LIMA KAIDAH POKOK
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, akhirnya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan.
Tidak henti kami berdo’a kepada Allah agar kami diberikan ilmu yang pada akhirnya dapat kami amalkan secara personal dan dapat kami aplikasikan dalam bentuk dakwah kepada masyarakat di sekitar kami, dan itulah yang menyebabkan kami tertarik untuk menimba ilmu di kampus ini, agar nantinya kami dapat menjadi manusia-manusia yang dapat memberikan solusi-solusi terhadap persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menyangkut konsep hukum dalam Islam.
Makalah ini merupakan pembelajaran baru bagi kami, karena kaidah ini sangat tidak familiar di telinga-telinga kami yang notabene berasal dari kalangan awam. Tapi tugas makalah ini memberikan motivasi yang sangat berarti dalam proses pembelajaran yang lebih intens dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan kami tentang kaidah-kaidah ilmu dalam Islam, dan ternyata Islam adalah permata yang indah yang selama ini tidak terjamah oleh tangan-tangan bodoh kami.
Tentunya makalah ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dari semua pihak agar makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat untuk kita semua.
Pontianak, 21 Juni 2008
Penulis
Pendahuluan
Maksud dari al-Qawaid Al-Assasiyah adalah qaidah-qaidah yang dipegang oleh imam-imam madzhab. Dari berbagai kalangan madzhab disebutkan bahwa kaidah-kaidah fiqiyah assasiyah ada lima. Yang kemudian kelima kaidah ini disebut qaidah fiqih yang pokok yang menjadi rujukan semua ulama dalam memecahkan permasalahan di dalam dunia fiqih Islam.
Saya akan menyampaikan secara lugas kepada pembaca dan peserta presentasi dengan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti agar kita dapat saling belajar tentang bagaimana proses kaidah ini berjalan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam fiqih itu sendiri.
I. Kaidah Pertama “الأ مور بمقا صدها“
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya, dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dalam setiap perkataan, perbuatan dan seluruh aktifitasnya bergantung kepada niatnya. Niat tersebutlah yang menjadi nilai atas status hukum amal yang mukallaf itu lakukan.
Yang mendasari kaidah pertama ini adalah :
Firman Allah :
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. ( QS. Al – Bayyinah : 5 )
Dan hadits yang begitu terkenal :
انما الاعمال با لنيا ت
“segala perbuatan itu hanyalah dengan niat” ( HR. Bukhari )
Menurut sebagian ulama ahli tahqiq, hadits ini mempunyai arti yang sangat luas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebagian dari masalah fiqih telah tercakup dalam hadits ini. Karena pada dasarnya perbuatan manusia berasal dari tiga macam; (1) dengan hati; (2) dengan ucapan; (3) dengan tindakan. Dan semua amal yang berhubungan dengan hati telah tercakup dalam hadits ini.
Niat itu tidak pada ucapan melainkan dalam hati. Meskipun demikian, karena hati sangat sulit dibaca pergerakannya, maka para ulama khususnya dari mazhab Syafi’i menganjurkan agar menzahirkan niat itu dengan ucapan lisan selain niat di dalam hati dengan tujuan untuk menolong pergerakan hati tersebut. Tetapi ketika ada perbedaan antara ucapan lisan dan perkataan hati dalam urusan yang tidak berhubungan dengan sesama manusia, maka yang didengar adalah perkataan hati. Tetapi, ketika berhubungan dengan manusia lain seperti : wasiat, ikrar, thalaq dan sebagainya, maka yang menjadi pedoman adalah perkataan lisan. Sebab kebanyakan manusia dengan mudahnya mengingkari apa yang telah terlintas dalam hatinya.
Ulama berbeda pendapat tentang niat itu apakah syarat atau rukun dari sebuah ibadah. Sebagian berpendapat bahwa niat itu adalah rukun, sebab niat adalah bagian dari zat ibadah itu sendiri; contoh : Shalat. Dan ada yang berpendapat bahwa niat itu adalah syarat, dengan alas an jika niat itu adalah rukun, maka niat itu hari diniati, dan akhirnya terjadi niat diniati. Imam Ghazali lebih memperinci hal ini, beliau mengatakan bahwa niat dalam puasa merupakan rukun sedangkan dalam Shalat niat merupakan syarat. Sedangkan Imam Nawawi dan Imam Rafi’I berpendapat sebaliknya, niat dalam shalat merupakan rukun dan niat dalam puasa merupakan syarat.
- Maksud Niat
Masksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap ibadah adalah :
1. Untuk membedakan antara ibadah dengan pekerjaan biasa, contoh : sebagai pembeda antara mandi junub dan mandi biasa. Yang membedakan kedua hal ini ada pada niat.
2. Untuk membedakan antara ibadah satu dengan yang lain. Niatlah yang membedakan antara mandi untuk pergi shalat jum’at dan mandi untuk menggunakan ihram.
Selain itu, niat pada setiap ibadah mempunyai maksud-maksud tertentu sesuai dengan ibadah yang diniatinya, Misalnya :
1. Wudhu : maksud niat dalam wudhu adalah untukmenghilangkan hadats, yakni sesuatu yang menjadi sebab haramnya melakukan shalat dan lain sebagainya.
2. Shalat : niat dimaksudkan untuk memasuki amalan yang di mulai dari takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam.
