syari’at seperti sabda Rasulullah SAW :
لا ضرر ولا ضرار

- Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan
Yang dimaksud keadaan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan yang berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an :
“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu”. ( QS. Al- Baqarah : 29 )

c. Lafaz mencakup arti yang dihasilkan melalui ta’wil menurut bahasa
d. Ta’wil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum,
e. Arti dari pena’wilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yang dikuatkan dengan dalil.
4. Objek dan Bentuk-Bentuk Ta’wil
Sebagaimana ra’yu dan ijtihad, ta’wil tidak diperbolehkan terhadap nash-nash yang qath’i, baik secara umum ataupun khusus, yang merupakan landasan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat umum atau kaidah-kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum permasalahan furu’. Selain itu ta’wil tidak dapat tipergunakan pada masalah hukum-hukum agama yang penting yang merupakan dasar syariat Islam, untuk menghindari dari munculnya arti spekulatif tentang syariat agama itu sendiri.
Sedangkan bentuk-bentuk ta’wil itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Amir Syarifudin adalah sebagai berikut :
1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil ada dua bentuknya :
a. Ta’wil Maqbul (التأ ويل المقبول ) atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas.
b. Ta’wil ghair al-Maqbul (التأ ويل غير المقبول ) atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
2. Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wil dari makna zahirnya, ta’wil dibagi kedalam dua bentuk :
a. Ta’wil Qarib (التأ ويل القريب ), yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya. Ta’wil ini termasuk ta’wil yang diterima.
b. Ta’wil Ba’id (التأ ويل البعيد ) yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang begitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
5. Kesimpulan
Teks-teks keagamaan bagaimanapun juga adalah teks-teks linguistik seperti juga teks-teks yang lain. Ia selalu berhubung kait dengan struktur kebudayaan di mana teks tersebut diturunkan. Dari segi lain teks-teks tersebut tidak selalu dapat difahami menurut makna literalnya. Karena ia seringkali mempunyai makna ganda. Fakta-fakta hukum fiqh menunjukkan bahwa sebuah teks hukum tertentu diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh para ulama dan karena itu keputusan hukum yang dihasilkannya juga berbeda-beda atau tidak selalu sama. Pemaknaan teks secara tunggal hanya dapat dipahami berdasarkan kesepakatan pemakainya. Lebih jauh khalifah Islam ke empat, Ali bin Abi Thalib bahkan pernah mengatakan bahwa “al Qur-an hammal Aujuhin” (al Qur-an memiliki makna multidimensi).
Pernyataan ini mengandung arti bahwa teks-teks al Qur-an dapat dimaknai menurut perspektif yang berbeda-beda.
Pertanyaan penting yang perlu diajukan berkaitan dengan tafsir kontekstual adalah bagaimana sikap kita jika makna literal atau lahiriah sebuah teks bertentangan dengan akal?. Terhadap pertanyaan ini Ibnu Rusyd memberikan jawaban yang menarik. “Jika sebuah teks agama (syari’ah) menyatakan suatu hukum, maka ia bisa sesuai dengan akal dan bisa juga tidak. Apabila ia sesuai, maka kita tidak mempersoalkannya. Tetapi jika ia bertentangan, maka kata-kata itu harus dita’wil. Ta’wil adalah mengembalikan makna hakikat (lahir) kepada makna metaforis (majaz)”. (Ibnu Rusyd, Fashl al Maqal, hlm.97).
Ta’wil dengan begitu merupakan suatu cara (metode) yang cuba untuk menjelaskan makna suatu kata atau bahasa yang jika difahami secara literal akan menimbulkan pengertian yang sulit diterima oleh akal. Pada masa klasik (zaman awal Islam) bahkan sampai hari ini, teori ta’wil diperdebatkan secara hangat dan mendalam di kalangan para ulama.
Pandangan fiqh tekstual yang ketat (ahl hadits) jarang sekali menggunakan kaedah ini. Golongan ini lebih suka menggunakan kata tafsir, meskipun al Qur-an sendiri lebih banyak menyebutkan kata ta’wil dibandingkan tafsir. Menurut mereka menggunakan kaedah ini sama artinya dengan mendahulukan akal atas naql (teks).
Pandangan ini diikuti oleh kalangan ulama “salafi” (ortodoks). Hal ini berbeza dengan kaedah fiqh rasional (ahl al ra’yi). Golongan ini menjadikan logik rasional dan ta’wil sebagai kaedah mengaktualisasikan hukum Islam sehingga keberadaannya boleh menjawab konteks sosial baru atau yang berubah-ubah. Para ulama kemudian membezakan pengertian antara tafsir dan ta’wil. Tafsir lebih banyak berhubungan dengan riwayat (sumber-sumber transmisi) naql (teks yang lain), smentara ta’wil selalu berkaitan dengan keberkesanan penggunaan akal dan ijtihad. Teori ta’wil sejatinya adalah sama dengan teori hermeneutik.
Demikianlah, maka pembacaan teks-teks keagamaan melalui pendekatan kontekstual merupakan cara yang paling sesuai untuk memahami teks-teks tersebut secara benar dan proporsional agar sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ah. Pendekatan ini juga sangat relevan untuk menjawab masalah-masalah kehidupan yang berkembang termasuk masalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang masih timpang (bias gender). Dengan cara ini, perumusan syari’ah Islam akan menjadikan aturan-aturan hukum syari’ah shalihah li kulli zaman wa makan (sesuai dengan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.

0 comments:

Comments

  © Islamic Ways Psi by Journey To Heaven 2008

Back to TOP