3. Haji : niat berarti memasuki suasana, di mana hal-hal yang sebelumnya dihalalkan, setelah niat itu menjadi haram.
4. Puasa : Niat dimaksudkan untuk imsak di waktu siang hari.
5. Zakat : niat untuk mengeluarkan dari sebagian harta kekayaan.
- Uraian Kaidah Niat
Kaidah pokok ini sangat luas, karena dari niat itu dibentuk batas-batas yang lebih mendetail. Kami akan memberikan beberapa batasan beserta contohnya agar kita lebih mudah dalam memahami kaidah pokok yang pertama ini.
1. “Di dalam sumpah, niat itu dapat mengkhususkan kalimat yang umum, tetapi sebaliknya tidak dapat membuat umum kalimat yang khusus”.
Misalnya :
a. Ada orang yang bersumpah : “ Demi Allah saya tidak akan berbicara dengan seseorang”, lalu ia ditanya : “Siapa yang kau maksud dengan seseorang itu ?”, kalau ia menjawab : “ Yang saya maksud dalam niat saya adalah si Fulan”. Maka menurut hukum, ia bisa dibenarkan, sehingga jika ia berbicara dengan selain Fulan, ia tidak dianggap melanggar sumpah.
b. Sebaliknya kalau ia bersumpah demikian : “Demi Allah saya tidak akan ke rumah Fulan”. Ketika ditanya siapa yang dimaksud, ia menjawab : “Yang saya maksud dalam niat (rumah) siapa saja”.
Menurut hukum, hal ini tidak bias dibenarkan dan kalau ia singgah ke rumah orang lain selain rumah Fulan, ia tidak dianggap melanggar sumpah”.
2. “ Maksud lafadh itu tergantung atas niat orang yang melafadhkannya”.
Umpamanya :
Seseorang dalam keadaan junub mengucap :
انا لله وانا اليه راجعون
Kalau dalam mengucap itu, ia berniat dzikir karena datangnya musibah, hukumnya tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan niat membaca al-Qur’an, hukumnya haram. Hal semacam ini maksud lafadh tergantung niat yang melafadhkan terkecuali kalimat sumpah diucapkan di hadapan hakim, sebab kalimat sumpah di hadapan hakim yang diperhitungkan adalah niat hakim. Maka jika seseorang terdakwa bersumpah di hadapan hakim : Demi Allah, saya harta anak yatim”, meskipun ketika mengucapkannya, ia meniatkan “tidak makan harta” dengan arti yang sebenarnya, namun yang diperhitungkan adalah niat hakim yang mengartikan kata makan harta dengan “menggunakan”, sehingga ia dianggap melanggar sumpah, apabila ia menggunakan harta itu kepentingannya.
3. “ Amalan fardhu itu, kadang-kadang dapat berhasil dengan niat sunnah”.
Misalnya :
Seseorang sedang melakukan tasyahhud akhir. Semula ia mempunyai sangkaan, bahwa yang dilakukannya adalah tasyahud awal, lalu pada akhirnya ia ingat, bahwa yang ia kerjakan adalah tasyahud akhir maka tasyahudnya tetap shah.
4. a. “ Kalau suatu ibadah sama persis dengan suatu ibadah yang lain, maka di dalam niatnya disyaratkan ta’yin ( menentukan ).”
Misalnya :
Shalat Dzuhur dan Ashar kedua-duanya sama.jublah raka’at, sifat keparduan dan sebagainya adalah persis , maka dalam niatnya harus ada ta’yin.jadi kalau itu diucapkan, begini;” Aku niat shalat fardlu Dhuhur” kata”dhuhur” harus masuk dalam rangkaiaan niat ( kalau yang sedang dikerjakan adalah shalat dhuhur),tidak cukup hanya ;’ “Aku niat Shalat Fardhu” .Demikian pula bila yang diniatkan itu shalat Ashar, mak kata “ Ashar harus di ikuti dalam niat.berbeda dengan shalat Tahiyyatul masjid dengan shalat sunnat mutlak umpamanya.Memang seolah-olah sama, tetapi sebenarnya tidak sama persis .Shalat Tahiyyatul masjid harus dilakukan dalam masid sedangkan shalat sunnat mutlak tidak karna itu, Ta’yin tidak diisyaratkan.
b. “ Bagi ibadah fardhu, di mana kefardhuannya harus dicantumkan dalam niat, maka ta’yin harus juga dicantumkan .”ini mengecualikan tayammum, yang meskipun kepardhuan tayammum harus disebut dalam niat, tetapi Ta’yinnya tidak wajib.
c. “sesuatu amal yang tidak diisyaratkan Ta’yin, tetapi Ta’yin itu dicantumkan dan kemudian terjadi kekeliruan, maka amal itu menjadi batal”
misalnya;
1. Seseorang hendak makmum shalat, seharusnya cukup dengan niat “makmum” saja, tetapi dalam niatnya, ia menyebutkan bahwa ia niat makmum kepada fulan. Tahu-tahu yang menjadi imam bukan fulan, maka makmum itu menjadi batal.
2. Seseorang hendak menyembahyangkan mayit, seharusnya cukup niat “Aku niat Shalat atas mayit ini”, baik mayit itu lelaki atau perempuan. Tetapi kalau ia niat “ Aku niat shalat atas mayit Fulan ini”, kemudian ternyata yang dishalatkan fulan, maka shalatnya tidak shah. Namun demikian, ada beberapa masalah yang menyimpang dari batasan ini.
Misalnya;
Seseorang mandi dengan niat menghilangkan hadats besar, padahal ia hanya menanggung hadats kecil saja, apabila anggota (yang mestinya dibasuh dalam wudlu) terbasuh semua, maka hadats kecilnya bisa hilang ( wudlunya sah), maka meskipun niatnya keliru ( yakni menghilangkan hadats besar).
5. “Jika kita shalat fardlu, maka wajib menerangkan kepardluan”, jadi bila niat itu dilafadhkan, akan berbunyi,” Ushalli fardlal……”, sedangkan Ada’ atau qodlo’ tidak diharuskan menerangkannya. Bagi Ibadat-ibadat puasa, haji dan wudlu tidak wajib menerangkan kepardluan dalam niat.
6. “ Pada dasarnya mewakilkan niat kepada orang lain itu tidak boleh, kecuali niat yang harus dibarengkan dengan perbuatan sedang perbuatan itu dapat diwakilkan, seperti ; membagikan zakat, memotong korban dan sebagainya “.
7. “Niat itu harus Ikhlas (murni), tidak boleh dicampuri dengan maksud lain ;
Umpamanya;
Seseorang niat shalat, lalu terlintas dalam benaknya maksud olah raga, maka niatnya tidak sah.
Ada beberapa amal yang menyimpang dari batasan ini, yakni amal yang maksudnya hanya menyatakan wujudnya amal itu, misalnya;
Shalat Tahiyyatul Masjid, maksudnya adalah agar orang yang memasuki masjid jangan duduk dulu, sebelum mewujudkan (mengerjakan shalat). Karna itu kalau seseorang masuk masjid lalu niat shalat qobliyah Dhuhur, sambil meniatkan pula Shalat Tahiyyatul masjid, maka kedua ( hati )Nya berhasil.
II. Qaidah Kedua اليقين لا يزال بالشّكّ
Arti dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah akidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at Islam.
Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaanya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti ( qath’i), bukan semata-mata oleh argument yang hanya bernilai saksi / tidak pasti.
Hampir seluruh bab fiqh bisa masuk dalam kaidah ini, Adapun sumber kaidah ini, adalah dari Firman Allah yang berbunyi :
Artinya : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. ( QS. Yunus : 36 )
Dan hadits Nabi Muhammad yang artinya :
“Manakala seseorang diantaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adalah sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, sampai ia mendengar suara atau menemukan bau.”. ( HR. Muslim )
Dari kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini,
Kaidah-kaidah itu antara lain ialah;
1. “yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula “
contoh : Seseorang mempunyai Whudu, lalu ia ragu sudah batalkan atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai whudlu.
2. “yang menjadi patokan adalah bebas dari tanggungan”,
contoh : A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai bukti maupun saksi, sedangka B ( yang diadukan) menyangkal dengan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang, maka menurut hukum, pengaduan A tertolak berdasar kaidah ini.
3. “jika ada orang ragu, apakah menjalankan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum berbuat”
contoh :A mengadukan bahwa B berhutang Rp. 1.000,- kepadanya, lalu didepan pengadilan terjadilah dialog seperti ini
Hakim : B !, benarkah kau berhutang Rp. 1.000,- kepada A? “,
B : “Benar, tetapi sudah saya lunasi”.
Hakim : “kau punya tanda bukti pembayaran hutang ?”.
B : “T I d a k”.
Hakim : “A !, kata B, hutangnya kepadamu sudah dibayar, betul ?”,
B : “Belum !”,
Maka bedasarkan kaidah ini, hakim memutuskan, bahwa hutang B kepada A belum terlunasi
4. “jika seseorang yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit “.
Contoh :
Seseorang sedang tengah-tengahnya shalat Dhuhur mereka merasa ragu, apakah yang dikerjakannya rakaat, atau baru tiga rakaat.Berdasarkan ini, yang dihitung adalah tiga rakaat dan ia harus enambah satu rakaat lagi.
5. “Asal (Didalam hak )itu tidak ada “.
Contoh :
A menyerahkan Rp. 1 000,- kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama A, menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut,tetapi B menyangkal tuduhan itu..
Berdasarkan kaidah ini, yang dibenarkan adalan B yang menyatakan tidak / belum ada keuntungan
6. “Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat”.
Contoh :
Seseorang melihat mani pada sarung yang dipakainya , lalu ia ragu, mani yang kemarinkah yang karenanya ia telah mandi atau mani baru setelah ia bangun dari tidur tadi. Berdasarkan kaidah ini, dapat diputuskan bahwa mani itu adalah baru bukan mani yang kemarin.
7. “segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Kaidah ini berasal dari imam Syafi’i, sedangkan menurut Madzhab Hanafi sebaliknya, yakni :
“ segala sesuatu pada dasarnya haram, kecuali ada dalil yang menghalalkannya”.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkannya atas hamba-Nya. Beliau berpegang kepada sabda Rasul yang artinya : “Apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa yang diharamkannya adalah haram, sedangkan yang didiamkanNya adalah dima’afkan”.
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa “memang Allah itu Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu tiu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah SWT.
III. Qaidah Ketiga المشقة تجلب التيسر
A. Pengertian
Arti dari qaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memudaratkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan hingga tidak memudaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan istilah rukhsah
Hal itu antar lain karna kemapuan seorang mukallaf itu terbatas. Kesulitan yang dianggap bias meringanka taklif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Asyatibhi antara lain sebagai berikut;
1. karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan pada dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2. Ada rasa takut akan terkuranginya kegiatan-kegiatan social yang berhubungan dengan social kemasyarakatan. Karna hubungan tersebut dalam islam bias dikatagorikan sebagai ibadah juga.
B. Sumber Qaidah
Sumber pengambilan qaidah ini, antara lain
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 185 :
Artinya : (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.( QS. Al-Baqarah : 185 )
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-hajj ayat 78:
Artinya : “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.( QS. Al-hajj : 78 )
Hadis yang diterima dari Abu Hurairah yang artinya :
“Agama itu memudahkan, Agama yang disenangi oleh Allah SWT Adalah agama yang benar dan mudah.” ( HR.Bukhari )
C. Cabang-Cabang
1 Qaidah
Artinya :
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit.
2 Qaidah
Artinya :
“semua yang melampaui batas, maka hukumny berbalik kepada kebalikannya.”
3 Qaidah
Artinya :
“Rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
4 Qaidah
Artinya :
“Rukhsah itu tidak dapat disangkut pautkan dengan keraguan.”
D. Contoh Aplikasi
Diantara contoh aplikasi dari qaidah ini adalah :
• Bolehnya berbuka puasa ketika berpergianatau ketika sakit
• Dibolehkan tidak ada ijab qabuldalam jual barang-barang yang tidak berharga.
• tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tetapi diharuskan untuk menghindarinya.
IV. Kaidah Keempat الضرر يزال
A. Pengertian
Arti qaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan. Dengan kat alain qaidah ini menunjukan bahwa berbuat kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama Islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah sehingga kerusakan itu menimpa seseorang,kedudukannya menjadi lain, bahkan bias dianggap sebagia dari keimanan terhasap qadha dan qadharnya Allah SWT. Karna segala sesuatu menjadi boleh bagi Allah SWT, Dan dari-Nya-lah kemamfaatan.
B. Sumber Qaidah
Firman Allah SWT.dalam surat Al-Baqarah ayat 231 :
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka[145]. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. ( QS.Al-Baqarah ayat : 231 )
Dan Hadis yang diriwayatkan Imam Malik yang artinya :
“tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barang siapa yang memudaratkan maka Allah SWT.akan memudaratkanny,dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.” ( HR. Imam Malik )
C. Cabang-cabang Qaidah
Diantara cabang qaidah ini yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain :
1. Qaidah
“kemudaratan membolehkan yang mudarat (dilarang .”
2. Qaidah
“Apa yang dibolehkan karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
3. Qaidah
“kemudaratan tidak bias hilang dengan kemudaratan lain.”
4. Qaidah
“jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, maka diambil kemudaratan yang paling besar.”
5. Qaidah
“menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahaan.”
6. Qaidah
“kebutuhan itu menempati kemudaratan baik secara umum maupun khusus.”
D. Contoh Aplikasi Qaidah
• Dibolehkan makan daging babiketika sedang kelaparan
• Ketika memakan makanan yang dibolehkan karna mudarat, tidak tidak boleh sampai kenyang, sekedarnya saja.
• Tidak boleh membunuh anaknya karna aladan kesulitan ekonomi, dan lain-lain.
V. Qaidah Kelima العا دة محكمة
A. Pengertian
Artinya suatu kebiasaan bisa dijadikan batasan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai
Urf atau adat. Meskipun banyak Ulama yang membedakan diantara keduanya. Namun, menurut kesepakatan Jumhur ulama, suatu adat atau urf bias diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut;
1. tidak bertentangan dengan syari’at;
2. Tidak menyebabkan Kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan;
3. telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas
B. Sumber Qaidah
Qaidah diambil dari beberapa sumber, antara lain;
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Hajj ayat 78
Artinya : “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong”.
Dan hadis yang diriwayatkan oleh imam ahmad, Al-Bajjr, dan ibnu Mas’ud yang artinya;
“apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.”( HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam kitab Al-Kabirr dari Ibnu Mas’ud )
C. Cabang-cabang Qaidah
Adapun Cabang-cabang Qaidah yang diungkapkan oleh para Ulama antara lain;
1. Qaidah;
“tidak diingkariperubahan hokum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”
2. Qaidah;
“yang baik itu menjadi urf, sebagaiman yang diisyaratkan itu menjadi syarat.”
3. Qaidah;
“yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang diterapkan melalui nash.”
D. Contoh Aplikasi
Siantara contoh aflikasi Qaidah ini, antara lain;
1. menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumblahnya, tapi karna sudah menjadi kebiasaan ( adat ) maka ulama membolehkannya.
2. mereka yang mengajarkan Al-Qur’an di bolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar Al-Qur’an terap eksis dikalangan umat Islam.
3. Orang-orang Minang Kabau memiliki adat, adat basandi syara’ dan syara basandi adat, sehingga menetapkan bahwa seorang penghulu diharuskam memiliki sifat-sifat Rasulullah SAW.
Penutup
Demikianlah Makalah ini kami sampaikan, tentunya kami menyadari akan kekurangan dan kelemahan kami dalam materi ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari semua peserta presentasi khususnya kepada dosen pembimbing yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyampaikan materi ini kepada seluruh rekan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan III
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, akhirnya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan.
Tidak henti kami berdo’a kepada Allah agar kami diberikan ilmu yang pada akhirnya dapat kami amalkan secara personal dan dapat kami aplikasikan dalam bentuk dakwah kepada masyarakat di sekitar kami, dan itulah yang menyebabkan kami tertarik untuk menimba ilmu di kampus ini, agar nantinya kami dapat menjadi manusia-manusia yang dapat memberikan solusi-solusi terhadap persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menyangkut konsep hukum dalam Islam.
Makalah ini merupakan pembelajaran baru bagi kami, karena kaidah ini sangat tidak familiar di telinga-telinga kami yang notabene berasal dari kalangan awam. Tapi tugas makalah ini memberikan motivasi yang sangat berarti dalam proses pembelajaran yang lebih intens dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan kami tentang kaidah-kaidah ilmu dalam Islam, dan ternyata Islam adalah permata yang indah yang selama ini tidak terjamah oleh tangan-tangan bodoh kami.
Tentunya makalah ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dari semua pihak agar makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat untuk kita semua.
Pontianak, 21 Juni 2008
Penulis
Pendahuluan
Maksud dari al-Qawaid Al-Assasiyah adalah qaidah-qaidah yang dipegang oleh imam-imam madzhab. Dari berbagai kalangan madzhab disebutkan bahwa kaidah-kaidah fiqiyah assasiyah ada lima. Yang kemudian kelima kaidah ini disebut qaidah fiqih yang pokok yang menjadi rujukan semua ulama dalam memecahkan permasalahan di dalam dunia fiqih Islam.
Saya akan menyampaikan secara lugas kepada pembaca dan peserta presentasi dengan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti agar kita dapat saling belajar tentang bagaimana proses kaidah ini berjalan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam fiqih itu sendiri.
I. Kaidah Pertama “الأ مور بمقا صدها“
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya, dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dalam setiap perkataan, perbuatan dan seluruh aktifitasnya bergantung kepada niatnya. Niat tersebutlah yang menjadi nilai atas status hukum amal yang mukallaf itu lakukan.
Yang mendasari kaidah pertama ini adalah :
Firman Allah :
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. ( QS. Al – Bayyinah : 5 )
Dan hadits yang begitu terkenal :
انما الاعمال با لنيا ت
“segala perbuatan itu hanyalah dengan niat” ( HR. Bukhari )
Menurut sebagian ulama ahli tahqiq, hadits ini mempunyai arti yang sangat luas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebagian dari masalah fiqih telah tercakup dalam hadits ini. Karena pada dasarnya perbuatan manusia berasal dari tiga macam; (1) dengan hati; (2) dengan ucapan; (3) dengan tindakan. Dan semua amal yang berhubungan dengan hati telah tercakup dalam hadits ini.
Niat itu tidak pada ucapan melainkan dalam hati. Meskipun demikian, karena hati sangat sulit dibaca pergerakannya, maka para ulama khususnya dari mazhab Syafi’i menganjurkan agar menzahirkan niat itu dengan ucapan lisan selain niat di dalam hati dengan tujuan untuk menolong pergerakan hati tersebut. Tetapi ketika ada perbedaan antara ucapan lisan dan perkataan hati dalam urusan yang tidak berhubungan dengan sesama manusia, maka yang didengar adalah perkataan hati. Tetapi, ketika berhubungan dengan manusia lain seperti : wasiat, ikrar, thalaq dan sebagainya, maka yang menjadi pedoman adalah perkataan lisan. Sebab kebanyakan manusia dengan mudahnya mengingkari apa yang telah terlintas dalam hatinya.
Ulama berbeda pendapat tentang niat itu apakah syarat atau rukun dari sebuah ibadah. Sebagian berpendapat bahwa niat itu adalah rukun, sebab niat adalah bagian dari zat ibadah itu sendiri; contoh : Shalat. Dan ada yang berpendapat bahwa niat itu adalah syarat, dengan alas an jika niat itu adalah rukun, maka niat itu hari diniati, dan akhirnya terjadi niat diniati. Imam Ghazali lebih memperinci hal ini, beliau mengatakan bahwa niat dalam puasa merupakan rukun sedangkan dalam Shalat niat merupakan syarat. Sedangkan Imam Nawawi dan Imam Rafi’I berpendapat sebaliknya, niat dalam shalat merupakan rukun dan niat dalam puasa merupakan syarat.
- Maksud Niat
Masksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap ibadah adalah :
1. Untuk membedakan antara ibadah dengan pekerjaan biasa, contoh : sebagai pembeda antara mandi junub dan mandi biasa. Yang membedakan kedua hal ini ada pada niat.
2. Untuk membedakan antara ibadah satu dengan yang lain. Niatlah yang membedakan antara mandi untuk pergi shalat jum’at dan mandi untuk menggunakan ihram.
Selain itu, niat pada setiap ibadah mempunyai maksud-maksud tertentu sesuai dengan ibadah yang diniatinya, Misalnya :
1. Wudhu : maksud niat dalam wudhu adalah untukmenghilangkan hadats, yakni sesuatu yang menjadi sebab haramnya melakukan shalat dan lain sebagainya.
2. Shalat : niat dimaksudkan untuk memasuki amalan yang di mulai dari takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam.
3. Haji : niat berarti memasuki suasana, di mana hal-hal yang sebelumnya dihalalkan, setelah niat itu menjadi haram.
4. Puasa : Niat dimaksudkan untuk imsak di waktu siang hari.
5. Zakat : niat untuk mengeluarkan dari sebagian harta kekayaan.
- Uraian Kaidah Niat
Kaidah pokok ini sangat luas, karena dari niat itu dibentuk batas-batas yang lebih mendetail. Kami akan memberikan beberapa batasan beserta contohnya agar kita lebih mudah dalam memahami kaidah pokok yang pertama ini.
1. “Di dalam sumpah, niat itu dapat mengkhususkan kalimat yang umum, tetapi sebaliknya tidak dapat membuat umum kalimat yang khusus”.
Misalnya :
a. Ada orang yang bersumpah : “ Demi Allah saya tidak akan berbicara dengan seseorang”, lalu ia ditanya : “Siapa yang kau maksud dengan seseorang itu ?”, kalau ia menjawab : “ Yang saya maksud dalam niat saya adalah si Fulan”. Maka menurut hukum, ia bisa dibenarkan, sehingga jika ia berbicara dengan selain Fulan, ia tidak dianggap melanggar sumpah.
b. Sebaliknya kalau ia bersumpah demikian : “Demi Allah saya tidak akan ke rumah Fulan”. Ketika ditanya siapa yang dimaksud, ia menjawab : “Yang saya maksud dalam niat (rumah) siapa saja”.
Menurut hukum, hal ini tidak bias dibenarkan dan kalau ia singgah ke rumah orang lain selain rumah Fulan, ia tidak dianggap melanggar sumpah”.
2. “ Maksud lafadh itu tergantung atas niat orang yang melafadhkannya”.
Umpamanya :
Seseorang dalam keadaan junub mengucap :
انا لله وانا اليه راجعون
Kalau dalam mengucap itu, ia berniat dzikir karena datangnya musibah, hukumnya tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan niat membaca al-Qur’an, hukumnya haram. Hal semacam ini maksud lafadh tergantung niat yang melafadhkan terkecuali kalimat sumpah diucapkan di hadapan hakim, sebab kalimat sumpah di hadapan hakim yang diperhitungkan adalah niat hakim. Maka jika seseorang terdakwa bersumpah di hadapan hakim : Demi Allah, saya harta anak yatim”, meskipun ketika mengucapkannya, ia meniatkan “tidak makan harta” dengan arti yang sebenarnya, namun yang diperhitungkan adalah niat hakim yang mengartikan kata makan harta dengan “menggunakan”, sehingga ia dianggap melanggar sumpah, apabila ia menggunakan harta itu kepentingannya.
3. “ Amalan fardhu itu, kadang-kadang dapat berhasil dengan niat sunnah”.
Misalnya :
Seseorang sedang melakukan tasyahhud akhir. Semula ia mempunyai sangkaan, bahwa yang dilakukannya adalah tasyahud awal, lalu pada akhirnya ia ingat, bahwa yang ia kerjakan adalah tasyahud akhir maka tasyahudnya tetap shah.
4. a. “ Kalau suatu ibadah sama persis dengan suatu ibadah yang lain, maka di dalam niatnya disyaratkan ta’yin ( menentukan ).”
Misalnya :
Shalat Dzuhur dan Ashar kedua-duanya sama.jublah raka’at, sifat keparduan dan sebagainya adalah persis , maka dalam niatnya harus ada ta’yin.jadi kalau itu diucapkan, begini;” Aku niat shalat fardlu Dhuhur” kata”dhuhur” harus masuk dalam rangkaiaan niat ( kalau yang sedang dikerjakan adalah shalat dhuhur),tidak cukup hanya ;’ “Aku niat Shalat Fardhu” .Demikian pula bila yang diniatkan itu shalat Ashar, mak kata “ Ashar harus di ikuti dalam niat.berbeda dengan shalat Tahiyyatul masjid dengan shalat sunnat mutlak umpamanya.Memang seolah-olah sama, tetapi sebenarnya tidak sama persis .Shalat Tahiyyatul masjid harus dilakukan dalam masid sedangkan shalat sunnat mutlak tidak karna itu, Ta’yin tidak diisyaratkan.
b. “ Bagi ibadah fardhu, di mana kefardhuannya harus dicantumkan dalam niat, maka ta’yin harus juga dicantumkan .”ini mengecualikan tayammum, yang meskipun kepardhuan tayammum harus disebut dalam niat, tetapi Ta’yinnya tidak wajib.
c. “sesuatu amal yang tidak diisyaratkan Ta’yin, tetapi Ta’yin itu dicantumkan dan kemudian terjadi kekeliruan, maka amal itu menjadi batal”
misalnya;
1. Seseorang hendak makmum shalat, seharusnya cukup dengan niat “makmum” saja, tetapi dalam niatnya, ia menyebutkan bahwa ia niat makmum kepada fulan. Tahu-tahu yang menjadi imam bukan fulan, maka makmum itu menjadi batal.
2. Seseorang hendak menyembahyangkan mayit, seharusnya cukup niat “Aku niat Shalat atas mayit ini”, baik mayit itu lelaki atau perempuan. Tetapi kalau ia niat “ Aku niat shalat atas mayit Fulan ini”, kemudian ternyata yang dishalatkan fulan, maka shalatnya tidak shah. Namun demikian, ada beberapa masalah yang menyimpang dari batasan ini.
Misalnya;
Seseorang mandi dengan niat menghilangkan hadats besar, padahal ia hanya menanggung hadats kecil saja, apabila anggota (yang mestinya dibasuh dalam wudlu) terbasuh semua, maka hadats kecilnya bisa hilang ( wudlunya sah), maka meskipun niatnya keliru ( yakni menghilangkan hadats besar).
5. “Jika kita shalat fardlu, maka wajib menerangkan kepardluan”, jadi bila niat itu dilafadhkan, akan berbunyi,” Ushalli fardlal……”, sedangkan Ada’ atau qodlo’ tidak diharuskan menerangkannya. Bagi Ibadat-ibadat puasa, haji dan wudlu tidak wajib menerangkan kepardluan dalam niat.
6. “ Pada dasarnya mewakilkan niat kepada orang lain itu tidak boleh, kecuali niat yang harus dibarengkan dengan perbuatan sedang perbuatan itu dapat diwakilkan, seperti ; membagikan zakat, memotong korban dan sebagainya “.
7. “Niat itu harus Ikhlas (murni), tidak boleh dicampuri dengan maksud lain ;
Umpamanya;
Seseorang niat shalat, lalu terlintas dalam benaknya maksud olah raga, maka niatnya tidak sah.
Ada beberapa amal yang menyimpang dari batasan ini, yakni amal yang maksudnya hanya menyatakan wujudnya amal itu, misalnya;
Shalat Tahiyyatul Masjid, maksudnya adalah agar orang yang memasuki masjid jangan duduk dulu, sebelum mewujudkan (mengerjakan shalat). Karna itu kalau seseorang masuk masjid lalu niat shalat qobliyah Dhuhur, sambil meniatkan pula Shalat Tahiyyatul masjid, maka kedua ( hati )Nya berhasil.
II. Qaidah Kedua اليقين لا يزال بالشّكّ
Arti dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah akidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at Islam.
Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaanya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti ( qath’i), bukan semata-mata oleh argument yang hanya bernilai saksi / tidak pasti.
Hampir seluruh bab fiqh bisa masuk dalam kaidah ini, Adapun sumber kaidah ini, adalah dari Firman Allah yang berbunyi :
Artinya : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. ( QS. Yunus : 36 )
Dan hadits Nabi Muhammad yang artinya :
“Manakala seseorang diantaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adalah sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, sampai ia mendengar suara atau menemukan bau.”. ( HR. Muslim )
Dari kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini,
Kaidah-kaidah itu antara lain ialah;
1. “yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula “
contoh : Seseorang mempunyai Whudu, lalu ia ragu sudah batalkan atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai whudlu.
2. “yang menjadi patokan adalah bebas dari tanggungan”,
contoh : A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai bukti maupun saksi, sedangka B ( yang diadukan) menyangkal dengan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang, maka menurut hukum, pengaduan A tertolak berdasar kaidah ini.
3. “jika ada orang ragu, apakah menjalankan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum berbuat”
contoh :A mengadukan bahwa B berhutang Rp. 1.000,- kepadanya, lalu didepan pengadilan terjadilah dialog seperti ini
Hakim : B !, benarkah kau berhutang Rp. 1.000,- kepada A? “,
B : “Benar, tetapi sudah saya lunasi”.
Hakim : “kau punya tanda bukti pembayaran hutang ?”.
B : “T I d a k”.
Hakim : “A !, kata B, hutangnya kepadamu sudah dibayar, betul ?”,
B : “Belum !”,
Maka bedasarkan kaidah ini, hakim memutuskan, bahwa hutang B kepada A belum terlunasi
4. “jika seseorang yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit “.
Contoh :
Seseorang sedang tengah-tengahnya shalat Dhuhur mereka merasa ragu, apakah yang dikerjakannya rakaat, atau baru tiga rakaat.Berdasarkan ini, yang dihitung adalah tiga rakaat dan ia harus enambah satu rakaat lagi.
5. “Asal (Didalam hak )itu tidak ada “.
Contoh :
A menyerahkan Rp. 1 000,- kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama A, menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut,tetapi B menyangkal tuduhan itu..
Berdasarkan kaidah ini, yang dibenarkan adalan B yang menyatakan tidak / belum ada keuntungan
6. “Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat”.
Contoh :
Seseorang melihat mani pada sarung yang dipakainya , lalu ia ragu, mani yang kemarinkah yang karenanya ia telah mandi atau mani baru setelah ia bangun dari tidur tadi. Berdasarkan kaidah ini, dapat diputuskan bahwa mani itu adalah baru bukan mani yang kemarin.
7. “segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Kaidah ini berasal dari imam Syafi’i, sedangkan menurut Madzhab Hanafi sebaliknya, yakni :
“ segala sesuatu pada dasarnya haram, kecuali ada dalil yang menghalalkannya”.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkannya atas hamba-Nya. Beliau berpegang kepada sabda Rasul yang artinya : “Apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa yang diharamkannya adalah haram, sedangkan yang didiamkanNya adalah dima’afkan”.
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa “memang Allah itu Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu tiu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah SWT.
III. Qaidah Ketiga المشقة تجلب التيسر
A. Pengertian
Arti dari qaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memudaratkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan hingga tidak memudaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan istilah rukhsah
Hal itu antar lain karna kemapuan seorang mukallaf itu terbatas. Kesulitan yang dianggap bias meringanka taklif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Asyatibhi antara lain sebagai berikut;
1. karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan pada dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2. Ada rasa takut akan terkuranginya kegiatan-kegiatan social yang berhubungan dengan social kemasyarakatan. Karna hubungan tersebut dalam islam bias dikatagorikan sebagai ibadah juga.
B. Sumber Qaidah
Sumber pengambilan qaidah ini, antara lain
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 185 :
Artinya : (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.( QS. Al-Baqarah : 185 )
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-hajj ayat 78:
Artinya : “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.( QS. Al-hajj : 78 )
Hadis yang diterima dari Abu Hurairah yang artinya :
“Agama itu memudahkan, Agama yang disenangi oleh Allah SWT Adalah agama yang benar dan mudah.” ( HR.Bukhari )
C. Cabang-Cabang
1 Qaidah
Artinya :
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit.
2 Qaidah
Artinya :
“semua yang melampaui batas, maka hukumny berbalik kepada kebalikannya.”
3 Qaidah
Artinya :
“Rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
4 Qaidah
Artinya :
“Rukhsah itu tidak dapat disangkut pautkan dengan keraguan.”
D. Contoh Aplikasi
Diantara contoh aplikasi dari qaidah ini adalah :
• Bolehnya berbuka puasa ketika berpergianatau ketika sakit
• Dibolehkan tidak ada ijab qabuldalam jual barang-barang yang tidak berharga.
• tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tetapi diharuskan untuk menghindarinya.
IV. Kaidah Keempat الضرر يزال
A. Pengertian
Arti qaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan. Dengan kat alain qaidah ini menunjukan bahwa berbuat kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama Islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah sehingga kerusakan itu menimpa seseorang,kedudukannya menjadi lain, bahkan bias dianggap sebagia dari keimanan terhasap qadha dan qadharnya Allah SWT. Karna segala sesuatu menjadi boleh bagi Allah SWT, Dan dari-Nya-lah kemamfaatan.
B. Sumber Qaidah
Firman Allah SWT.dalam surat Al-Baqarah ayat 231 :
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka[145]. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. ( QS.Al-Baqarah ayat : 231 )
Dan Hadis yang diriwayatkan Imam Malik yang artinya :
“tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barang siapa yang memudaratkan maka Allah SWT.akan memudaratkanny,dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.” ( HR. Imam Malik )
C. Cabang-cabang Qaidah
Diantara cabang qaidah ini yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain :
1. Qaidah
“kemudaratan membolehkan yang mudarat (dilarang .”
2. Qaidah
“Apa yang dibolehkan karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
3. Qaidah
“kemudaratan tidak bias hilang dengan kemudaratan lain.”
4. Qaidah
“jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, maka diambil kemudaratan yang paling besar.”
5. Qaidah
“menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahaan.”
6. Qaidah
“kebutuhan itu menempati kemudaratan baik secara umum maupun khusus.”
D. Contoh Aplikasi Qaidah
• Dibolehkan makan daging babiketika sedang kelaparan
• Ketika memakan makanan yang dibolehkan karna mudarat, tidak tidak boleh sampai kenyang, sekedarnya saja.
• Tidak boleh membunuh anaknya karna aladan kesulitan ekonomi, dan lain-lain.
V. Qaidah Kelima العا دة محكمة
A. Pengertian
Artinya suatu kebiasaan bisa dijadikan batasan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai
Urf atau adat. Meskipun banyak Ulama yang membedakan diantara keduanya. Namun, menurut kesepakatan Jumhur ulama, suatu adat atau urf bias diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut;
1. tidak bertentangan dengan syari’at;
2. Tidak menyebabkan Kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan;
3. telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas
B. Sumber Qaidah
Qaidah diambil dari beberapa sumber, antara lain;
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Hajj ayat 78
Artinya : “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong”.
Dan hadis yang diriwayatkan oleh imam ahmad, Al-Bajjr, dan ibnu Mas’ud yang artinya;
“apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.”( HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam kitab Al-Kabirr dari Ibnu Mas’ud )
C. Cabang-cabang Qaidah
Adapun Cabang-cabang Qaidah yang diungkapkan oleh para Ulama antara lain;
1. Qaidah;
“tidak diingkariperubahan hokum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”
2. Qaidah;
“yang baik itu menjadi urf, sebagaiman yang diisyaratkan itu menjadi syarat.”
3. Qaidah;
“yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang diterapkan melalui nash.”
D. Contoh Aplikasi
Siantara contoh aflikasi Qaidah ini, antara lain;
1. menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumblahnya, tapi karna sudah menjadi kebiasaan ( adat ) maka ulama membolehkannya.
2. mereka yang mengajarkan Al-Qur’an di bolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar Al-Qur’an terap eksis dikalangan umat Islam.
3. Orang-orang Minang Kabau memiliki adat, adat basandi syara’ dan syara basandi adat, sehingga menetapkan bahwa seorang penghulu diharuskam memiliki sifat-sifat Rasulullah SAW.
Penutup
Demikianlah Makalah ini kami sampaikan, tentunya kami menyadari akan kekurangan dan kelemahan kami dalam materi ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari semua peserta presentasi khususnya kepada dosen pembimbing yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyampaikan materi ini kepada seluruh rekan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan III
0 comments:
Post a Comment